SEDOTAN minum itu mengelus alunan Country Dance milik Beethoven. Lima puluh orang anak duduk di karpet di depan panggung Auditorium Citibank Plaza, Pondok Indah. Mereka semua memegang sedotan yang berfungsi sebagai baton (tongkat) dan semua anak hari itu bertindak sebagai konduktor.
Ini permainan musik yang seru. Lihat Joshua Malaiholo, 10 tahun, yang tersenyum lebar saat naik ke panggung bersama tiga orang rekannya. Tangan putra penyanyi Harvey Malaiholo itu beserta dua anak lainnya terayun mengikuti alunan Country Dance.
Begitulah suasana puncak Matinee Concert, salah satu mata acara yang diadakan Yayasan Amadeus Indonesia dalam rangkaian Pekan Klasika 2002, yang berlangsung sejak dua pekan silam hingga kini. Jauh dari suasana konser yang serius dan menegang, 50 konduktor "gadungan" tampak riang menari, berputar, dan mengentakkan kaki mengikuti irama klasik. Yang memainkan orkes juga bukan orang dewasa, melainkan rekan sebaya mereka yang sudah mengikuti lokakarya beberapa hari sebelumnya. Para musisi kecil itu berusia 5 hingga 12 tahun.
Philip Green menawarkan resep yang tepat untuk anak-anak: keceriaan. Sebagai seorang pendidik musik klasik asal Australia yang diundang mengisi lokakarya ini, ia menunjukkan satu hal yang lazim bahwa musik adalah bahasa universal yang bisa diterima siapa pun, termasuk anak-anak. Karena ini lokakarya untuk anak-anak, pendekatannya harus sembari "bermain-main".
Yayasan Amadeus adalah salah satu sekolah musik yang membuka kelas klasik bagi anak-anak, dari yang masih buta not balok hingga yang sudah cukup mahir. Mereka ditampung dalam kelas pramusik yang isinya anak berusia 2,5 sampai 4 tahun yang, boro-boro membaca not balok, membaca huruf Latin saja belum bisa. Pendekatan kepada para bocah ini harus dengan menyelami dunianya. Jika tidak, bisa-bisa mereka mengantuk, menangis, atau minta pulang.
Grace Sudargo, pemimpin Amadeus, menggunakan pendekatan mendongeng kepada anak-anak di kelas pramusik itu. Misalnya mengajarkan not dalam biola. Dia mengibaratkan biola sebagai pohon dan jari-jari tangan sebagai anak monyet. Dengan cara ini, para bocah itu lebih mudah mengerti ketimbang disodori not yang rumit. Kanti, salah satu pengajar, menerapkan hal serupa. Dia biasanya mendongeng sesuai dengan irama musik yang diajarkan. Misalnya, saat mengajarkan Fanfare to Diane and Chloroise, dia bercerita tentang seorang putri yang kangen kepada ibunya. Sesekali dia memberikan hadiah—berupa permen atau stiker—atas kemajuan yang dicapai si anak di kelas.
Lulus dari pramusik, sang anak masuk kelas privat mendalami satu alat musik, biola atau piano. Selanjutnya, mereka dilatih dalam kelas orkes yang memadukan semua alat musik menjadi untaian nada yang harmonis. Menurut Grace, orkes adalah bagian penting dalam pendidikan musik klasik anak. Melalui media itu, anak belajar bekerja sama dalam satu tim. Maklum, jika satu orang salah membunyikan not, satu tim terpengaruh.
Addie M.S. dan Twilite Orchestra-nya juga termasuk peduli untuk mendekatkan musik klasik kepada anak-anak. Sepanjang tiga tahun, Twilite sudah menggelar konser buat pendengar kecil mereka. Tujuannya supaya anak-anak di Indonesia sejak dini kenal dengan musik klasik. Menurut Addie, di negara maju, musik klasik bukan hanya seni, tapi juga pendidikan. Musik klasik terbukti mampu menstimulasi otak bagian kanan yang meningkatkan kemampuan berpikir seorang anak. Ia menunjuk efek Mozart yang terbukti meningkatkan kecerdasan anak.
Ia menyayangkan, di Indonesia musik klasik sering dianggap bukan porsinya anak. Walhasil, musik klasik menjadi sesuatu yang tak tersentuh dan "mengerikan". Pada saat tur ke beberapa sekolah dasar, Addie melihat anak-anak bisa menikmati musik klasik dengan riang ketika ia menyodorkan komposisi Radetzki March karya Johann Strauss atau William Tell Overture: Finale karya Giocchino Rossini, yang kerap tampil dalam film kartun.
Syukurlah anak-anak memberikan respons positif. Kelas-kelas musik buat anak di Amadeus pun selalu diminati. Grace tak menutup mata adanya orang tua yang memaksakan anaknya belajar musik klasik demi mengikuti tren. Toh, pada akhirnya terlihat juga siapa yang benar-benar berminat dan yang terpaksa. Karena itu, untuk mempertahankan standar pengajaran, Amadeus menerapkan sistem drop-out bagi mereka yang dua kali tidak naik tingkat. "Kami mengajarkan musik klasik secara bertanggung jawab, bukan ikut-ikutan," kata Grace, yang mengambil bidang pedagogi musik klasik di Austria.
Dengan cara berbeda, Twilite Orchestra juga "mendidik" anak-anak supaya menyukai musik klasik melalui konser khusus keluarga. "Secara finansial, godaan mendirikan sekolah memang menarik, tapi saat ini kami ingin berfokus di orkestra dulu," tutur Addie. Dengan cara itu, setiap kelompok telah menyebarkan alunan musik klasik ke dalam dunia anak-anak, yang mudah-mudahan mampu memperkaya batinnya.
Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini