Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasif Amini
Setiap kata yang kita pi-lih ketika menyatakan sesuatu (ga-gasan, perasaan, gejala alam atau masyarakat) pada dasarnya adalah kutipan. Kita mengu-tip-nya dari khazanah bahasa yang kita kenal. (Bahkan kata dan makna baru, neologisme, pun biasanya merupakan gabungan atau pelesetan unsur-unsur perbendaharaan yang sudah ada.) Kita lalu merangkainya menjadi frase dan kalimat dan seterusnya menurut nalar, citarasa, imajinasi, dan tentu (atau, bagi sebagian orang: mungkin) tata bahasa. Rangkaian itulah yang kadang kala membuat kita merasa telah menghasilkan ungkapan otentik, atau bahkan orisinal, yang konon berasal dari lubuk jiwa terdalam atau bagian otak terkanan.
Ungkapan yang kuat, bernas, dan ber-bobot, lambat atau cepat akan men-jadi milik sebuah khazanah, atau malahan merasuk ke pelbagai khazanah lain, secara langsung maupun lewat penerjemahan. ”Menunggu Godot” kini bukan lagi hanya judul lakon Samuel Beckett, melainkan sudah menjadi ungkapan untuk menggambarkan penantian yang sia-sia—baik dalam hal menunggu, sebutlah, per-ubahan sosial-politik yang mendasar, turunnya harga-harga, maupun teman kencan yang doyan mangkir. Contoh lain berderet: ”Banyak jalan menuju Roma” (anonim), ”Apalah arti sebuah nama” (William Shakespeare), ”Surga yang hilang” (John Milton), ”Biarkan seribu bunga mere-kah” (Mao Zedong), ”Bukan kematian benar menusuk kalbu” (Chairil Anwar), ”Malam jahanam” (Motinggo Busye), ”Badai pasti berlalu” (Marga T). Masing-ma-sing ungkapan itu, termasuk pelbagai variasi atau pelesetan atasnya, telah berulang kali dipakai dan disisipkan dalam aneka konteks yang sering tak lagi punya hubungan dengan konteks pencetusannya. Itulah alusi—setidaknya dalam pengertian paling sederhana.
Menyebut atau mengutip sebuah ung-kapan terkenal adalah cara pa-ling umum untuk menampilkan alusi. Ungkapannya bisa datang dari kurun dan ranah mana saja, dari perbendaharaan klasik hingga bud-aya pop. Dari khazanah sastra (terutama mitologi dan legenda) barangkali kita mendapat bahan alusi dalam jumlah terbanyak: tentu sesekali atau sering kita jumpai istilah ”kotak Pandora” (sesuatu yang menyimpan hal-ihwal yang akan menimbulkan bencana jika dibuka), atau ”kuda Troya” (anugerah yang sesungguhnya hanya akan men-celakakan si penerima). Sement-ara itu, jika seorang pelatih tinju menga-takan bahwa sasana tinju yang di-asuhnya adalah ”kawah Candradimuka”, tentu yang dimaksudnya, sembari mem-ba-yangkan sebuah kawah yang menggelegak di kahyang-an, adalah sebuah tempat penggem-blengan yang keras dan penuh disiplin.
Sejarah juga menyediakan banyak entri. Ketika serombongan demonstran membentangkan spanduk ”Ja-ngan ada Hiroshima kedua!” te-ntu ki-ta mengerti bahwa itu bukanlah seruan agar kita jangan membangun sebuah kota baru lalu menamainya Hiroshima. Pun kita pasti paham jika kata ”Hiroshima” diganti dengan ”Auschwitz” atau ”Chernobyl”.
Ah, benarkah demikian? Be-narkah kita semua niscaya mafhum jika, kata-kanlah, dalam sebuah tulisan profil seorang pemain harpa tertera frase ”senyum Mona Lisa”? Atau ada frase ”efek kupu-kupu” dalam sebuah lapor-an tentang bencana banjir?
Entahlah. Mungkin sebuah jajak pendapat bisa membantu kita menemu-kan jawabnya.
Tapi ada sepotong anekdot. Alki-sah, suatu hari Harold Ross, sang edi-tor pendiri majalah The New Yorker, tiba-tiba bertanya kepada penulis utama majalahnya, James Thurber: ”Moby Dick itu nama orang atau pausnya?” Ross, editor legendaris majalah pa-ling literer di Amerika Serikat kala itu, barangkali sekadar lupa, atau memang tak tahu, siapa tahu. Toh orang bisa tahu banyak hal dan tetap saja tak bisa mengetahui segala ihwal.
Alusi bekerja menghidupkan kembali unsur-unsur perbendahar-aan da-ri masa lalu dari pelbagai penj-uru da-lam kegiatan berbahasa hari ini. Sebuah alusi yang baik, yang rujukannya cukup dikenali namun tak terlalu ”pasaran”, yang terselip ringan dan wajar di tengah rangkaian kalimat, bukanlah sekadar pameran pengeta-hu-an. Ia adalah gaung dari jauh: secercah panggilan kepada pengguna/penghuni suatu bahasa untuk selalu siap menghubungkan diri dengan pel-bagai khazanah yang (pernah) hidup di d-unia.
Karena itu saya membayangkan sua-tu ketika terbit sebuah kamus a-lusi dalam bahasa Indonesia. (Bah-asa Ing-gris punya sedikitnya dua versi: Oxford Dictionary of Allusions dan Merriam-Webster’s Dictionary of Al-lusions.) Jika kelak kita memiliki kamus itu, mudah-mudahan tak sulit me-nemukan lema, misalnya, ”Arung Pancana Toa” atau ”Rara Mendut” atau ”Malin Kundang” atau ”binatang jalang, dari kumpulannya terbuang”—berikut sederet contoh bagaimana masing-ma-sing muncul serta mewarnai teks-teks yang datang kemudian. Dan bahasa Indonesia mungkin akan hi-dup lebih cerdas dan meriah, kalau bukan bahagia, selama-lamanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo