KERAJAAN Sriwijaya -- diduga berkuasa dari abad ke-VII s/d abad
ke-XIII -- dianggap memegang kekuasaan maritim pertama untuk
wilayah Asia Tenggara. Tapi di mana pusatnya? Sudah banyak
sarjana menulis buku tentang Sriwijaya. Masih ada saja
kontroversi, pendapat yang simpang siur. Oleh karena itu SEAMEO
(Southeast Asian Ministers of Education Organization) yang
berpusat di Bangkok kini mencoba meluruskan sejarah itu. Antara
lain dua pekan lalu di Hotel Horizon, Jakarta, SEAMEO dengan
proyek SPAFA untuk urusan purbakala menyelenggarakan lokakarya.
"Lokakarya ini tidak memasalahkan persoalan klaim," kata Dr. R.
Soekmono, Ketua dalam seminar tersebut. Lanjut profesor yang
juga mengetuai tim restorasi Candi Borobudur ini: "Yang
diinginkan ialah hasil yang maksimal, yaitu suatu point research
untuk memungkinkan kesatuan pendapat tentang Sriwijaya."
Di tahun 1920, H. Otley Beyer pernah berspekulasi bahwa
Sriwijaya mempunyai kekuasaan politik tertinggi di Asia Tenggara
termasuk Pilipina. Elizabeth Hassell, ahli terkenal lainnya di
tahun 1950 menolak perkiraan Beyer. Tapi "Pilipina tidak pernah
di bawah kekuasaan Sriwijaya," demikian Dr. Juan R. Francisco
dari Manila dalam seminar itu, "karena aspek lain dari kehadiran
Sriwijaya lebih bersifat kultural ketimbang politis."
Sementara itu, beberapa ahli sejarah percaya bahwa letak
kekuasaan Sriwijaya berada di Kedah, Perak atau Perlis di
Malaysia. Karena di tempat-tempat tersebut, peninggalan candi
dan beberapa patung perunggu serupa dengan yang terdapat di
Sumatera atau Muangthai Selatan. George Coedes (penulis dari Le
Royaume de Crivijaya, 1918) bahkan menyebut benda-benda itu
sebagai barang seni Sriwijaya. "Sayangnya," kata Nik Hassan
Shuhaimi Nik Abdul Rahman, guru besar purbakala dari Malaysia,
"belum ada ilmiawan yang mendalami studinya tentang
barang-barang seni yang konon ada persamaannya antara Sumatera
dan jasirah Asia Tenggara. Dan hal ini selalu saja menimbulkan
pendapat yang saling kontroversial."
"Penelitian yang lebih mendalam dan terencana akan bisa
menghapus pendapat yang saling bertentangan itu," ujar Prof.
O.W. Wolters, yang hadir dalam lokakarya ini sebagai konsultan.
Duduk dalam Departemen Sejarah di Univ. Cornell, Wolters telah
menulis dua buku tentang Sriwijaya arly Indonesian Commerce a
study of the origins of Srivijaya (New York, 1967) dan The Fall
of Srivijaya in Malay History (Kuala Lumpur, 1970). "Soal pusat
kekuasaan Sriwijaya, itu tidak penting lagi," ujar Wolters
kepada Toeti Kakiailatu dari TEMPO. "Juga karena kerajaan
tersebut cukup lama eksistensinya, tidaklah salah kalau
ibukotanya juga berpindahpindah."
"Tetapi pusat mula kekuasaan pasti di Sumatera, " kata Soekmono.
Demikian juga beberapa pendapat para ilmiawan Indonesia lainnya
seperti Prof. Dr. S. Sartono dari Departemen Geologi ITB, drs.
Boechari dari Universitas Indonesia, dra. S. Sulaiman dari Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional atau drs. A. Lapian dari
Leknas-LlPI. Semua itu telah meyakinkan (dalam kertas kerja
mereka di pra-seminar Desember lalu), bahwa data-data eksistensi
kekuasaan Sriwijaya di sekitar Palembang-Jambi menemukan
physical evidents yang paling nyata.
"Peta Asia Tenggara di zaman Sriwijaya sangat berbeda dengan
peta yang kita hadapi sekarang," ujar Soekmono lagi. Dia telah
merekonstruksikan peta selat Malaka berdasarkan geomorfologi,
bahwa pantai timur pulau Sumatera bertambah lebar. Muara sungai
Batanghari rata-rata bertambah 75 meter dan muara sungai Musi
bertambah 125 meter setiap tahunnya, sehingga menjadi bentuk
yang seperti sekarang. "Tetapi semua itu masih harus
direkonstruksikan cerita sejarah tentang kebenarannya dugaan
saya," kata Soekmono.
Biaya Ada
Memang sulit menduga-duga keadaan sekitar 1000 tahun yang lalu
dengan iklim tropis yang sering membuat aus apa saja. "Itulah
yang sulit dalam mencari definite evidents dari Sriwijaya ini,"
kilah drs. Buchari, "ditambah lagi dengan kwalitas batu dari
candi-candi tidak sebagus yang ada di Jawa." Boechari, demikian
juga pendapat ilmiawan Indonesia lainnya merasa perlu
penyelidikan secara areal fotografi dilaksanakan secara tuntas.
"Untuk melihat bekas-bekas rural atau urban zaman itu, seperti
ketika kami foto dari udara daerah Trowulan beberapa waktu yang
lalu," tambah Boechari.
Boechari juga tidak menyangkal pendapat Wolters tentang
kemungkinan ibu kota Sriwijaya berpindah-pindah menurut
raja-raja yang memerintah waktu itu. M.C. Subhadradis Diskul
dari Universitas Silpakorn, Bangkok, bahkan meyakinkan hal ini
dalam kertas kerjanya. Tahun 1230, kejatuhan Sriwijaya mulai
tampak, demikian tulisnya. Waktu itu, raja dari Tambralinga di
Chaiya mengambil oper kekuasaan. Raja yang berasal dari
Muangthai Selatan ini memerintah sekitar 20 tahun lamanya.
"Tahun 1275, Sriwijaya ditundukkan oleh raja dari Jawa," tulis
Diskul. Persamaan dengan itu, datang pula pengaruh Islam di
Svarnadipha (Sumatera) dan Javadipha (Jawa), sementara Marcopolo
dalam catatan perjalanannya di tahun 1291 hanya menulis bahwa
pulau Sumatera waktu itu diperintah oleh 9 orang raja yang tidak
besar kekuasaannya.
Di balik semua dugaan tersebut, SPA FA kemudian memutuskan untuk
mengadakan penelitian bersama antar negara setelah saling
membetulkan atau mendebat teori si Polan atau si Anu. Penelitian
akan berjalan 5 tahun lamanya. Dimulai dari pencatatan kembali
bibliografi tentang Sriwijaya sampai ke penyelidikan tentang
nama-nama tempat (Ancient Toponyms) atau penyelidikan lewat
Antropologi Budaya dan Ethno Linguistics, semuanya ada 7 proyek.
Dari pihak Indonesia, sebuah proyek yang berjangka waktu sama
dengan SPA FA juga telah masuk dalam Pelita III.
Penggalian di tiga tempat: Kota Cina, Barus dan Muara Takus,
akan digalakkan lewat para ahli arkeologi, geologi ahli keramik
dan paleobiologi.
Tempat Pabrik
"Biaya ada dan proyek Sriwijaya ini tidak perlu ditawarkan
secara internasional seperti pemugaran candi Borobudur," kata
Dr. R.P. Suyono, Pemimpin Proyek Penelitian dan Penggalian
Purbakala. Selama ini, proyek kepurbakalaan tidak pernah
kekurangan biaya, kecuali kekurangan tenaga. "Sebelumnya,' kata
Boehcari, "kami selalu konsentrasi di Jawa dan Bali."
Kesukaran lain yang rupanya akan kesandung ialah perobahan
ekologi. Ada kemungkinan lokasi pabrik Pupuk Sriwijaya kini
adalah daerah arkeologi. "Tapi apa boleh buat sekarang," kata
Suyono .
"Kemudian saya baca di koran bahwa daerah Kedukan Bukit akan
dibuat proyek non-arkeologis oleh penguasa setempat," kata
Boechari. Hal ini telah dilaporkan kepada Wakil Presiden Adam
Malik yang dengan sukarela melongok ke lokakarya SPAFA. Malik
berjanji akan menyetop penggusuran pemukiman penduduk yang ada
di kaki Bukit Siguntang. Kata Suyono lagi: "Mudah-mudahan,
proyek setempat yang baru tidak akan mengganggu keseimbangan
rencana kerja kami."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini