Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

1977: belum ada demokrasi

Wawancara tempo dengan ahmad albar, pimpinan god bless tentang musik indonesia 1977. pandangan albar tentang musik pop anak-anak, identitas musik pop indonesia dan kemungkinan hidup dari musik. (ms)

14 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA hal pantas diperhitung kan mengenai tahun 1977. Grup-grup macam Koes Plus, Panbers, Mercy kehilangan pamor. Tempatnya digantikan penyanyi solo seperti Bob Tutupoly, Broery, Grace Simons, Diana Nasution, Hetty Koes Endang, Ade Manuhutu dan Eddy Silitonga. Mereka didukung grup vokal model Lex's Trio, sehingga rekaman musik sudah jauh lebih kaya dibanding tahun sebelumnya. TIM dapat mempertahankan jazz lewat Jack Lesmana. Di sana juga digalakkan kehidupan musik serius yang ternyata sudah mendapat sambutan hangat dari publik. Paduan suara dibangunkan dari tidurnya, bahkan ada juga perebutan Piala Nyonya Tien Suharto. Folk song menjamur di mana-mana, terutama mendapat ladang subur di SMA. Iwan Abdul Rahman keluar kembali dengan barisan Grup Pencinta lagu. Sedang Guruh mengejutkan dengan rekaman 'Guruh Gypsi'. Kritik sosial masuk ke dalam lagu lewat Bimbo, Harry Roesly, Benyamin dan Rhoma Irama. Dunia penciptaan pop makin galak: Titiek Puspa tampak sedang dalam puncak kesuburan. Ia menuliskan banyak sekali lagu yang bagus dan ngetop. Suasana ini dimatangkan lagi dengan kemenangan Damai Tapi Gersang Aji Bandi di Tokyo. Tahull lalu kehidupan musik sehat - sayang sekali diakhiri dengan acara musik tutup tahun yang lesu-darah di TVRI. Di bawah ini wawancara dengan raja rok pribumi Ahmad Albar dan raja dangdut Rhoma Irama. Pertanyaan-pertanyaan yang sama diajukan oleh Widi Yarmanto dari TEMPO kepada keduanya dalam sebuah pertemuan khusus. Bagaimana pendapat anda musik mengenai Indonesia 1977? Albar: Karena jazz yang paling banyak ditampilkan, maka jazz pulalah yang paling menonjol. Pop dan rock munculnya bisa dihitung. Paling-paling ada hanya SAS sendiri (SAS grup menampung bekas awak AKA)--jadi kurang hidup. Kevakuman God Bless juga merupakan sebab mengapa rock lesu. Rhoma: Saya kurang mengikuti semuanya. Kesibukan main film, rekaman dan show menyita seluruh waktu saya. Hanya dari TV sekali-sekali saya perhatikan pop-lah yang banyak memperoleh kemajuan. Dalam pop itu ada peningkatan mutu dari sebelumnya, sehingga kita lihat dalam pop itu ada warna koor dan juga warna orkestra. Tapi dang dut mempunyai penggemar sendiri. Mereka tidak akan lari ke rock atau jazz. Menurut saya dang-dut bukan hanya stabil tapi mengalami peningkatam Sejak zaman Munif yang belum ada kaset, sampai sekarang, sepengetahuan kami belum pernah dang-dut menurun. Apakah anda mesasa ada kebebasan bekerja buat musisi di Indonesia? Albar: Sebagian besar mereka masih tertekan oleh produser. Memang ada juga studio yang memberi kebebasan. Dari Pemerintah juga sensor tidak seketat dulu lagi. Tidak seperti 2 tahun lalu, paling-paling hanya liriknya yang masih diawasi dengan ketat. Tentang musiknya kami merasa sudah bebas. Rhoma: Kebebasan hampir tidak ada. Lihat saja dengan Wasdri atau 'pemasungan kreativitas' atau lagu saya Hak-Hak Asasi Manusia. Padahal isi lagu itu baik. Di situ ada segi penghibur, pendidikan dan juga da'wah. Tahun 1977 kemaren demokrasi belum ada. Lihatlah ada peraturan dari TVRI, dangdut harus pakai drum, tak boleh pakai gendang. Dosanya gendang itu apa? Tertarikkah anda pada kritik sosial lewat lagu? Albar: Ya. Itu sudah kami terapkan dalam beberapa lagu kami. Setan Tertawa misalnya, banyak yang menyenanginya. Publik di TIM selalu minta lagu itu dan mereka sudah hafal liriknya. Rhoma: Benar, saya tertarik. Dan itu saya lakukan bukan hanya kemaren saja (dalam pertunjukan akhir tahun). Sedang musik sebagai da'wah, begini: musik kan dihadiri banyak orang. Ia besar artinya sebagai alat da'wah. Dalam rekaman kami ada 3 policy. Pertama untuk label kaset dipilih lagu yang temanya ringan, mudah dan enak didengar. Kedua, unsur da'wah yang benar-benar mencapai tujuan. Ini harus dilakukan dengan kerja keras. Yang ketiga adalah lagu yang khusus untuk di panggung. Di situ kami tak memperhitungkan pendengar. Di situlah ego kami benar-benar diterapkan. Apakah anda berusaha melakukan pembaharuan dalam musik anda? Albar: Tak jauh berbeda dengan yang dulu, kami membuat aransemen sendiri. Hanya saja kalau dulu lebih njelimet, sekarang sudah lebih sederhana. Setiap lagu Barat kami rubah aransemennya dengan tempo yang sama, sehingga cocok dengan publik Indonesia. Rhoma: Saya punya cita-cita yang sama dengan pop, melebarkan sayap selebar mungkin. Warna apa yang disenangi, walau dari Barat sekalipun, dengan catatan tidak menghilangkan ciri musik dang-dut sendiri. Pokoknya saya tidak menutup mata. Dapatkah anda hidup dasi musik? Albar: Kalau hanya sekedar hidup, cukup, tapi saya masih bujangan Iho! Kalau sudah berkeluarga, dari musik saja payah. Harus ada pekerjaan sambilan seperti rekaman, main film atau main di klab malam. Di luar negeri, 3 bulan mereka mencipta dan rekaman, hasilnya bisa untuk hidup 1 tahun. Di sini mana bisa. Rhoma: Lebih dari bisa. Kalau dulu orang malu dijuluki penyanyi, sekarang tak perlu malu. Bagaimana dengan musik pop anak-anak? Albar: Maju. Cuma ada beberapa lagu yang mestinya bukan buat anakanak, baik lirik maupun aransemennya. Komposernya kurang teliti betul menggarapnya. Misalnya yang dibawakan oleh Diana, Norma Yunita. Rhoma: Tidak terlalu murni. Sadar tidak sadar ada unsur mengkomersiilkan anak. Kita tidak membebaskan lagi bermain dengan teman sebayanya. Kita telah memforsir, mengharuskan menghafal dan bekerja. Anak saya Debby, rekaman pertama atas izin Tuhan, top. Tapi dari sini timbul segi negatifnya. Ia menjadi perhatian umum, jadi lelah dan tak sebebas dulu lagi. Dalam satu hari sekarang ia menerima 100 surat dari pengagumnya. Punya identitaskah musik pop Indonesia atau hanya jiplakan? Albar: Memang banyak yang jiplakan. Instrumen kita dari sana, jadi mau nggak mau tone-tonenya juga nyerempet-nyerempet yang Barat. Mungkin kadangkala nggak begitu terasa, tapi aransemennya kalau kita rasakan akan ketahuan bukan asli. Cinta-nya Titiek Puspa misalkan, meski kita nggak boleh menyalahkan. Sebaiknya kita jujur saja. Nim boleh, tapi jangan jiplak mentah-mentah. Lihatlah lagu-lagu yang dibawakan Muchsin & Titiek Sandhora yang dijiplak mentah-mentah, jadinya kita hanya menikmati liriknya saja. Ya, kalau bagus. Kalau tidak? Kami akui, kami juga suka pakai musik orang lain. Sebab kalau kita juga harus menggarap musiknya, dibanding dengan biaya hidup. tidak akan mencukupi. Rhoma: Saya tidak mengikuti banyak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus