BEBERAPA hal pantas diperhitung kan mengenai tahun 1977.
Grup-grup macam Koes Plus, Panbers, Mercy kehilangan pamor.
Tempatnya digantikan penyanyi solo seperti Bob Tutupoly, Broery,
Grace Simons, Diana Nasution, Hetty Koes Endang, Ade Manuhutu
dan Eddy Silitonga. Mereka didukung grup vokal model Lex's Trio,
sehingga rekaman musik sudah jauh lebih kaya dibanding tahun
sebelumnya.
TIM dapat mempertahankan jazz lewat Jack Lesmana. Di sana juga
digalakkan kehidupan musik serius yang ternyata sudah mendapat
sambutan hangat dari publik. Paduan suara dibangunkan dari
tidurnya, bahkan ada juga perebutan Piala Nyonya Tien Suharto.
Folk song menjamur di mana-mana, terutama mendapat ladang subur
di SMA. Iwan Abdul Rahman keluar kembali dengan barisan Grup
Pencinta lagu. Sedang Guruh mengejutkan dengan rekaman 'Guruh
Gypsi'.
Kritik sosial masuk ke dalam lagu lewat Bimbo, Harry Roesly,
Benyamin dan Rhoma Irama. Dunia penciptaan pop makin galak:
Titiek Puspa tampak sedang dalam puncak kesuburan. Ia menuliskan
banyak sekali lagu yang bagus dan ngetop. Suasana ini
dimatangkan lagi dengan kemenangan Damai Tapi Gersang Aji Bandi
di Tokyo. Tahull lalu kehidupan musik sehat - sayang sekali
diakhiri dengan acara musik tutup tahun yang lesu-darah di TVRI.
Di bawah ini wawancara dengan raja rok pribumi Ahmad Albar dan
raja dangdut Rhoma Irama. Pertanyaan-pertanyaan yang sama
diajukan oleh Widi Yarmanto dari TEMPO kepada keduanya dalam
sebuah pertemuan khusus.
Bagaimana pendapat anda musik mengenai Indonesia 1977?
Albar: Karena jazz yang paling banyak ditampilkan, maka jazz
pulalah yang paling menonjol. Pop dan rock munculnya bisa
dihitung. Paling-paling ada hanya SAS sendiri (SAS grup
menampung bekas awak AKA)--jadi kurang hidup. Kevakuman God
Bless juga merupakan sebab mengapa rock lesu.
Rhoma: Saya kurang mengikuti semuanya. Kesibukan main film,
rekaman dan show menyita seluruh waktu saya. Hanya dari TV
sekali-sekali saya perhatikan pop-lah yang banyak memperoleh
kemajuan. Dalam pop itu ada peningkatan mutu dari sebelumnya,
sehingga kita lihat dalam pop itu ada warna koor dan juga warna
orkestra. Tapi dang dut mempunyai penggemar sendiri. Mereka
tidak akan lari ke rock atau jazz. Menurut saya dang-dut bukan
hanya stabil tapi mengalami peningkatam Sejak zaman Munif yang
belum ada kaset, sampai sekarang, sepengetahuan kami belum
pernah dang-dut menurun.
Apakah anda mesasa ada kebebasan bekerja buat musisi di
Indonesia?
Albar: Sebagian besar mereka masih tertekan oleh produser.
Memang ada juga studio yang memberi kebebasan. Dari Pemerintah
juga sensor tidak seketat dulu lagi. Tidak seperti 2 tahun lalu,
paling-paling hanya liriknya yang masih diawasi dengan ketat.
Tentang musiknya kami merasa sudah bebas.
Rhoma: Kebebasan hampir tidak ada. Lihat saja dengan Wasdri atau
'pemasungan kreativitas' atau lagu saya Hak-Hak Asasi Manusia.
Padahal isi lagu itu baik. Di situ ada segi penghibur,
pendidikan dan juga da'wah. Tahun 1977 kemaren demokrasi belum
ada. Lihatlah ada peraturan dari TVRI, dangdut harus pakai drum,
tak boleh pakai gendang. Dosanya gendang itu apa?
Tertarikkah anda pada kritik sosial lewat lagu?
Albar: Ya. Itu sudah kami terapkan dalam beberapa lagu kami.
Setan Tertawa misalnya, banyak yang menyenanginya. Publik di TIM
selalu minta lagu itu dan mereka sudah hafal liriknya.
Rhoma: Benar, saya tertarik. Dan itu saya lakukan bukan hanya
kemaren saja (dalam pertunjukan akhir tahun). Sedang musik
sebagai da'wah, begini: musik kan dihadiri banyak orang. Ia
besar artinya sebagai alat da'wah. Dalam rekaman kami ada 3
policy. Pertama untuk label kaset dipilih lagu yang temanya
ringan, mudah dan enak didengar. Kedua, unsur da'wah yang
benar-benar mencapai tujuan. Ini harus dilakukan dengan kerja
keras. Yang ketiga adalah lagu yang khusus untuk di panggung. Di
situ kami tak memperhitungkan pendengar. Di situlah ego kami
benar-benar diterapkan.
Apakah anda berusaha melakukan pembaharuan dalam musik anda?
Albar: Tak jauh berbeda dengan yang dulu, kami membuat aransemen
sendiri. Hanya saja kalau dulu lebih njelimet, sekarang sudah
lebih sederhana. Setiap lagu Barat kami rubah aransemennya
dengan tempo yang sama, sehingga cocok dengan publik Indonesia.
Rhoma: Saya punya cita-cita yang sama dengan pop, melebarkan
sayap selebar mungkin. Warna apa yang disenangi, walau dari
Barat sekalipun, dengan catatan tidak menghilangkan ciri musik
dang-dut sendiri. Pokoknya saya tidak menutup mata.
Dapatkah anda hidup dasi musik?
Albar: Kalau hanya sekedar hidup, cukup, tapi saya masih
bujangan Iho! Kalau sudah berkeluarga, dari musik saja payah.
Harus ada pekerjaan sambilan seperti rekaman, main film atau
main di klab malam. Di luar negeri, 3 bulan mereka mencipta dan
rekaman, hasilnya bisa untuk hidup 1 tahun. Di sini mana bisa.
Rhoma: Lebih dari bisa. Kalau dulu orang malu dijuluki penyanyi,
sekarang tak perlu malu.
Bagaimana dengan musik pop anak-anak?
Albar: Maju. Cuma ada beberapa lagu yang mestinya bukan buat
anakanak, baik lirik maupun aransemennya. Komposernya kurang
teliti betul menggarapnya. Misalnya yang dibawakan oleh Diana,
Norma Yunita.
Rhoma: Tidak terlalu murni. Sadar tidak sadar ada unsur
mengkomersiilkan anak. Kita tidak membebaskan lagi bermain
dengan teman sebayanya. Kita telah memforsir, mengharuskan
menghafal dan bekerja. Anak saya Debby, rekaman pertama atas
izin Tuhan, top. Tapi dari sini timbul segi negatifnya. Ia
menjadi perhatian umum, jadi lelah dan tak sebebas dulu lagi.
Dalam satu hari sekarang ia menerima 100 surat dari pengagumnya.
Punya identitaskah musik pop Indonesia atau hanya jiplakan?
Albar: Memang banyak yang jiplakan. Instrumen kita dari sana,
jadi mau nggak mau tone-tonenya juga nyerempet-nyerempet yang
Barat. Mungkin kadangkala nggak begitu terasa, tapi aransemennya
kalau kita rasakan akan ketahuan bukan asli. Cinta-nya Titiek
Puspa misalkan, meski kita nggak boleh menyalahkan. Sebaiknya
kita jujur saja. Nim boleh, tapi jangan jiplak mentah-mentah.
Lihatlah lagu-lagu yang dibawakan Muchsin & Titiek Sandhora yang
dijiplak mentah-mentah, jadinya kita hanya menikmati liriknya
saja. Ya, kalau bagus. Kalau tidak? Kami akui, kami juga suka
pakai musik orang lain. Sebab kalau kita juga harus menggarap
musiknya, dibanding dengan biaya hidup. tidak akan mencukupi.
Rhoma: Saya tidak mengikuti banyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini