DI lapangan terbang Hasanuddin, Ujungpandang, 31 Desember 1977,
serombongan anak muda minta foto bersama dengan Ratrni.
"Adik-adik," kata Ratmi dengan kenes, "fotonya nanti bisa buat
nakut-nakutin tikus di rumah."
Ternyata itu guyon terakhir dari Ratmi Bomber. Sebab ketika dia
berjalan mendekati pesawat yang akan ditumpanginya, persis di
ujung tangga, Ratmi berkata kepada suaminya dengan suara lemah:
"Pap." "Mama .... " sahut Didi Sugandhi, sang suami. Dan cepat
dia menggapai tubuh Ratmi yang menggayut. Beberapa kata tidak
jelas keluar dari mulut Ratmi, kemudian mengeluh, tubuhnya
bergetar sebentar dan tidak sadarkan diri.
Setelah bingung mencari kendaraan, sulit menemukan dokter,
dinyatakan orang bahwa Ratmi telah tiada. Didi langsung pingsan.
"Bagaimana saya tidak terkejut," kata Didi, beberapa hari
setelah isterinya meninggal. "Saya ini sudah menyerahkan diti
saya buat Ratmi semua. Saya ingin membahagiakan dia. Semua
nasehatnya, saya turuti."
Tahun 1973, Ratmi berjumpa Didi Sugandhi, 10 tahun lebih muda,
beralis dan berkumis tebal. Waktu itu Ratmi sedang dalam
pengambilan film Ketemu Jodoh di Bandung. Seorang sopir
mengantar Ratmi - yang mendadak sakit ke ayah si sopir. Dasar
jodoh, Ratmi yang katanya kemasukan roh jahat di Cibulan (ketika
opname film Ayah, tiga hari sebelumnya)bisa sembuh. Sopir
tersebut tidak lain Didi Sugandhi, suami dan ayah dari 4 orang
anak. Pendek cerita, Didi bercerai dari isteria yang pertama
untuk kemudian menikah dengan Ratmi. Tiga anak Didi dari isteri
pertama diambil oleh Ratmi dan diasuh seperti anaknya sendiri.
"Saya melawak justru setelah badan saya berubah," Ratmi pernah
berkata. ubuhnya yang subur, hidungnya "yang mancung ke dalam,"
begitu olok-olok Slamet Harto di panggung, menjadi rejeki
baginya. Dia mendapat nama Ratmi Bomber-29 dari Laksda TNI
Wiriadinata, Wakil Gubernur DKI. Waktu itu, tahun 60-an, Ratmi
sering menghibur keluarga TNI-AU di Bandung.
"Kami ini melawak tanpa sutradara," kata Bendot, 50 tahun,
pensiuan AD yang jadi pasangan Ratmi. Slamet Harto, 52 tahun,
pensiunan polisi, juga mengatakan yang sama. "semua lawakan
berjalan dengan spontan. Dan Ratmi-lah yang selalu kami dukung
karena dia yang selalu mengambil inisiatip," kata Harto. Sambung
Bendot: "Dia itu, menari bisa. Nembang (Jagu Jawa) bisa.
Kroncong bisa, apa-apa bisa. Pokoknya nggak bakal kelaparan
deh!". Satu lagi keahliannya, dia bisa menyanyikan lagu sedih
sambil mengeluarkan air mata sungguhan.
Nama aslinya Suratmi. Ayahnya, Salimin, berasal dari Yogya.
Ibunya, Sainem, asal Banyumas. Ratmi sendiri lahir di Bandung
dan pernah duduk di HIS Cilacap sampai kelas 3. Masa revolusi
fisik Ratmi turut ambil bagian jadi anggota Barisan
Srikandi/Laswi dan anggota staf Batalyon Brigade D/X-16 di Jawa
Tengah. Pangkatnya waktu itu sersan dua. Setelah penyerahan
kedaulatan Ratmi mengundurkan diri.
Karena memiliki tanda jasa Bintang Gerilya, SLPK I dan II, GOM I
dan V, Ratmi (46 tahun) dikuburkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata. "Dia tidak pernah berobah, baik ketika miskin maupun
sesudah jadi kaya," demikian rekanrekan artis memberi komentar.
Pernah menikah tiga kali. Suami pertama Idris, meninggal dunia,
yang kedua Surnarno, bercerai. Jenazahnya diantar oleh banyak
orang. Hamid Arief (menangis terus), WD Mochtar, Benyamin S.,
Sofia WD, bekas Kapolri Hoegeng, Nyonya Arudji Kartawinata,
Kusno Sudjarwadi, dan banyak lagi.
"Masih muda kok sudah diambil Tuhan. Mudah-mudahan saya tidak
dulu," kata Poniman, pelawak tiga zaman yang ketika Ratmi
dikuburkan aktif mengambil foto. Beberapa jam kemudian Poniman
pingsan. Di hari yang sama ketika Ratmi dikubur, Poniman
ternyata menyusul Ratmi. Jadi di awal 1978 Indonesia kehilangan
dua pelawak yang sulit dicari tandingannya. Ratmi sendiri belum
menyelesaikan film-film yang sedang dimainkannya: Sembilan Orang
Janda, Hujan Duit dan Direktris Muda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini