Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Perut Kerinci Tersingkap Perambah

Perambahan hutan di Taman Nasional Kerinci Seblat meluas hingga ke lereng Gunung Kerinci. Kemitraan konservasi dengan masyarakat sekitar dapat mengatasinya.

 

22 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Perambahan hutan di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat semakin meluas hingga ke lereng Gunung Kerinci.

  • Analisis citra satelit yang dilakukan Taman Nasional hingga November 2021 mencatat luas wilayah perambahan hutan mencapai 1.028 hektare.

  • Cara terbaik menghadapi perambahan hutan adalah dengan melakukan kolaborasi melalui kemitraan konservasi.

SEBATANG meranti tegak merana di ladang kentang yang terhampar di lereng bukit menuju Danau Belibis di Desa Giri Mulyo, Kayu Aro Barat, Kabupaten Kerinci, Jambi. Pohon setinggi 10 meter dan berdiameter 50 sentimeter yang nyaris mati itu menjadi saksi bisu perambahan hutan di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Di sekitar pokok meranti itu tampak tunggul-tunggul pohon berdiameter setinggi orang yang dibakar perambah setelah membuka hutan yang kini menjadi ladang hortikultura.

Pemilik ladang kentang itu bernama Yanto. “Mendaki sedikit lagi, sudah sampai ke danau,” tuturnya, yang sedang menyiangi ladangnya sambil menunjuk ke arah Danau Belibis pada Ahad, 26 Desember 2021. “Saya membeli ladang ini lima tahun lalu seharga Rp 50 juta untuk 1 hektare dari orang yang membuka lahan. Mana berani saya merambah (hutan)?” ujarnya. Ia menyadari lahannya berada dalam kawasan TNKS yang plangnya terpancang jauh di bawah ladangnya.

Danau Belibis seluas 2,45 hektare itu terletak di puncak bukit di ketinggian 2.082 meter di atas permukaan laut. Bukit Danau Belibis berada di sisi barat daya kaki Gunung Kerinci yang setinggi 3.802 meter. Pada 30 tahun silam untuk mencapai danau itu butuh waktu tiga jam mendaki, melewati hutan yang pohon-pohonnya rapat. Kini hutannya cuma tersisa yang mengelilingi Danau Belibis. Hanya perlu 15 menit mendaki untuk menembus hutan itu.

Di sisi utara Danau Belibis, hutan yang juga hilang sudah jauh sampai ke lereng Gunung Kerinci. Padahal, menurut Wilson Novarino, peneliti burung dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas, dulu area itu menjadi koridor satwa. “Dua puluh tahun lalu masih hutan. Di sana saya bertemu jejak harimau. Di situ juga banyak rusa, tapir, dan siamang. Rangkong dan burung hantu juga ada,” ujarnya.

Saat itu, Wilson mengamati burung di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat di Shelter I jalur pendakian Gunung Kerinci hingga ke Danau Belibis dan Danau Gunung Tujuh. “Gunung Kerinci ini kalau dulu terlihat kakinya, sekarang sudah terlihat perutnya,” tuturWilson. Pada 1990, ketika Tempo berkunjung ke Danau Belibis banyak terlihat belibis yang mirip bebek berbulu hitam di pinggirnya. Namun hari itu tak seekor pun yang tampak.

Wilson mengingatkan, perambahan hutan di Gunung Kerinci dan Danau Belibis, selain menghilangkan habitat satwa, mengancam ketersediaan sumber air. Kawasan itu berperan menyediakan air bagi daerah di sekelilingnya. “Danau Belibis itu seperti embung untuk menjamin cadangan air. Ketika fungsi ekologinya terganggu, otomatis daerah sekitarnya bisa kekeringan,” katanya.

Basuki, Kepala Desa Batang Sangir, cemas perambahan hutan yang mulai terasa pada 2000-an dan makin masif sejak lima tahun terakhir menyebabkan banjir makin sering datang. “Dulunya tidak pernah ada banjir. Tapi beberapa tahun terakhir, lima belas menit saja hujan, air langsung turun liar dari lahan yang telah terbuka di Gunung Kerinci ataupun dari Danau Belibis,” katanya.

Kalau hujan turun satu hari satu malam, kata Basuki, rumah warga di daerah yang rendah seperti di Desa Bendung Air akan kebanjiran. “Cuaca juga makin tak menentu. Dulu hujan stabil, pasti ada dalam minggu. Sekarang hujan bisa lama tidak turun saat musim kemarau,” ucap Basuki. “Kekurangan air bersih makin terasa karena sumber mata air menyusut,” ujarnya.

Kepala Wilayah Satu Balai Besar TNKS Teguh Ismail mengatakan, dari hasil analisis citra satelit yang dilakukan pihaknya, hingga November 2021 terdata luas wilayah perambahan hutan di kaki Gunung Kerinci mencapai 1.028 hektare. “Perambahan hutan di Gunung Kerinci dan di sekitarnya memang terus terjadi dan tidak kami bantah,” katanya di kantor Balai Besar TNKS di Sungai Penuh, Rabu, 29 Desember 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Foto udara kawasan ladang ilegal di dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), kaki Gunung Kerinci, Jambi, November 2021/ANTARA/Wahdi Septiawan/aww.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Teguh, perambahan ini belum terselesaikan karena terganjal minimnya jumlah polisi hutan TNKS. Dengan luas yang hampir 1,4 juta hektare, TNKS hanya memiliki 200 pegawai. Kawasan TNKS di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh yang luasnya 240 ribu hektare hanya memiliki 16 polisi hutan. “Perbandingan luas yang harus dijaga dengan jumlah polisi hutan sangat jauh, tapi kami tetap melakukan pencegahan dengan berpatroli,” tuturnya.

Menurut seorang warga Desa Gunung Labu, para perambah bukan warga setempat, melainkan orang dari Desa Siulak (Kecamatan Siulak) dan Semurup (Kecamatan Air Hangat), sekitar 20 kilometer dari Gunung Kerinci. “Mereka jumlahnya puluhan. Datang pagi dengan sepeda motor, lewat jalan di daerah N1 dan Desa Kebun Baru,” kata petani yang tak mau menyebut namanya itu. “Mereka membuka hutan, lantas kayunya dibakar. Ladangnya ditempati sebentar, lalu dijual ke warga sekitar seharga Rp 50-60 juta per hektare.”

Teguh menjelaskan, saat ini TNKS bekerja sama dengan petani yang berladang di zona rehabilitasi, seperti di lereng bukit Danau Belibis sisi selatan dan di lereng Gunung Kerinci di sekitar jalur pendakian. Ada enam kelompok tani dengan anggota masing-masing 25 orang. Tiap kelompok tani diberi Rp 50 juta untuk berbagai kegiatan, seperti pembibitan pohon, pemondokan untuk wisatawan, hingga peternakan sapi. “Mereka menanam pohon di sela tanaman hortikultura,” ucap Teguh. “Nanti secara perlahan mereka keluar dari situ,” katanya.

Sedangkan zona rimba, ujar Teguh, seperti di sisi utara Danau Belibis hingga lereng Gunung Kerinci yang baru dirambah, akan tetap dijadikan zona rimba. “Zona rimba itu enggak bisa dijadikan ladang, penegakan hukum berdasarkan undang-undang tetap harus dilakukan,” tuturnya.

Petani Yanto adalah salah satu anggota kelompok tani hutan TNKS. “Dulu polisi hutan TNKS datang dan merusak tanaman saya, juga membacok pondok saya. Kini saya tergabung dengan kelompok tani hutan. Kami harus menanam bibit pohon kayu dari hutan di ladang kami,” kata Yanto sambil menunjuk beberapa pohon yang mulai tumbuh di antara tanaman kentangnya.

TNKS dengan luas 1,386 juta hektare menjadi habitat spesies penting, di antaranya harimau Sumatera, gajah Sumatera, serta 372 jenis burung serta Rafflesia arnoldii dan cemara Sumatera. Pada 2004, TNKS bersama Taman Nasional Gunung Leuser dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ditetapkan sebagai Warisan Dunia. Namun wilayah tersebut masuk daftar World Heritage in Danger pada 2011 karena banyaknya kerusakan berupa perambahan dan rencana pembangunan jalan.

Menurut Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Rudi Syaf, perambahan hutan di kawasan TNKS di sekitar Gunung Kerinci meluas. Dari hasil analisis citra satelit yang dilakukan lembaganya pada 2017-2021, kata Rudi, terlihat penurunan luas tutupan hutan. Pada 2017, tutupan hutan di kawasan itu 63.699 hektare, dan pada 2021 turun drastis menjadi 55.229 hektare. “Ini juga menyebabkan menurunnya biodiversitas di TNKS,” ucapnya.

Menurut Rud, cara terbaik menghadapi perambahan hutan adalah kolaborasi melalui kemitraan konservasi. “Kami melakukan itu di hutan lindung Bujang Raba (Bukit Panjang Rantau Bayur di Kecamatan Bathin III Ulu) di Bungo, Jambi. Tadinya deforestasi tinggi, tapi begitu dikasih hutan desa kepada masyarakat, menjadi zero perambahan,” ujarnya.

Cara kedua mengatasi perambahan hutan, tutur Rudi, adalah memperkenalkan tanaman yang bernilai ekonomi dan bersifat tahunan, seperti kopi, dengan naungan yang benar. Paling tidak, mereka berubah dari petani hortikultura menjadi penanam tanaman tahunan. “Kalau petani masih menanam hortikultura, itu pertanian yang menggunakan pupuk kimia berat, pestisida berat, sehingga tanahnya rusak. Akibatnya, mereka harus bikin ladang baru lagi dan akhirnya merambah hutan,” kata Rudi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus