ISTRIKU SAYANG, ISTRIKU MALANG
Cerita & Skenario: Asrul Sani & Wahab Abdi
Sutradara: Wahab Abdi
Produksi: PT Dara Mega Film
FILM ini dimulai dengan adegan operasi. Di sana terbaring
lunglai Shinta (Marini), ibu dari dua orang anak yang gagal
melahirkan anak ketiga. Di rumahnya yang mewah -- tanpa seorang
pelayan pun -- menanti dengan sabar suami dan anak-anaknya.
Shinta memang berhasil ditolong oleh dokter, tapi operasi itu
telah menghilangkan kemungkinannya untuk hamil dan sekaligus
"hasrat"nya terhadap sex. Dan suaminya yang binal bagai kuda
Sumba (dimainkan oleh Brury Pesolima) mula-mula amat cinta pada
isterinya - terpaksa mencari perempuan lain, Yulia (Lenny
Marlina). Dan konflik cerita itu pun berkembang dari sana.
Menerima Jahitan
Bisa dibayangkan bahwa Shinta serta dua anaknya menanggung
derita ditinggal pergi sang suami. Tapi penderitaan itu
barangkali saja bisa dihindari jika cerita sedikit dibenahi dari
awal. Syahdan, Shinta melakukan kawin lari dengan ayah kedua
orang anaknya itu. Ini tentu lantaran cinta yang hebat. Cerita
kemudian kurang meyakinkan ketika harus merenggutkan sang suami
dari isteri dan anak-anaknya. Paling tidak, di sana terasa ada
lompatan yang amat mengejutkan dari sikap sang suami terhadap
isteri dan anak-anaknya.
Nampaknya renggutan cerita yang demikian bukan tak bermanfaat
bagi rencana sutradara. Wahab Abdi kelihatannya ingin
menonjolkan suatu tokoh Shinta sebagai tokoh yang bukan hanya
pantang menyerah, tapi juga menolak uluran tangan siapa pun. Ia,
misalnya menolak untuk kembali mengharap uluran tangan orang
tuanya yang pernah ia tinggalkan dahulu ketika kawin lari. Tapi
yang tidak dicoba oleh cerita ini adalah kemungkinan lain bagi
Shinta untuk menolong dirinya sendiri, selain menerima jahitan
dan mengambil cucian para buruh stasiun kereta api setelah
rumahnya digusur. Di Jakarta hidup memang tidak selalu gampang,
dan kesusahan selalu datang beriringan tapi perempuan cantik,
terpelajar dan pernah mendapat pendidikan seperti Shanti ini
rasanya terlalu dibiarkan menderita oleh Wahab Abdi dalam
filmnya ini. Sayangnya pula, di akhir cerita, perempuan malang
itu tidak pula dibiarkan hidup oleh yang empunya cerita.
Seperti kisah-kisah tentang penderitaan perempuan sejati dalam
beribu dongeng, Shinta mati di gubuk reotnya setelah sang suami
kembali menemukannya. Dengan senyum sembari meraba tangan sang
suami, perempuan malang itu berkata: "Aku kini rela pergi."
Sudah itu Shinta memang digambarkan mati. Dan penonton pun sulit
untuk tidak mencurigai bahwa penderitaan yang berlebihan yang
ditimpakan oleh Wahab Abdi ke atas diri Shinta sebenarnya tidak
lebih dari sekedar cara menciptakan efek dramatis. Sebab toh
pada akhirnya keangkuhan perempuan itu hanya membawa bencana
bagi diri dan anak-anaknya. Kalau cuma ingin mengemukakan
kepapaan perempuan tanpa lelaki, penderitaan yang bertele-tele
itu sebaiknya dihindari sajalah.
Tapi flim karya Wahab ini masihlah film yang bisa ditonton.
Kerja kamera (Kasdullah) dan editing (Cassim Abbas) boleh
dipujikan. Kalau saja peranan Marini dan Lenny dipertukarkan,
tontonan ini barangkali saja akan lebih mudah dicerna. Bahwa
Brury kurang berkenan sebagai aktor, sudah lama diketahui orang
banyak. Yang segera akan diketahui orang banyak nampaknya adalah
ini: Wahab Abdi makin memperlihatkan kebolehannya sebagai
sutradara. Kepadanya sebaiknya diserahkan cerita dan skenario
yang tidak mengada-ada.
Salim Said
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini