Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pembangunan Indonesia di Mata Keng Sien

Keserakahan kaum pengusaha dan pengkhianatan kaum intelektual dalam karya terakota instalasi. Karya seni rupa yang sangat bercerita.

16 November 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AYAM MATI DALAM LUMBUNG

Karya : Liem Keng Sien
Tempat : Galeri Lontar, Jakarta
Waktu : sampai 21 November 1998

SILAKAN masuk ke dalam relung hutan beton di Jalan Utankayu. Di sana, Anda akan menemui ruang Galeri Lontar yang sempit, yang menjelma menjadi sebuah arsitektur pemukiman. Inilah hasil tangan Liem Keng Sien yang menyusun karya terakota berbentuk rumah, bangunan bertingkat, figur manusia, dan ikan. Liem Keng Sien tengah berkisah tentang carut-marut wajah Indonesia lewat metafora "Ayam Mati dalam Lumbung" dalam karya instalasi keramik. Inilah ceritanya:

Ketika akselerasi pembangunan mencapai hasilnya--yang ternyata semu--bisnis perbankan tumbuh pesat bak jamur di musim hujan. Maka, gedung-gedung bertingkat itu segera berdiri. Bank-bank yang menyedot dana dari masyarakat dan pihak asing itu segera beroperasi. Namun semuanya berupa utang. Suasana visual itu dibangun seolah-olah kita tengah melewati kawasan perkantoran di Jakarta. Bangunan bertingkat yang menjulang ke angkasa ini tiba-tiba menjerat kita dalam suasana hiruk pikuk kehidupan modern. Di sekeliling miniatur rumah itu terdapat keramik berbentuk karung, simbol keserakahan pengusaha dalam mengeruk utang. Karena dibuat dari terakota tanpa glasir, bangunan itu lebih mencerminkan bangunan bergaya mediterania. Tapi, ada juga yang dibiarkan dalam rona hitam bekas bakaran sehingga terasa lebih menyeramkan. Semuanya menggambarkan keteraturan dan keseragaman.

Selain itu, ada simbol perguruan tinggi berupa benda pipih bersudut lima di sekitar gedung tinggi itu. Ceritanya, banyak sarjana yang terserap ke sektor ini tapi hanya untuk mengabdi pada kerakusan pengusaha. Industri yang dihasilkan pun hanya merupakan hasil rangkaian produk impor. Para sarjana ini bertarung berjungkir balik memperebutkan kue ekonomi yang ada di lapisan bawah. Keng Sien menggambarkannya dengan sekumpulan bentuk figur dalam posisi kaki terjengkang dengan kepala terbenam.

Keserakahan kemudian merambah ke kawasan rawa dan hutan bakau yang disulap menjadi pusat perkantoran dan apartemen bertingkat. Kemudian, limbah industri mengalir ke laut sehingga ikan-ikan di kawasan pantai menggelepar di bibir pantai. Keng Sien menggambarkan sekuen ini dengan puluhan ikan--dalam berbagai ukuran--dari bahan terakota yang memunggungi kawasan pantai.

Tak cukup mengoyak-ngoyak kawasan pantai, pengusaha menjamah kawasan pinggir kota. Di sana ada perumahan mewah yang serba teratur dan seragam. Mesin penggiling aspal berukuran mini--juga dari bahan terakota--menggelinding membuka jalan menuju kawasan pedesaan. Niatnya: ingin menyeragamkan wajah pedesaan yang dianggap terbelakang. Tapi, nun di sana, ada rumah-rumah berukuran kecil berbentuk rumah panggung dari terakota, teronggok tak beraturan mengikuti topografi tanah berupa lereng bukit buatan yang menghijau. Di sudut desa terdapat sebuah balai dengan dinding terbuka sebagai ruang publik. Dan, itu dia, ada tumpeng sesaji persembahan untuk pengawal desa yang tak kasatmata. Struktur alamiah inilah yang diusik, dihancurkan, dan diganti dalam waktu singkat menjadi bangunan kotak-kotak: kaku, teratur, dan seragam.

Hasilnya: pembangunan yang berjalan terlalu cepat sehingga yang diperoleh hanya kulit pembangunan, bukan intinya. Itulah kesimpulan Keng Sien, sebagaimana juga kesimpulan para kritikus model pembangunan Orde Baru yang sudah bangkrut. Untuk itu, Keng Sien memiliki sebuah "ruang alternatif". Pada sudut lain Galeri Lontar, terhampar karya terakota dalam ukuran yang lebih kecil lagi. Ada yang berbentuk celengan mainan anak-anak, pernik-pernik hiasan, sendok dari bahan kayu, atau temali dari serat tumbuhan. Menurut Keng Sien, seharusnya manusia Indonesia memulai dengan membuat hal-hal yang kecil dan sederhana karena kita tak bisa berlari secepat orang Barat. "Peniti saja kita impor dari Cina," ujar alumni Akademi Seni Rupa Leuven, Belgia. Memang terkesan nyinyir. Meski agak cerewet, karya Keng Sien memakai cara bertutur yang kreatif tentang bagaimana seharusnya memperlakukan negeri yang kaya sumber daya alam ini secara bijak.

R. Fadjri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum