Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

 Eh, Ada Boneka Asmuni dan Gepeng....

Seorang anak panggung Srimulat menggelar pameran untuk memperpanjang ingatan grup lawak Srimulat. Penonton membeludak.

9 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pameran bertajuk Nostalgia Srimulat di ruang bawah tanah Alun-Alun Surabaya, Jawa Timur, 22 September 2022. ANTARA/Didik Suhartono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EKO Kucing semestinya sudah mengemasi properti pameran Nostalgia Srimulat bertema “Berpacu dalam Melodi dan Komedi” itu pada Jumat, 30 September lalu. Namun Unit Pelaksana Teknis Daerah Museum dan Gedung Seni Balai Budaya Kota Surabaya memberinya perpanjangan waktu sampai 10 Oktober. Animo pengunjung yang besarlah yang membuatnya urung mengemas barang-barangnya di basemen Alun-alun Kidul Surabaya itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada akhir pekan, kata generasi terakhir Srimulat Surabaya tersebut, jumlah pengunjung mencapai 3.000 orang, terhitung sejak pameran dibuka pukul 09.00 hingga tutup pukul 22.00. Pengunjung usia sekolah menengah atas dan mahasiswa mendominasi. Mereka datang berombongan atau perorangan. Di dalam ruang pamer, mereka memotret dengan telepon selulernya ataupun membuat vlog. Meski demikian, ada pengunjung usia sekolah dasar yang sengaja dikerahkan oleh guru untuk menonton pameran itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pria dengan nama asli Eko Meiyono itu tak menyangka animo masyarakat begitu besar. Pameran di Alun-alun Surabaya itu ketiga kalinya digelar Eko setelah di pusat belanja Ciputra World dan Pakuwon Trade Center Surabaya pada awal tahun ini. Namun jumlah penontonnya tak seramai di alun-alun.

Dua kali Tempo mengunjungi pameran tersebut, yakni pada Selasa, 27 September lalu, dan Selasa pekan berikutnya. Penonton yang kebanyakan dari generasi muda terlihat mengalir tanpa putus. “Terus terang ini surprise bagi saya, betapa nama Srimulat ternyata melekat juga di hati anak-anak muda,” ujar pelawak 57 tahun itu pada Selasa, 4 Oktober lalu.

Meski demikian, pengunjung dari kalangan tua juga tak sedikit. Umumnya mereka mengaku datang untuk mengenang masa lalu. Hansing, 70 tahun, salah satunya. Warga Jakarta Pusat itu sengaja menonton di sela-sela kegiatannya di sebuah hotel tak jauh dari tempat pameran. Ia mengaku seperti bernostalgia saat masih muda. “Saya dulu selalu nonton Srimulat di TVRI. Idola saya Gepeng,” tuturnya.

Baju pentas Gepeng dalam pameran bertajuk Nostalgia Srimulat di ruang bawah tanah Alun-Alun Surabaya, Jawa Timur, 22 September 2022. TEMPO/Kukuh S Wibowo

Dalam pameran tersebut, Eko menampilkan berbagai jenis barang, dari 20 koleksi foto dalam pigura, 12 foto banner, hingga 23 boneka tokoh Srimulat. Tokoh Srimulat yang dibuat boneka di antaranya pendiri Srimulat, Teguh Slamet Rahardjo dan Jujuk, serta Edy Gombloh, Timbul, Gepeng, Asmuni, Mamiek Prakoso, Gogon, Basuki, Polo, Tessy, Kadir, Nurbuat, dan Nunung. Boneka-boneka itu ukurannya sebesar wayang golek.

Selain itu, ditampilkan puluhan kaset pita hasil rekaman Srimulat, beberapa kostum panggung, naskah cerita, peralatan musik pembuka pentas, dan majalah-majalah yang menyajikan gambar sampul pelawak Srimulat. Suasana Srimulat makin kental karena layar monitor 32 inci yang diletakkan di tengah ruang pameran terus-menerus memutar penampilan grup lawak itu ketika masih berkiprah di TVRI pada era 1980-an.

Eko berburu koleksi-koleksi itu ke teman-temannya yang masih hidup dan ke anggota keluarga eks Srimulat yang telah meninggal. Eko, misalnya, mendapat sebagian foto lawas dari Bambang Gentolet dan Miarsih, dua pelawak Srimulat di Surabaya. Foto-foto itu kemudian direproduksi dengan ukuran lebih besar untuk keperluan pameran. Ia juga mendapatkan koleksi kostum Drakula dari keluarga almarhum Nunuk Murdono.

Nunuk adalah spesialis pemeran Drakula dalam pentas-pentas horor Srimulat. Selain Nunuk, pemeran Drakula Srimulat yang tersohor adalah Paimo dan Tohir. Eko mengatakan Drakula dan mayat hidup adalah ikon horor Srimulat. Karena itu, ia sengaja meletakkan replika dua makhluk itu di ruang pameran sekaligus untuk digunakan pengunjung berswafoto.

Koleksi lain yang didapat Eko adalah kostum pembantu milik Gepeng alias Freddy Aris berwarna hitam bergaris-garis kuning lengkap dengan lap meja dan kemoceng. Menurut Eko, anggota keluarga pemain Srimulat secara sukarela menyerahkan memorabilia. “Mereka malah berterima kasih karena ada yang mau merawat,” ujarnya.

Adapun koleksi berupa kaset, brosur, majalah, dan bekas tiket masuk gedung didapat dari sumbangan penggemar. Mereka sengaja menitipkan benda-benda itu agar tidak hilang atau rusak. Ada pula yang menjualnya ke Eko. Eko bersedia mengganti dengan uang asalkan nilai kesejarahan benda itu cukup kuat. Walau begitu, Eko masih terus berburu koleksi. “Saya mendengar ada yang menyimpan alat musik era Srimulat Solo, ini lagi saya kejar,” katanya.

Untuk melengkapi koleksi, Eko menemui Herry Gendut Janarto, penulis buku Berpacu dalam Melodi dan Komedi. Koleksi foto Herry, menurut Eko, lumayan lengkap karena mantan wartawan Kompas itu mendapat banyak pasokan dokumen dari pemimpin Srimulat, Teguh Slamet Rahardjo, saat ia menyusun buku tersebut pada 1990. Foto-foto itu memperlihatkan suasana di belakang panggung dan di atas pentas sejak Srimulat masih di Solo pada 1950 hingga berkembang ke Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Eko meminta izin mereproduksi foto-foto itu. “Pak Herry tidak keberatan,” tutur Eko.

Herry Gendut tidak membantah kabar bahwa mayoritas foto yang dipamerkan direproduksi dari bukunya. “Hampir semua foto dari buku saya,” katanya ketika dihubungi.

Herry mempersilakan foto-foto itu dipamerkan. Kalaupun akhirnya durasi pameran diperpanjang karena banyaknya peminat, menurut Herry, semua itu tidak lepas dari faktor kesejarahan Srimulat yang mulai menetap di Taman Hiburan Rakyat Surabaya sejak 1961. Sebelum memutuskan menetap di ibu kota Jawa Timur itu, Srimulat berpentas keliling dari kota satu ke kota lain, seperti Cirebon, Jawa Barat, dan Purwokerto, Jawa Timur. Herry bertutur nilai kesejarahan rombongan Srimulat di Surabaya tak hanya besar, tapi juga kental. “Di sanalah mereka berjaya,” ucap Herry.

Mula-mula, kata Herry, sajian musik mendominasi pentas Srimulat. Materi lawakan hanya sebagai selingan. Seiring dengan berjalannya waktu, sajian lawak lebih dipentingkan. “Itu terjadi pada zaman Johny Gudel, Beny Bandempo, Edy Geyol, Paimo, Sumiati, dan lain-lain,” ucapnya.

Foto lama anggota Srimulat dalam pameran bertajuk Nostalgia Srimulat di ruang bawah tanah Alun-Alun Surabaya, Jawa Timur, 4 Oktober 2022. TEMPO/Kukuh S Wibowo

Bagi Herry, Srimulat tak pernah tamat. Animo pengunjung, yang kebanyakan kaum milenial, adalah buktinya. Herry merasa harus berterima kasih kepada Teguh yang telah meninggal pada 22 September 1996 itu. Ia berhasil menciptakan seni panggung khas Srimulat yang sampai sekarang masih dapat dikenang dan dinikmati. “Saya turut bergembira ada upaya nyata untuk mengabadikan nama Srimulat beserta segenap anak wayangnya lewat pameran di Surabaya ini,” tutur Herry.

Eko menggagas pameran setelah pentas-pentas panggung berhenti karena Covid-19. Ia baru melaksanakan idenya itu setelah pandemi mulai landai. Ide pameran itu sendiri, Eko menambahkan, berawal saat ia ditemui salah seorang pengurus Museum Gubug Wayang Mojokerto yang berniat meminta referensi tokoh-tokoh Srimulat untuk dibuat boneka wayang golek. Dari pertemuan itu, menurut Eko, kolaborasi pun terjalin. Eko dipersilakan menyimpan semua koleksinya di museum tersebut. 

Tak hanya itu, Eko memindahkan sekretariat Srimulat yang awalnya di Taman Hiburan Rakyat Surabaya ke Museum Gubug Wayang. Awal 2019, kampung seni di kompleks THR dirobohkan oleh pemerintah Surabaya. Pemerintah daerah kabarnya akan mengubah fungsi lahan untuk kegiatan bisnis. Di Mojokerto, ia mencoba meregenerasi Srimulat. Sejumlah pelawak berlatar belakang seniman tradisional diajak bergabung. “Saya sudah mendapat izin dari keluarga Pak Teguh,” ucapnya.

Menurut Eko, pelawak asli rekrutan Srimulat yang saat ini masih hidup bisa dihitung dengan jari. Di antaranya dia sendiri, Polo, Kadir, Tessy, dan Tarzan di Jakarta. Adapun Miarsih, Verawati, dan Eko Londo menetap di Surabaya. Eko mengaku terpanggil meregenerasi personelnya karena yang masih hidup pun fisiknya mulai lemah dan sakit-sakitan. “Saya ingin nama Srimulat tetap ada di hati masyarakat, salah satu caranya ya melalui pameran,” katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus