Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menafsir Sam Shepard

Kelompok Teater Kami mementaskan naskah Sam Shepard, Curse of the Starving Class, secara sederhana. Apa adanya. Cukup mengena.

23 Juni 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menafsir Sam Shepard

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEMARI es kosong. Tiap anggota keluarga itu terus-menerus membuka kulkas. Tapi tetap melompong. Tak ada makanan apa pun. Sesekali lemari es itu berisi kol. Dan, bila ada kol, anak sulung keluarga itu akan duduk di depan kulkas, meraup kol, mencabik-cabiknya, dan menjejalkan tak henti-hentinya ke mulutnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kelompok Teater Kami, dengan sutradara Harris Priadi Bah, mementaskan Curse of the Starving Class di Pusat Kebudayaan Amerika, yang terletak di lantai 3 Mal Pacific Place, Jakarta, 9 Juni lalu. Naskah Sam Shepard itu diterjemahkan menjadi Kutukan Kaum Kelaparan. Naskah ini bercerita tentang tragedi keluarga. Lemari es yang melompong lambang keretakan keluarga. Lemari es yang kosong itu menjadi "bom waktu" bagi cekcok di antara ibu-anak-ayah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sam Shepard, yang wafat tahun lalu, dikenal sebagai dramawan yang kritis terhadap "American dream". Naskahnya sering menyajikan potret kelam keluarga yang gagal meraih mimpi-mimpi Amerika. Curse of the Starving Class merupakan bagian dari trilogi tragedi keluarga. Bagian lain adalah The Buried Child dan True West.

Buried Child pernah diterjemahkan dan dimainkan oleh kelompok Teater Sae dan kemudian Teater Satu, Lampung. Pementasan Teater Satu sukses karena mampu mengadaptasi suasana keluarga petani jagung Amerika ke suasana pertanian di Lampung yang warganya mengalami depresi karena tanahnya diserobot perusahaan-perusahaan besar. Iswadi Pratama, sang sutradara, mampu menyajikan psikologi petani yang hancur dan terjerembap ke perselingkuhan, inses, dan ketergantungan pada minuman keras. Sama seperti Buried Child, latar belakang Curse of the Starving Class adalah ladang pertanian.

Namun Kelompok Teater Kami memilih suasana keluarga kumuh urban di pinggiran kota daripada keluarga petani. Pentas sederhana. Dengan segala keterbatasan tempat pertunjukan Pusat Kebudayaan Amerika, Teater Kami mampu bermain tanpa beban. Set meja dan kursi yang dipakai apa adanya. Juga lemari es. Nama Weston, Ella, Wesley, dan Emma diganti menjadi nama asli pemain sendiri, yakni Gultom, Harris, Esti, Oppie, Abbi, dan Abdul Toha.

Pentas dibuka dengan semua pemain duduk melingkar menyanyikan lagu Sarendo-sarendo yang dipopulerkan Benyamin Sueb: Sarendo-rendo babi mati enggak bisa jalan… babi mati gak bisa makan. Babi makan sayanya kelaparan.... Mirip pembukaan sebuah teater tradisi. Para pemain masuk dan kemudian muncul satu per satu mengalirkan persoalan utang, perselingkuhan, dan kriminalitas tiap anggota keluarga.

Tak ada lagi kepercayaan antara ibu, ayah, dan anak. Komunikasi macet. Pertengkaran meledak karena hal sepele, seperti hilangnya sepotong paha ayam di kulkas. Sebagaimana pementasan kelompok Teater Satu tatkala mementaskan Buried Child, Teater Kami-meski dengan pengungkapan yang jauh lebih minimalis-mampu membumikan naskah ke dalam situasi Indonesia.

"Kita tak miskin benar, kita masih bisa hidup," kata Harris, sang kepala keluarga. Ia-dengan setengah mabuk-yakin karena mereka masih memiliki rumah yang bisa dijual. Tapi, tanpa setahu dia, secara sembunyi-sembunyi Esti, sang istri, melego rumah. Masing-masing mendekati developer, tengkulak, dan kreditor kenalan mereka. Meski tak mencekam, pentas ini lumayan berhasil dibanding pentas Teater Kami sebelumnya, seperti Gegerungan, Gegirangan, Gegeroan, yang juga mengangkat kepedihan keluarga.

Permainan Gultom sebagai anak sulung dan Esti sebagai istri cukup kuat. Gultom yang idiot memelihara anak kambing yang sakit-sakitan, yang kemudian dibunuhnya. Dia mampu memainkan simbol anak kambing yang bau dalam keranjang-meski tidak ada properti apa pun di keranjang. Ia juga bisa menghidupkan adegan pintu yang ambruk meski set pentas sama sekali tak ada pintu masuk dan keluar. Rumah tanpa pintu menjadi simbol porak-porandanya keluarga, selain lemari es yang kosong. Adegan tatkala Harris melipat satu per satu kemejanya yang baru dicuci sambil menggerutu juga terasa bersahaja tapi getir.

Esti, sebagai ibu yang berselingkuh, cukup mampu membawa suasana tidak klise seperti sinetron. Sementara itu, adegan terbaik Oppie, sang anak perempuan, adalah saat keluar dari penjara. Dia bercerita bahwa ia cepat bebas karena bersetubuh dengan sipir. Lepas dari penjara, Oppie makin sadar bahwa kejahatan adalah cara termurah mencari uang. Masih banyak naskah seri tragedi keluarga Sam Shepard lain yang belum diterjemahkan dan dipanggungkan, seperti True West dan The Tooth of Crime. Pentas ini menyajikan kepada kita bahwa naskah Sam Shepard terasa tak jauh dari realitas masyarakat kita.

Seno Joko Suyono

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus