Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Mitos dan Narasi Lokal: Kontestasi Kuasa

Museum MACAN menggelar pameran seni rupa “Present Continuous/Sekarang Seterusnya” yang diikuti perupa dari berbagai daerah di Indonesia.

29 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pameran seni di Museum MACAN bertajuk Present Continuous/Sekarang Seterusnya.

  • Proyek kolaboratif Museum MACAN dan lima organisasi seni kontemporer di Indonesia.

  • Menampilkan karya para perupa dari berbagai daerah di Tanah Air.

PENGETAHUAN dan penciptaan berbasis praktik dan tradisi lokal memang menjadi urgensi dalam wacana seni lima tahun terakhir. Alih-alih melihat bentuk-bentuk itu sebagai “liyan”, para kurator dan seniman menampilkan bentuk-bentuk seni lokal tersebut untuk melawan dominasi sejarah seni Barat, mengkritik ketimpangan penulisan sejarah, dan kemudian memberikan alternatif bagaimana sejarah seyogianya ditampilkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam forum penting seperti Venice Biennale (terutama yang mempresentasikan Paviliun Negara) atau Documenta, seniman dari kawasan Asia, Afrika, Arab, atau Amerika Selatan, misalnya, menampilkan beragam proyek berbasis penulisan ulang sejarah yang mengolah kembali obyek-obyek lokal dan memberi jembatan untuk memasuki narasi global.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pameran seni “Present Continuous/Sekarang Seterusnya” yang diselenggarakan di Museum Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN), Jakarta, sepanjang Januari-April 2022 ini sepertinya berangkat dari gagasan semacam itu—memberi ruang untuk tradisi dan pengetahuan lokal dari berbagai tempat dan etnisitas di Indonesia.

Aaron Seto, Direktur Museum MACAN, menyebut pameran kali ini sebagai upaya menghubungkan organisasi dan perupa yang bekerja dalam wilayah ruang dan konteks budaya yang berbeda-beda untuk bisa saling berkomunikasi dan menembus batas struktural dalam proses kolaborasi. Menurut Aaron, “Pameran ini menghubungkan perupa dari Aceh hingga Papua dan terwujud dari proses berdialog yang cukup panjang bersama kurator.”

Setelah melewati dinding judul, penonton berhadapan dengan instalasi karya Kolektif Udeido, sebuah dinding yang penuh dengan mural dari seniman Yanto Gombo (Jayapura). Pada satu sisinya terbaca gambaran-gambaran peristiwa penuh kekerasan dan ironi yang dialami masyarakat Papua, kemudian dikontraskan dengan imaji berwarna biru yang menggambarkan orang-orang yang berjalan menuju sebuah citra berbentuk matahari tepat di tengah dinding, yang dikerjakan oleh Dicky Tackndare. Citraan itu disebut Dicky sebagai hu, yang artinya matahari dalam bahasa Sentani, yang menjadi simbol bagi kesejahteraan. 

Tujuh anggota Kolektif Udeido berkolaborasi untuk merancang dan mengembangkan satu instalasi bersama yang mampu mencakup karakter karya masing-masing. Betty Aidil, satu-satunya anggota perempuan kelompok ini, telah bersitekun dengan kerja menerjemahkan trauma dan pengalaman perempuan Papua dalam berbagai tragedi kekerasan fisik dan mental dalam karya seni

Karya Muhlis yang terdiri dari empat gambaran tentang Sangiang Serri. Dok. Museum MACAN

“Kami membangun sebuah ‘totem’ untuk mengimajinasikan Koreri dalam konteks masyarakat sekarang,” ucap Dicky Tackndare, pendiri sekaligus pentolan Kolektif Udeido yang kini berbasis di Yogyakarta. Bagi masyarakat Papua, terutama di Biak, Koreri menjadi sebuah impian bersama, sebuah bayangan atas kehidupan yang adil dan bebas dari penderitaan.

Meski berbasis totem, karya instalasi mereka menunjukkan spirit kontemporer yang tegas, warna merah menyala dengan motif emas yang tegas; merujuk pula pada bentuk-bentuk patung masa kini semacam imaji ala Yayoi Kusama sehingga ia memberi ruang untuk bertaut dengan budaya kekinian dan gagasan urban telah menjadi dominan dalam wacana seni rupa kontemporer. Di sekitar instalasi itu, para anggota Udeido menempatkan beragam bentuk totem, seperti kepala yang berupa buah pala, lukisan kulit pohon, dan tubuh bayi berwarna emas (yang tentu memberikan ironi tentang Papua sebagai salah satu lokasi penambangan emas terbesar yang semestinya menyejahterakan warga). 

Melalui Kolektif Udeido, banyak hal yang kita pelajari tidak hanya berkait dengan kebudayaan dan spiritualitas masyarakat Papua, tapi juga upaya melihat karya dan instalasi tersebut dalam satu konteks sosial-politik yang kompleks dalam kacamata seniman Papua sendiri. Kehadiran mereka menjadi penting untuk digarisbawahi bukan hanya karena absennya sejarah seni non-Jawa dalam penulisan sejarah seni rupa Indonesia, tapi juga bagaimana suara dari kolektif dan aktivis Papua ini diartikulasikan dalam sebuah ruang museum privat, yang selama ini terkesan jauh dari intervensi-intervensi politis. 

Dari Makassar, Muhlis Lugis melanjutkan investigasinya mengenai kisah Sangiang Serri (Dewi Padi) dalam epik La Galigo. Menurut Muhlis, gagasan ini berangkat dari pengalaman ketika ada perubahan dalam ritual makan sewaktu ia berada di rumah neneknya, yang menunjukkan perbedaan tradisi antargenerasi. “Saya melihat generasi nenek lebih mempunyai penghargaan terhadap makanan bukan hanya sebagai pengisi perut, tapi juga kekayaan peradaban, bahkan soal sejarah. Saya ingin membawa budaya makanan ini pada konteks yang lebih luas tentang hubungan kosmologis manusia dengan semesta,” ujar Muhlis. Muhlis membuat karya grafis yang terdiri atas empat gambaran tentang Sangiang Serri, yang menggambarkan imajinasinya atas bagaimana posisi Dewi Padi ini dalam simbolisme dan mistisisme masyarakat Sulawesi Selatan. 

Karya seniman Aceh, Arifa Safura—seniman berlatar belakang kuliah hukum yang menerjuni bidang ilustrasi dan media independen—merupakan refleksi atas trauma kolektif para perempuan Aceh dalam pusaran sejarah yang lebih banyak tidak berpihak pada perempuan. Para perempuan tidak hanya mengalami trauma dari konflik dan kekerasan yang terjadi selama puluhan tahun, tapi juga dalam konteks bagaimana agama menjadi alat untuk membatasi gerak dan ekspresi kebudayaan perempuan, termasuk pelarangan.

Dalam ruangan instalasinya, pengunjung mendapati radio dan televisi sebagai obyek utama, tempat ia memperdengarkan musik, rekaman percakapan, dan soundscape lain yang menjadi bagian dari ingatan kolektif warga, bergabung dengan wajah beberapa perempuan yang digambarkan Arifa sebagai saksi sejarah kelam dari masa kekerasan militer di Aceh. “Selama pemerkosaan berlangsung, diperdengarkan lagu dangdut sehingga warga tidak bisa mendengar. Dari situ seperti ada ingatan atas dangdut sebagai pemantik trauma,” tutur Putra Hidayatullah, kurator seni berbasis di Banda Aceh yang menjadi teman diskusi bagi Arifa dan DJ Rencong, kolaboratornya. 

Unit Pelaksana Terrakota Daerah (UPTD) Jatiwangi menampilkan rekonstruksi dari sejarah lokal identitas kewilayahan mereka dengan menunjukkan sebagian arsip dan upaya mereka mendokumentasikan sejarah terakota di wilayah tersebut dengan menempatkannya sebagai bagian dari gerakan seni kontemporer.

Menurut Ade Ahmad Sujai, karya yang diberi judul Terraditionale ini adalah bagian dari Babad Tanah Terrakota yang dipresentasikan dalam bentuk hawu, tungku pembakaran tradisional yang bentuknya menyimbolkan ibu dari sembilan pabrik terakota (jebor) yang berpartisipasi dalam pameran kali ini. Boleh dibilang karya dari UPTD Jatiwangi ini seperti membangun museum dalam museum, yang juga menafsir ulang batas tentang artefak dan karya seni, tentang obyek bergerak dan gagasan mengenai koleksi museum yang permanen, serta bagaimana institusionalisasi beroperasi dalam kehidupan sehari-hari. 

Karya seniman Aceh Arifa Safura dan DJ Rencong. Dok. Museum MACAN

Sementara karya seniman-seniman lain dalam pameran ini melihat lokal nyaris identik dengan konteks geopolitis atas “pinggiran”, karya Mira Rizki asal Bandung memberi cara pandang yang berbeda atas gagasan tentang lokal. Instalasi yang dipresentasikannya merupakan rekamannya atas situasi keseharian lingkungan sosial sekitar, terutama berkait dengan realitas bebunyian, yang kemudian menjadi bagian dari memori kolektif orang-orang sebagai entitas warga.

Karena itu, hal-hal yang direkam tampak sepele: suara lalu lintas, pulsa listrik yang habis, kendaraan, dan hal-hal lain yang selama ini kita lewatkan tapi telanjur menjadi bagian dari tubuh sehari-hari. Rekaman-rekaman itu dikombinasikan dengan replika tiang-tiang listrik yang menjadi pemandangan akrab bagi masyarakat—meski dengan tatanan yang rapi, tidak semrawut seperti yang biasa terlihat di pinggir jalan.

Dalam karya Mira, lokal adalah situasi di mana setiap orang berpijak, termasuk penerimaan terhadap hal-hal baru (dalam konteks ini kita bisa melihat tiang listrik sebagai simbol atas mesin/teknologi/modernitas) ketimbang lokal yang bertaut dengan gagasan tentang tradisi. 

Pameran seni rupa ini secara umum menampilkan konteks wacana yang selama ini sering tak tampak dalam narasi seni kanon yang ditampilkan dalam perhelatan-perhelatan besar atau ruang museum.

Dari trauma kekerasan dan upaya membongkar peristiwa sejarah kecil seperti yang ditampilkan seniman Aceh dan Papua, upaya menghidupkan lagi mitos dan narasi lokal seperti yang diciptakan seniman Makassar dan Jatiwangi, hingga penelusuran terhadap fenomena keseharian dalam konteks urban, “Sekarang Seterusnya” menjadi strategis membuka museum sebagai ruang untuk mempercakapkan ihwal lokalitas dan wilayah pinggiran, terutama bagi audiens museum yang selama ini tampaknya nyaman sebagai bagian dari kelas menengah yang menikmati privilese atas akses, kuasa, dan ruang ekspresi. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus