Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Meraup Uang Panas di Pulau Seribu

Omzet perjudian di Jakarta hampir mencapai Rp 30 triliun per tahun. Perlukah lokalisasi?

5 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA cukong judi kini tengah menghitung hari. Mereka sedang menunggu apakah perjuangan duet Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dan Bupati Kepulauan Seribu Abdul Kadir untuk mengegolkan ide lokalisasi perjudian berhasil atau tidak. Rencana pemusatan judi ini mendapat reaksi beragam pekan-pekan ini. Ada yang setuju, tapi tak sedikit yang menolak keras. Lokalisasi itu akan dilakukan di Kepulauan Seribu, yang bisa ditempuh paling lama dua jam dari pantai Ancol, Jakarta Utara. Ancang-ancang sudah dilakukan. Bupati Abdul Kadir menyebut ada 35 pulau yang siap dipakai untuk proyek gambling ini. Idenya tak lain mengopi Genting Highland di Malaysia. Meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, Malaysia tetap menyediakan kawasan khusus perjudian, yang tertutup, yang terletak 50 kilometer dari Ibu Kota Kuala Lumpur. Hasilnya luar biasa. Jutaan dolar sudah diraup pemerintah Mahathir dari Genting. Jakarta tak mau ketinggalan. Pekan-pekan ini, duet Sutiyoso-Abdul Kadir giat menjual idenya ke mana-mana. Calon investor kabarnya sangat antusias menyambut ide tersebut. Setidaknya, kata Bupati, ada lima cukong yang siap menyongsong. Salah satunya Rizaf Thaib, pemilik SNS Group. Rizaf, yang selama ini dikenal sebagai pengelola bisnis bursa komoditi, akan masuk melalui Yayasan Bina Dana Sosial. Ia sudah mengajukan proposal pada 9 Januari lalu. Rizaf berpengalaman mengelola permainan ketangkasan melalui Yayasan Pembinaan Pemuda dan Olahraga di zaman Menteri Pemuda dan Olahraga Hayono Isman. Investor lainnya punya tempat per-judian di sejumlah negara. Menurut Abdul Kadir, sang cukong yang masih dirahasiakan ini bersedia menyetor sampai Rp 1,8 triliun ke kas pemerintah daerah. Kadir juga mengaku sudah bertemu dengan Tomy Winata, salah satu pebisnis kawakan yang kerap dikabarkan punya tempat perjudian papan atas di Jakarta. Tapi Kadir mengaku tak berbicara soal perjudian dengan bos Artha Graha Group ini. ”Kami berbicara mengenai kunjungan Taufiq Kiemas yang berlibur ke sini,” katanya kepada Juli Hantoro dari Koran Tempo. Sutiyoso punya maksud lain. Ide ini dilontarkan untuk membatasi dampak sosial perjudian yang kadung merebak luar biasa. Menurut Lembaga Penelitian Pranata Pembangunan Universitas Indonesia, yang rajin meriset soal rawan ini, ada belasan lokasi perjudian kelas atas di Jakarta. Ada yang bertempat di pusat pertokoan, ada juga yang ngepos di hotel. Sebagian besar berada di kawasan Jakarta Barat. Di luar itu, masih ada sekitar 30 lokasi perjudian kelas bawah yang tersebar di seluruh wilayah Ibu Kota (lihat tabel). Para pengunjungnya bervariasi, dari kalangan jetset sampai tukang becak dan penganggur. Uang yang diputar juga sangat besar, bisa mencapai sekitar Rp 80 miliar per malam di kawasan perjudian papan atas. Ini cuma hitungan kasar di belasan tempat tadi. Judi kelas bawah meraup Rp 4,8 miliar per minggunya. Sebagian besar berupa toto gelap alias togel yang menginduk ke Singapura. Ada yang satu kali putaran per minggu, ada pula yang sampai tiga kali. Total jenderal, ada putaran uang sampai Rp 30 triliun setiap tahunnya. Ini jumlah yang menggiurkan, bisa untuk membangun pelbagai fasilitas umum sebagaimana pernah dilakukan di zaman Gubernur Ali Sadikin. Tak aneh jika pemerintah DKI tergiur untuk ”meresmikan” perjudian. Perekonomian ilegal ini bisa menjadi sumber pendapatan yang besar. Taruhlah jika mereka bisa mengambil 10 persen saja, perjudian akan menambah pendapatan Rp 3 triliun. Bandingkan dengan pen-dapatan asli daerah DKI tahun lalu, yang hanya Rp 3,5 triliun, atau dengan anggaran tahun ini, yang cuma Rp 8,8 triliun. Ide ini akan mengundang badai. Dari sisi hukum, ada empat aturan yang mesti diperhitungkan. Pada 1973, pemerintah melarang pegawai negeri dan anggota TNI berjudi melalui Undang-Undang Nomor 13/1973. Setahun kemudian, terbit UU No. 7/1974, yang jelas me-larang perjudian. Aturan ini diikuti oleh Peraturan Pemerintah No. 9/1981, yang mencabut izin penyelenggaraan perjudian yang sudah kadung dikeluarkan. Masih ada satu lagi: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 303, yang jelas-jelas memasukkan judi sebagai kejahatan. Sederet aturan ini bisa menjadi senjata penolak judi. Badan-badan resmi juga menampik. Kepala Dinas Penerangan Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Anton Bachrul Alam menegaskan akan menolak. Di DPRD, Sutiyoso juga menghadapi ganjalan. Setidaknya sudah dua partai di DPRD DKI Jakarta yang terang-terangan menolak lokalisasi dalam bentuk apa pun, yakni Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan. PPP dan PKB mungkin akan mengambil langkah sama. ”Yang harus dilakukan Sutiyoso adalah memberantas perjudian, bukannya melokalisasinya,” kata Abdul Aziz Matnur, sekretaris Fraksi Partai Keadilan, kepada Dimas Adityo dari Tempo News Room. Memberantas judi bukan perkara gampang. Aparat bukannya berpangku tangan. Dalam catatan Rizal Hikmat dari Pranata Pembangunan, penggerebekan sudah ratusan kali dilakukan polisi. Ribuan cukong dan penjudi sudah ditangkap. April lalu, Lantai III Harco Mangga Dua digerebek polisi. Bulan puasa tahun lalu, pusat perjudian di Jalan Kunir, dekat Stasiun Kota, juga ditutup. Operasinya terkadang gabungan antara polisi, tentara Kodam Jaya, Pomdam Jaya, dan juga Garnizun. Faktanya, jadi masih saja menjamur. Sepanjang 1996-2001, Polda Metro Jaya menangani 188 kasus perjudian—sebagian besar di Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Lebih dari 1.600 orang ditangkap dan 20 orang dihukum. Bak pepatah, patah satu tumbuh seribu. Polisi dan Pranata menyimpulkan, paling sulit memberantas perjudian di kalangan bawah. Hampir tak ada wilayah Ibu Kota yang steril. Di kawasan Blok M, Pasar Minggu, Pasar Jatinegara, Pasar Genjing, dan Jelambar, judi masih subur. Pranata memperkirakan ada 1,2 juta penduduk Jakarta, atau hampir 10 persen warga Ibu Kota, yang terlibat dalam perjudian. Umumnya mereka berpenghasilan pas-pasan. Karena itu, Sutiyoso maju terus. Jika judi ini dilokalisasi, pajak akan masuk ke kas negara. Tapi semuanya bergantung pada pemerintah. ”Apakah pemerintah mau mencabut larangan itu?” katanya. Dulu, surat keputusan Menteri Sosial ketika Presiden Soeharto berkuasa untuk menerbitkan ”undian bernuansa judi”, seperti Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) dan Porkas, toh bisa mengabaikan undang-undang dan peraturan pemerintah. Tapi itu dulu, ketika rakyat cuma bisa menurut. M. Taufiqurohman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus