Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP ada isu soal judi, nama Tomy Winata selalu saja disebut-sebut. Dua tahun silam, kala masih berkuasa, Presiden Abdurrahman Wahid pernah memerintahkan agar pengusaha perbankan dan properti ini ditangkap. Ia ditengarai mencukongi perjudian lewat kapal pesiar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi kemudian Tomy membantah tudingan Abdurrahman. Pekan lalu, ketika Gubernur DKI Sutiyoso melontarkan gagasan melokalisasi perjudian, nama Tomy kembali dipergunjingkan: jangan-jangan ada peran Tomy di balik rencana itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Benarkah Tomy Winata terlibat rencana lokalisasi perjudian yang disebut-sebut akan dibangun di Kepulauan Seribu itu? Ia membantah. Pengusaha yang dikenal dengan sebutan TW oleh rekan-rekannya dan kalangan wartawan itu menjawab pertanyaan tertulis yang dilayangkan Nurlis E. Meuko dari Tempo akhir pekan lalu. Berikut ini petikannya.
Bagaimana sikap Anda terhadap rencana pemerintah melokalisasi perjudian?
Selama ini, kebijakan pemerintah tentang perjudian di Indonesia sudah sesuai dengan perundangan yang berlaku. Ketika muncul wacana lokalisasi perjudian, tentu ada yang melatarbelakanginya. Persoalannya, sejauh mana kajian tentang ini sudah dilakukan. Bila ternyata manfaatnya, dari sisi sosial, ekonomi, dan keamanan, atau aspek positifnya lebih besar dibanding negatifnya, kenapa tidak?
Anda disebut sebagai salah satu investor untuk rencana itu. Benarkah?
Saya belum berpikir terlalu jauh untuk soal ini. Bagi saya, sepanjang bisnis itu memiliki prospek, baik secara ekonomi maupun non-ekonomi, tentu perlu dilihat juga. Sebagai pengusaha, tentu saya selalu melihat peluang bisnis yang ada di semua sektor. Hanya, khusus soal perjudian, hingga kini saya belum tertarik untuk menceburkan diri.
Apakah lokalisasi perjudian bisa mengatasi merebaknya perjudian ilegal?
Siapa yang bisa menjamin? Tidak ada. Karena itu, perlu dilakukan pengkajian yang mendalam. Jangan cuma ributnya. Bila ada kekhawatiran bahwa jika perjudian sudah dilegalisasi tapi yang liar masih marak, kan itu bisa dihindari dengan sistem serta syarat dan prasyarat bagi penyelenggara perjudian yang dilegalkan. Minta saja jaminan kepada si penyelenggara lokalisasi. Buat saja kewajiban itu. Apakah caranya nanti melibatkan peran dan fungsi masyarakat sebagai pengawas yang bekerja sama dengan aparat pemerintah, itu hanya soal cara. Tapi komitmen untuk itu harus ada.
Sudah menjadi rahasia umum, ada sebagian aparat terlibat dalam perjudian ilegal, benarkah?
Segala usaha yang bersifat ilegal dan tetap bisa berlangsung tentu ada yang membeking. Apakah itu aparat pemerintah atau nonpemerintah, tentu tergantung jenis kegiatan ilegal tersebut. Judi itu ibarat "istri simpanan". Dirawat, dibiayai, dilindungi, dan dinikmati, tapi tidak mau diakui. Karena apa? (Tomy Winata tidak melanjutkan kalimatnya.)
Sejak wacana legalisasi judi muncul, sejumlah lokasi judi ilegal ditutup. Apakah Anda mengetahui soal itu?
Terus terang saja, saya mengetahui adanya penutupan lokasi-lokasi judi, apakah yang ada di daratan atau di pulau, awalnya dari media massa. Baru kemudian dengar-dengar dari teman-teman, ya… kongko-kongko bahwa perjudian di Jakarta dirazia oleh Bapak Kapolda Metro Jaya dan Bapak Gubernur DKI Jakarta. Langkah itu perlu didukung semua pihak. Pertanyaannya: apakah aparat bisa mengawasi secara terus-menerus?
Kabarnya, Anda terlibat dalam penutupan sejumlah tempat perjudian di Jakarta?
Lo, apa peran saya? Inilah yang sejak dulu sering saya ungkapan dan sering saya tegaskan: bahwa segala tuduhan itu jangan diawali dengan katanya, kabarnya, atau konon. Semua menjadi tidak konkret dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam konteks yang Anda maksud, apalah artinya saya ini.
Benarkah Anda bertemu dengan Bupati Kepulauan Seribu dan Taufiq Kiemas di Pulau Seribu untuk membahas rencana lokalisasi perjudian?
Saya tidak bertemu dan berbincang dengan Bapak Taufiq Kiemas soal perjudian. Bila saya berjumpa dengan Bapak Bupati Abdul Kadir, akhir pekan lalu, di Kepulauan Seribu, pembicaraan saya hanya sekitar soal Pulau Pantara, Pulau Matahari, yang memang sudah lama kami kelola sebagai obyek pariwisata laut. Sebagai pengusaha, tentu kami sangat memerlukan masukan-masukan serta kritik dari pemerintah, agar kami bisa melakukan pengembangan obyek wisata ini hingga menjadi lebih baik. Itu saja. Saya terkejut ketika membaca di media massa, kok, saya disebut terlibat dalam pembicaraan soal itu. Bisakah saya berbuat lain, selain diam?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo