Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA awal November 2023, Rizal Ramli menulis artikel di web berbahasa Inggris, The Diplomat. Judulnya “Indonesia's Dramatic Turn Toward Semi-Authoritarianism and Dynastic Politics”. Dalam artikel itu, Rizal mengecam kebijakan Presiden Joko Widodo yang mendorong anaknya menjadi calon wakil presiden. Menurut Rizal, keputusan itu bisa membawa Indonesia kembali ke era otoriter melalui dinasti politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengecam kebijakan publik yang ia anggap keliru menjadi keseharian pria yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 10 Desember 1954, dan tumbuh di Bogor, Jawa Barat, bersama neneknya ini. Kegemaran menulis kritik ia lakukan sejak menjadi mahasiswa Fisika di Institut Teknologi Bandung. Saat menjadi Wakil Ketua Dewan Mahasiswa ITB 1978, ia salah satu penyusun Buku Putih Perjuangan Mahasiswa ITB 1978 yang mengkritik pemerintahan Orde Baru. Akibatnya, ia masuk tahanan militer dan, setelah diadili, masuk penjara Sukamiskin, Bandung, pada Januari 1978.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah bebas pada akhir 1978, Rizal meneruskan studi di Jepang karena mendapat beasiswa Asian Studies di Sophia University. Salah satu mata kuliah yang menarik perhatiannya adalah sejarah ekonomi, termasuk bagaimana Jepang bangkit dari kehancuran setelah Perang Dunia II hingga menjadi negara terkaya nomor 2, menyalip Amerika Serikat yang menghancurkannya.
Keasyikannya mengulik kebijakan ekonomi politik membuat minat Rizal yang semula ingin menjadi ahli fisika bergeser ke ekonomi. Anak asisten wedana yang yatim-piatu sejak usia 8 tahun ini pun makin tertarik mempelajari cara banyak negara menyejahterakan warganya. Apalagi kuliah ekonomi menuntutnya mahir matematika, pelajaran yang ia gemari sejak kecil.
Pengetahuan Rizal tentang ekonomi politik, sikap kritis, dan mahir bahasa Inggris menarik perhatian Gustav Papanek, pakar ekonomi yang memimpin Harvard Advisory Group di Kementerian Keuangan pada 1971-1973. Guru besar ekonomi di Boston University, Amerika, ini memberikan beasiswa master kepada Rizal di bawah bimbingannya.
Di Boston, Rizal tak hanya menggali ilmu, tapi juga mengembangkan jaringan. Tempat tinggalnya kerap menjadi tempat persinggahan dan diskusi para aktivis prodemokrasi Indonesia. Sjahrir, Ketua Umum Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Jakarta 1966-1969, yang sedang mengambil studi doktoral ekonomi politik di Harvard University, salah satu yang acap nongkrong di rumah Rizal.
Selesai menempuh studi di Boston, Rizal kembali ke Indonesia dan menjadi penasihat senior Center for Policy and Implementation Studies (CPIS), lembaga pemikir yang didirikan Kementerian Keuangan. Di lembaga ini, Rizal bertemu dengan Sofyan Djalil, yang kelak menjadi Menteri Koordinator Perekonomian di masa Jokowi.
Keduanya mendapat tugas studi doktor di Amerika Serikat. Rizal kembali ke Boston University, sedangkan Sofyan menempuh studi hukum di Tufts University di pinggiran Kota Boston. Di kota ini, rumah Rizal kembali menjadi tempat diskusi para aktivis prodemokrasi. Baik yang sama-sama sedang kuliah seperti pengacara Todung Mulya Lubis maupun mereka yang sekadar singgah seperti Herry Akhmadi, Ketua Dewan Mahasiswa ITB 1977-1978.
Rumah Rizal menjadi magnet bagi siapa pun yang tertarik pada perkembangan politik di Indonesia, termasuk sambil berharap makan gratis. Rizal beruntung. Istrinya, Herawati M. Mulyono, juniornya di Jurusan Arsitek ITB, tak pernah lelah mendukung kegiatannya. Sambil mengurus dua anak yang masih kecil dan bekerja, Hera berhasil menyelesaikan master di Harvard University. Rizal amat terpukul ketika Hera wafat akibat kanker pada 2006.
Pulang dari Boston pada 1990, Rizal selama empat tahun meneruskan kerja konsultan di CPIS dan terlibat proyek peningkatan akses modal bagi para penduduk desa melalui skema Simpanan Pedesaan BRI, yang melibatkan 3.600 desa. Kebiasaannya berbicara terus terang membuat ia berkonflik dengan konsultan-konsultan asing. Bersama alumnus ITB lain, seperti Laksamana Sukardi, Arif Arryman, dan M.S. Zulkarnain, Rizal mendirikan Econit Advisory Group.
Lembaga pemikir ekonomi independen ini sering membuat laporan yang mengkritik kebijakan ekonomi Orde Baru, seperti program mobil nasional, pupuk urea, dan pengelolaan pertambangan Freeport. “Saat itu kami mungkin satu-satunya lembaga pemikir ekonomi yang independen hingga mendapatkan cukup banyak klien yang bersedia membayar retainer,” ujar Laksamana Sukardi. Laporan Econit cukup akurat memprediksi kemungkinan terjadinya krisis moneter 1998.
Krisis itu membuat Soeharto mundur sebagai presiden setelah 32 tahun berkuasa. Penggantinya, Presiden B.J. Habibie, menawarkan posisi menteri kepada Rizal Ramli. Tawaran ini ia tolak. Alasannya, kata Sofyan Djalil, adalah, “Rizal Ramli menganggap rezim Habibie penerus Orde Baru.”
Rizal baru bersedia masuk pemerintahan setelah diminta Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai Kepala Badan Urusan Logistik pada Maret 2000. Menjabat sampai Februari 2001, Rizal membuat semua kegiatan off budget di Bulog menjadi on budget, menyederhanakan jumlah rekening dari 117 menjadi 9, dan melakukan rotasi besar-besaran. Dampaknya, neraca keuangan Bulog positif.
Keberhasilan ini membuat Gus Dur memintanya menjadi Menteri Koordinator Ekonomi dan Industri, menggantikan Kwik Kian Gie pada 23 Agustus 2000, lalu melantiknya sebagai Menteri Keuangan pada 12 Juni 2001 hingga digantikan Boediono pada 9 Agustus 2001.
Kendati singkat, Rizal membuat revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang sebelumnya berbulan-bulan menjadi hanya empat hari, menyelamatkan keuangan Perusahaan Listrik Negara, menyelamatkan Bank Internasional Indonesia, meningkatkan daya saing PT Telkomsel dan PT Indosat, menurunkan koefisien Gini, serta meningkatkan pendapatan negara dari pajak. Walhasil, ketika Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden pada 2004, Rizal kembali ditawari masuk kabinet. “Namun beliau hanya mau posisi Menteri Keuangan atau Menteri BUMN, jadinya tawaran itu diberikan kepada orang lain,” tutur Jusuf Kalla, wakil presiden.
Kendati demikian, ayah tiga anak ini tak sepenuhnya keluar dari orbit pemerintahan. Ia menjadi Komisaris Utama PT Semen Gresik pada 10 Desember 2007. Ia dicopot tujuh bulan kemudian karena disinyalir terlibat mendalangi unjuk rasa menolak kenaikan harga bahan bakar minyak yang sempat rusuh—tuduhan yang tak pernah terbukti.
Menjelang Pemilihan Umum 2009, Rizal mendeklarasikan Komite Bangkit Indonesia (KBI) dengan mengikutsertakan banyak tokoh politik. Ia mencoba maju menjadi calon presiden, tapi gagal karena terjegal ambang batas 20 persen dukungan partai politik.
Gagal di dalam negeri, penggemar musik klasik ini banting setir ke dunia internasional. Ia rajin menulis kolom di berbagai media dunia dan menjadi pembicara di sejumlah forum di luar negeri. Kegiatan ini mengangkat pamornya di mancanegara hingga terpilih menjadi anggota penasihat ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2012, bersama para peraih Nobel Ekonomi seperti Amartya Sen, James Alexander Mirrlees, dan Rajendra K. Pachauri.
Belum lama menjabat Menteri Koordinator Kemaritiman di era Jokowi, Rizal membuat usul agar pemerintah membatalkan pembelian pesawat oleh Garuda. Kegaduhan itu bertambah dengan kritiknya terhadap proyek pengadaan pembangkit listrik 35 ribu megawatt yang dipromosikan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Rizal menganggap proyek itu tidak realistis. Ia juga mendorong pemindahan proyek gas raksasa Masela dari laut (off shore) menjadi on shore. Akibatnya, ia dicopot dan digantikan oleh Luhut Pandjaitan, yang semula Kepala Staf Kepresidenan.
Kesehatan Rizal memburuk setelah dia didiagnosis terkena kanker getah bening. Ia pun merayakan ulang tahunnya yang ke-69 pada 10 Desember 2023 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Teman-temannya mengenang ekonom yang menyebut kritik sebagai “kepretan” itu dengan tiga kata: solider, petarung, dan patriot.
Di hari terakhirnya, menurut cerita Hendro Sangkoyo, juniornya di ITB, Rizal masih mencoba merumuskan pikiran kendati nyaris tak bisa bergerak. Hendro lalu berbisik, “Zal, tugas lu udah selesai. Elu enggak perlu khawatir tentang Indonesia. Rakyat Indonesia punya jalan hidupnya sendiri di luar imajinasi para penguasa dan intelektual. Jadi elu tenang saja, ya.” Ketika pamit, Hendro sadar Rizal telah tiada.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kepretan Terakhir Rizal Ramli". Koreksi 8 Januari 2023 pada Tufts University. Sebelumnya tertulis Tuft University