Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Seorang presiden dituduh pemabuk

Cv devan nair, presiden singapura, meletakkan jabatan karena dituduh pemabuk. di as ia membuka tabir. sesungguhnya ia bukan pemabuk. konon ia telah berselisih dengan lee kuan yew dan terlalu populis.

7 Maret 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

C.V. Devan Nair, 64, meletakkan jabatannya selaku Presiden Republik Singapura -- yang ketiga, sesudah Encik Yusof bin Ishak dan Benjamin Sheares -- pada Maret 1985. Ia dituduh seorang alcoholic -- pecandu minuman alkohol. Benarkah dia pemabuk? Dalam ruangan "Surat-surat kepada Editor" Majalah Far Eastern Economic Review (29 Januari, 12 dan 19 Februari 1987) Devan menjawab pertanyaan itu secara kategoris. "Saya bukan, dan sesungguhnya tidak pernah, pecandu minuman alkohol." Lahir di Melaka 5 Agustus 1923, Devan Nair berasal dari keturunan India golongan menengah. Tamat sekolah, ia menjadi guru bahasa Inggris pada sekolah lanjutan atas. Lalu bersama wartawan Utusan Melayu Samad Ismail (kini: penasihat kelompok The New Straits Times, Kuala Lumpur) ikut dalam Liga Anti-Inggris, hingga berkali-kali ditahan dalam penjara. Ia juga pendiri partai pemerintah Singapura, People's Action Party (PAP) bersama Samad Ismail dan Lee Kuan Yew, dan menjadi anggota parlemen Malaysia (1964 - 1969). Kembali ke Singapura, Devan menjadi Ketua Umum Kongres Serikat Buruh Nasional (NUTC). Karena terkenal sebagai pemimpin buruh itulah, maka ia dijuluki dengan sebutan Comrade President tatkala menjadi Presiden Republik Singapura pada 1981. Saya kenal secara pribadi dengan Devan sejak 1974. Karena kami sering sama-sama menghadiri berbagai seminar internasional. Secara politis ideologis, Devan termasuk kaum sosialis-demokrat. Orangnya cerdas, pekerja keras, serius. Corak puritanik, berpegang teguh pada norma-norma moral serta agama, mewarnai pribadinya, sehingga saya agak segan berolok-olok dengan dia. Saya tidak lagi berhubungan dengan Devan, setelah ia jadi presiden. Tapi saya mempunyai sejumlah narasumber di Singapura yang tahu betul kisah Devan. Dari mereka itulah, pada akhir 1985, saya dapat informasi bahwa Devan bukan alcoholic, seperti yang resmi dikesankan ke luar. Dia berhenti selaku presiden atas alasan politik yang tidak dapat dibeberkan kepada umum. Untuk sampai pada penyingkapan kisah sebenarnya keberhentian Devan Nair, saya harus menjadi semacam "detektif politik". Tapi, hal itu tidak dapat saya lakukan, karena tidak berdomisili di Singapura, dan tidak dapat menemui para pelaku utama dalam lakon penuh misteri ini. Namun, sedapat mungkin saya berusaha mengikuti perkembangan. Jika selama ini Devan tutup mulut, kini dari Bloomingtown Amerika Serikat, dia mulai membuka tabir. Dalam FEER (19 Februari) Devan menyebutkan surat PM Lee Kuan Yew kepadanya tanggal 22 April 1985. Isinya, antara lain mengatakan "Kedua saudara laki-laki Anda, ketiga saudara perempuan Anda, ayah Anda, ibu Anda, dan kedua paman Anda, semua pecandu minuman alkohol". Devan menyanggah cerita Lee itu. Dia heran dari mana Lee -- orang yang suka berbangga dia selalu mengecek dan merecek fakta -- dapat keterangan demikian. Dalam surat yang sama Lee mengatakan, para dokter menceritakan kepadanya betapa kerusakan terhadap pendapat dan persepsi Devan Nair tidak dapat diperbaiki. Devan lalu menjelaskan dia telah mengalami CT brain scan di Singapura, disusul dengan second opinion berupa pemeriksaan di Mount Sinai School Medicine di New York. Semua pemeriksaan itu memastikan otak Devan Nair berfungsi normal. Tatkala Devan bertemu Lee pada 23 Agustus 1985, dia menyarankan supaya pihak resmi Singapura menyiarkan hasil penilaian itu, sehingga tidak ada lagi anggapan masyarakat bahwa otak sang presiden sudah rusak. Jawaban Lee, "Andalah yang menyiarkannya." Devan tercengang oleh jawaban itu. Kesimpulannya, Lee tidak suka dibuktikan telah berbuat keliru. Sekonyong-konyong Devan menyadari, seandainya spesialis di New York melaporkan bahwa dirinya telah mengalami kerusakan otak secara mendalam, pastilah hal itu akan diberitakan secara besar-besaran di koran-koran Singapura. Malam itu, buat pertama kali dalam hidupnya, dan hanya istrinya yang mengetahui. Devan menangis. Dalam pertemuan itu Devan juga menyampaikan kepada Lee bahwa dia tidak dapat menerima keputusan pensiun bersyarat (tidak boleh lagi jadi peminum alkohol) sebagai presiden. Karena dia memang bukan alcoholic, dia menolak pensiun bersyarat itu. Alangkah kagetnya Devan, tatkala dibacanya dalam koran The Straits Times (4 September 1985) keterangan Kantor Perdana Menteri, "Pemerintah tidak sadar Devan Nair akan menolak pensiun demikian." Dengan menulis surat kepada FEER mungkin Devan telah berputus rotan dengan Lee, atau dengan kata-katanya sendiri "burned my boats with Lee Kuan Yew". Tapi prospek itu tidaklah membuat Devan bersedih hati karena, katanya, dia tidak dapat berputus rotan dengan Singapura dan rakyatnya. Tidak ada tempat lain di dunia baginya untuk kembali, apabila jangka waktunya sebagai fellow Institute for Advanced Study di Indiana University berakhir Mei 1987 nanti. Bagaimana nasib yang akan menunggu Devan Nair dan istrinya di Singapura nanti, wallahualam. Mengapa Devan Nair sampai diperlakukan sedemikian rupa oleh Lee Kuan Yew, padahal mereka dulu kawan seperjuangan dalam melawan kolonialisme Inggris? Sumber-sumber saya di Singapura memberikan berbagai keterangan. Ada yang mengatakan, karena Devan Nair sebagai presiden terlalu populist -- bersikap merakyat, suka mengundang teman-teman lamanya kongkow ke Istana, suatu hal yang tidak disenangi Lee. Sebab, menurut Lee, Devan harus menjaga segi-segi protokoler dan memperhatikan sifat seremonial jabatan presiden Singapura. Ada pula yang menyatakan, karena ada perbedaan dalam ideologi politik dan penerapan kekuasaan, antara sikap sosialis dan gaya kapitalis, dari Devan Nair dan Lee Kuan Yew. Atas pertanyaan saya, mengapa Devan mau menerima saja dikatakan pemabuk sebagai alasan pengunduran dirinya selaku presiden, padahal tidak benar? Jawab sumber saya, "Devan terlalu percaya kepada Lee." Sampai di mana kebenaran semua ini, barangkali dapat kita baca kelak dalam buku yang kini sedang dipersiapkan Devan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus