Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mengerami "telur emas"

Kini, nama affandi bukan saja "legendaris" dalam seni lukis, tetapi punya pamor pula secara bisnis. menyimpan lukisan affandi saja sudah terbilang bagaikan mengeram "telur emas".

7 Maret 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA dengar Affandi sedang mengadakan eksposisi di Jakarta," kata Tony Rafty. "Saya kecewa tak bisa datang. Suatu hari, saya akan ke Indonesia lagi dan menemuinya. "Bekerja di Studio TV Saluran 7, Tony Rafty, 72, sekarang wakil ketua persatuan wartawan di Sydney. Selain menyeket dalam sidang-sidang tertutup di pengadilan, Tony masih karikaturis di beberapa harian di kota itu. Berdinas di ketentaraan Australia sebagai war artist, pelukis perang, pada 1945 Tony ke Indonesia. Ketika Presiden Soekarno berunding dengan Panglima Tentara Sekutu Jenderal Mallaby, di Surabaya, Tony hadir. Waktu itu, dia membantu harian The Sun, Sydney. Affandi pernah diberi cat dan beberapa alat lukis. Mereka memang akrab. "Sebagai gantinya, saya memberikan beberapa lukisan kepada Tony," kata Affandi. Pekan silam, Dewi Anggraini, wartawan TEMPO di Australia, bertemu dengan Tony. "Hadiah dari Affandi itu tidak dijual, tetapi saya simpan di suatu tempat. Itu kenangan masa muda saya di Indonesia," katanya. Selain dua Nude (cat air dan charcoal), Kerbau di Sungai dan Potre (pastel), Tony juga menyimpan sketsa Affandi: Pura di Bali dan Perahu (lihat juga Buku). "Lukisan Affandi itu sangat berharga," kata seorang petugas di National Library, Canberra. Memang. Kini, nama Affandi bukan saja "legendaris" dalam seni lukis, tetapi punya pamor pula secara bisnis. Contohnya ini: Alex Papadimitrou, 63 (TEMPO, 28 September 1974). Kolektor banyak karya pelukis Indonesia itu kenal Affandi sejak 1953. Sampai saat ini, ada 100 karya Affandi di tangannya -- dan merupakan investasi bagi ayah lima anak ini. "Lukisan-lukisan itu saya sewakan," tutur Alex pada Indrayati dari TEMPO di rumahnya, di Jalan Pasuruan 3, Jakarta. Langganan Alex antara lain: batik dan kantor mentereng lainnya. Sebuah lukisan disewakannya Rp 200.000 sampai Rp 500.000 per tahun. Menyimpan lukisan Affandi saja sudah terbilang bagaikan mengeram "telur emas". Inilah yang sekarang diburu oleh Raka Sumichan, 62. Pengusaha di Jakarta ini mengaku amat fanatik pada karya Affandi. Ia kenal sang maestro sejak 1946, di Malang. Menurut cerita Raka pada Toriq Hadad dari TEMPO, ia sering ke Yogya dan memborong karya Affandi. "Tetapi sering tak saya bayar kontan," tuturnya. Pernah ia membayar utangnya pada Affandi dengan sebuah Mercedes baru. Bahkan utangnya yang lain baru belakangan ini lunas. Itu bedanya saya dengan kolektor lain," ujarnya, seraya ketawa lebar . Lukisan pertama yang dibelinya dari Afandi adalah Menara Eiffel, 1955, di Surabaya. Harganya, waktu itu, Rp 8.000. Kini Menara Eiffel paling disayangi Raka. Pernah ada yang menawar dengan dua mobil Mercy, tetapi Raka menampik. Dan ia menolak menyebut jumlah lukisan Affandi yang dikoleksinya. Sumber TEMPO memperkirakan, Raka mengoleksi sekitar 300 lukisan Affandi. Di rumahnya di kawasan Jalan Hayam Wuruk, Jakarta, karya itu disimpan di kamar tidur, sebagian di ruang tamu dan di gudang. Selain di Jakarta, ada lain yang disimpan di rumahnya di Surabaya, dan ia tak berniat melegonya lagi. Lalu untuk apa, sih? Ternyata, Raka adalah penikmat tulen karya-karya Affandi. Ia mengaku bisa tiga jam penuh terpaku di depan sebuah lukisan itu, tanpa jemu. Alhamdulillah. "Lukisan itu seperti bergerak. Tak beda kalau kita menikmati orkes simfoni," begitu Raka melukiskan kekagumannya. "Sudah seperti penyakit," tambahnya. Selain membeli langsung dari pelukisnya, Raka juga berusaha membeli karya Affandi dari kolektor lain, misalnya dari Bung Alex tadi. Sejauh ini Raka -- yang juga filatelis dan penggemar anggrek itu -- memang menganggap kegemarannya menghimpunkan karya Affandi sebagai langkah investasi. Raka bertekad untuk tetap mempertahankan koleksi lukisan Affandi. "Kalau saya mau jual, nanti, ya, saya bilang dulu pada Affandi. Itu pun mungkin 10 tahun mendatang baru ada artinya," tutur Raka. "Dan itu harus ada yang tetap tersisa pada saya, untuk diwariskan pada anak-cucu," dia bilang lagi, begitu. Diam-diam, masih ada kolektor lain. Dialah si "raja kretek" Gudang Garam, Suryo Wonowidjojo. Selain menggemari batu mulia, ketika hayatnya, "Pak Bos" ini menyukai karya seni lukis. Di samping karya Affandi, ada karya Sudjojono. Le Majeur Basuki Abdullah, dan sederet karya pelukis terkemuka lain. Lukisan Affandi peninggalan Surya 20-an lebih. "Persisnya, saya tak hitung," kata Budianto, Humas Gudang Garam, Surabaya. Surya "berjodoh" dengan karya Affandi, ketika pelukis kondang ini pada 1979 pameran di Elmi Hotel, Surabaya. Kantor Gudang Garam di Jalan Sudirman 52 itu hanya 3 rumah dari tempat pameran. Budi diajak bosnya melihat pameran. Surya menunjuk pada beberapa lukisan. "Yang ini, yang ini, dan yang ini ...." Budi mengira bosnya cuma ingin membeli 3 lukisan. Ternyata, sebaliknya. Lukisan yang dltunjuk tadi bukan yang ingin dibelinya. Tetapi yang tak ditunjuk itulah yang diborong. Ada sekitar 20. "Waktu itu kami bayar semua sekitar Rp 50 juta," ujar Budi. Lukisan-lukisan itu kemudian dipajangkan untuk hiasan kantor perusahaan itu di Kediri, Surabaya, dan vila Gudang Garam di Tretes. Ed Zoelverdi & Zakaria M. Passe

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus