Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kontroversi istilah Bersiap dalam masa perang kemerdekaan Indonesia.
Di Belanda, istilah Bersiap diartikan sebagai viktimisasi hanya untuk kelompok Indo Eropa.
Istilah Bersiap menjadi topik sangat sensitif untuk komunitas Indo-Belanda.
BANYAK orang Belanda akan heran bahwa istilah “Bersiap” nyaris tidak dikenal di Indonesia. Bersiap diambil dari seruan yang banyak dipakai pemuda-pemuda yang bertarung untuk kemerdekaan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata itu kemudian dipakai di Belanda untuk menunjuk periode sesudah Jepang menyerah kepada Sekutu pada 1945 di Hindia Belanda sampai Maret 1946, ketika ribuan orang Belanda dan Indo Belanda terbunuh di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama pendudukan Jepang, sebagian dari ratusan ribu orang Belanda dan Indo (berdarah campuran Indonesia dan Eropa) yang lahir atau tinggal di Hindia Belanda ditahan di kamp Jepang.
Tatkala bebas dari kamp, setelah kepergian Jepang dan Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada Agustus 1945, mereka terjepit di antara ketegangan perang fisik dan diplomatik Belanda-Indonesia. Kekerasan terhadap warga Belanda dan Indo baru terkendali pada sekitar Maret 1946, setelah mereka ditampung di kamp-kamp yang dijaga militer Belanda.
Sejarawan Henk Schulte Nordholt menjelaskan, sekitar 40 ribu orang meninggal pada periode tersebut. Namun, Nordholt menekankan dalam rubrik opini harian Trouw pada Senin, 18 Januari lalu, “Sekitar 5.000 (atau 12,5 persen) adalah orang (Indo) Belanda.
Jadi jelas ini bukan serangan terhadap kelompok (Indo) Belanda belaka, walau citra ini bertahan lama di Belanda.” Profesor emeritus Universiteit Leiden ini membenarkan Bonnie Triyana “yang menyatakan bahwa pemberian label ‘Bersiap’ untuk periode ini tidak tepat. Di Belanda, istilah ini diartikan sebagai kebrutalan dan viktimisasi hanya untuk kelompok (Indo) Eropa”.
Sejarah kekerasan periode ini masih bisa ditemukan di Ereveld Menteng Pulo atau kompleks permakaman Menteng Pulo di Jakarta, yang dikelola oleh yayasan Belanda, Oorlogsgravenstichting (Kuburan Perang). Wartawan senior harian De Volkskrant Belanda, Michel Maas, dalam tulisannya di Historia edisi 18 Agustus 2021 mengatakan sekitar 4.300 warga Belanda—militer dan sipil—yang meninggal pada periode pertikaian antara Indonesia dan Belanda (1940-an) dikubur di sana.
Di antara korban terdapat perempuan, orang lanjut usia, dan anak-anak, seperti tiga anak keluarga Van Slooten yang berusia 7, 8, dan 10 tahun yang dibunuh di Jakarta pada 7 Desember 1945. Maas menulis, saat itu hasutan dikumandangkan di radio-radio pemuda untuk memburu semua orang Belanda atau orang yang pernah bekerja sama dengan Belanda. Dalam beberapa bulan mereka membunuh lelaki, perempuan, lansia, dan anak-anak.
Reaksi emosional seputar istilah Bersiap tersebut memperlihatkan, “Bahwa ini topik yang amat peka untuk komunitas Indo Belanda. Mereka telah mengalami kekerasan yang ekstrem dan menderita trauma yang mendalam,” tutur sejarawan dan presenter televisi Hans Goedkoop di NPO Radio 1 pada Rabu, 12 Januari lalu.
Trauma ini, kata peneliti Peter Keppy dari Institut untuk Studi Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD), makin pahit karena warga Indo yang bermigrasi ke Belanda pada 1940-1950-an merasa tidak digubris oleh pemerintah Belanda. “Mereka merasa diperlakukan secara tidak sama dan tidak adil, paling tidak dibandingkan dengan warga Belanda,” tulis Keppy dalam surat pembaca di harian NRC pada Sabtu, 15 Januari lalu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo