IN SEARCH OF JUSTICE Oleh: John Ingleson Penerbit: Oxford University Press, Singapura, 1986, 342 halaman Perjuangan kaum buruh tidak selalu lancar. Perjuangan buruh Indonesia serta pasang surutnya pada masa kolonialisme Belanda adalah tema pokok buku yang ditulis John Ingleson dengan judul In Search or Justice. Walaupun Ingleson mengkhususkan terhadap pasang surutnya perjuangan buruh Indonesia pada masa kolonialisme Belanda, kajian ini mempunyai relevansi pada mas.l kini, karena usaha kaum buruh Indonesia mencari keadilan tidak berhenti dengan hilangnya penjajahan dari bumi Indonesia. Apabila kita melihat sejarah pembangunan Indonesia, khususnya Jawa, maka pembicaraan tak dapat dilepaskan dari perkembanan kapitalisme dunia serta pengaruhnya terhadadap perkembangan sosial, ekonomi politik masyarakat Indonesia. Demikian pula pengkajian perkembangan usaha buruh Indonesia mencari keadilan tidak dapat terlepas dari konteks perkembangan dan penetrasi kapitalisme di negara kita. Abad ke-19 merupakan abad kunci dalam sejarah pembangunan Indonesia. Pada abad itu untuk pertama kali muncul satu usaha resmi di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, untuk membangun negara ini dengan model kapitalisme. Melalui Tanam Paksa, pemerintah kolonial Belanda secara terencana berusaha mengubah perekonomian Indonesia dari perekonomian subsisten (secukup hidup) menjadi suatu ekonomi yang berorientasi kepada pasaran internasional. Pada masa itu, pemerintah kolonial Belanda, yang bertindak pula sebagai entrepreneur, berusaha mengembangkan industri perkebunan di Jawa, khususnya industri gula. Oleh pemerintah kolonial, petani di Jawa dipaksa menanam tebu guna menghasilkan gula buat diekspor. Model pembangunan yang kapitalistis dengan perubahan-perubahan tertentu menjadi model utama pembangunan masa itu. Model pembangunan itu seperti kita ketahui telah banyak menimbulkan perubahan yang mendasar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, khususnya masyarakat Pulau Jawa. Ingleson mencatat satu perubahan dalam masyarakat di Pulau Jawa, yakni berkembangnya jumlah penduduk di kota-kota Jawa. Kota di Jawa, khususnya Batavia, Semarang, dan Surabaya, mengalami perubahan besar baik dari segi penduduk, atau ruang, maupun ekonomi (halaman 16). Perubahan-perubahan ini berkait dengan berkembangnya industri gula di Jawa. Di tiga kota tersebut muncul usaha-usaha baru, misalnya bank dan perusahaan perkeretaapian, yang timbul untuk menunjang kelancaran ekspor gula yang menjadi tulang punggung perekonomian Hindia Belanda. Sementara itu, bersamaan dengan lajunya penanaman modal swasta Belanda dalam sektor perkebunan, jumlah petani Jawa tunawisma juga semakin bertambah. Perkebunan swasta mengambil tanah-tanah yang belum dibuka rakyat, sehingga tanah pertanian yang ada tidak dapat lagi menampung surplus penduduk pedesaan. Para tunawisma itu terpaksa membanjiri kota-kota di Jawa, khususnya Batavia (Jakarta), Surabaya, dan Semarang, untuk mencari pekerjaan. Membanjirnya penduduk desa ke kota, menurut Ingleson, terjadi pada 1870-an, yakni masa perkembangan perkebunan swasta di Jawa. Di kota-kota di Pulau Jawa, pada masa itu, hidup tiga jenis buruh pribumi. Ketiga jenis buruh pribumi itu adalah pekerja pribumi tetap, golongan pekerja harian tetap, dan buruh harian lepas. Golongan pekerla tetap terdiri dari para pribumi yang memiliki keterampilan, dan mereka relatif hidup lebih baik dari golongan pekerja harian tetap serta buruh harian yang merupakan mayoritas buruh pribumi di kota. Dalam sektor ekonomi modern di kota, para majikan Belanda mempraktekkan perbedaan perlakuan yang ketat antara buruh pribumi dan pekerja (baca: pegawai) yang berkebangsaan Belanda. Perbedaan itu menyangkut sistem penggajian dan sistem kesejahteraan mereka. Perbedaan tersebut serta situasi kehidupan sosial ekonomi yang rendah dari para buruh pribumi dan penduduk kota pada umumnya mendorong timbulnya serikat-serikat buruh di Pulau Jawa. Tujuan serikat buruh itu adalah perbaikan hidup anggotanya, dan perlakuan yang adil dari para majikan terhadap buruh pribumi. Menurut Ingleson, serikat buruh pribumi ini bermunculan di Pulau Jawa antara tahun 1910-an dan 1920-an. Dalam menuntut keadilan dan perbaikan nasib anggotanya, serikat buruh ini cukup militan. Pada tahun-tahun itu pemerintah Hindia Belanda cukup disibukkan oleh pemogokan-pemogokan yang dilakukan serikat buruh tersebut. Pendekatan yang dipakai Ingeleson dalam menjelaskan latar belakang timbulnya serikat buruh di Jawa pada masa kolonial. Serikat-serikat buruh yang muncul di Jawa pada masa itu sama sekali tidak bertujuan politik (halaman 8). Serikat-serikat buruh ini semata-mata bertujuan menegakkan "moral ekonomi" buruh. Mereka (kaum buruh) ingin memperoleh perlakuan adil yang merupakan dasar "moral ekonomi" kaum buruh, yang sifatnya universal dan menjadi dasar dari setiap gerakan buruh di dunia. Yang menarik adalah reaksi dari pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah kolonial Belanda tidak melihat gerakan buruh itu sebagai gerakan yang bersifat ekonomis, tetapi politik. Dengan mendakwa serikat buruh itu dipengaruhi oleh golongan komunis, pemerintah kolonial menggerakkan seluruh aparat keamanan mereka untuk menindas gerakan itu. Membaca buku ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa adalah keliru melihat gerakan buruh sejak semula sebagai suatu gerakan yang radikal. Latar belakang gerakan buruh adalah semata-mata untuk menciptakan keserasian antara buruh dan majikan dalam pembagian keuntungan. Radikalism muncul hanya ketika majikan menolak untuk mengerti "moral ekonomi", yang ingin ditegakkan oleh para buruh. Dengan kata lain, radikalisme suatu gerakan buruh tumbuh sebagai reaksi dari suatu sikap "kekakuan" (rigidity) dari satu organisasi produksi terhadap usaha buruh untuk ikut berbicara dalam proses produksi dalam perusahaan mereka. Laporan Soetrisno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini