Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pasek Ariati dan Dewi Durga yang Murah Hati

Doktor sejarah Ni Wayan Pasek Ariati menjadi pembaca pidato kebudayaan dalam pembukaan Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2022. Meneliti perubahan gambaran Dewi Durga di Bali, dari sosok pahlawan menjadi pelindung ilmu hitam.

2 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ni Wayan Pasek Ariati. Youtube Borobudur Writers & Cultural Festival

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jauh sebelum lahir kisah Harry Potter, Ni Wayan Pasek Ariati sudah memiliki gambaran sosok yang menakutkan dari cerita kakeknya, pemangku pura dalem di desanya di Bali. Dia adalah Dewi Durga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sama seperti Lord Voldemort, tokoh antagonis dalam cerita Harry Potter, yang namanya-tidak-boleh-diucapkan, Dewi Durga dikisahkan teramat menyeramkan. "Tidak boleh sebut-sebut namanya sembarangan," kata Ariati pada Kamis, 24 November lalu. Malam itu, dia menjadi pembawa pidato kebudayaan pembukaan Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alih-alih takut, rentetan kisah seram membuat Ariati kian tertarik kepada Betari Durga. Dia mencari tahu semua hal terkait dengan sang dewi sampai ke India. Puncaknya adalah saat dia mendapat beasiswa doktoral dari tempatnya bekerja di Charles Darwin University—dulu bernama Northern Territory University—di Darwin, Australia, pada 2010, dengan tema penelitian perbandingan penggambaran Dewi Durga di India dan Bali. "Di India, Durga digambarkan sebagai dewi yang sangat cantik dan simbol dewi perang untuk mengalahkan kejahatan," ujarnya.

Dewi Durga Mahisasuramardini di Pura Bukit Dharma Kutri, Gianyar, Bali. YouTube Borobudur Writers & Cultural Festival

Sebelum memulai penelitian tesisnya, Ariati minta bimbingan sang kakek. Kakek dan neneknya mengajak Ariati bersembahyang di beberapa tempat, sampai-sampai Ariati memimpikan Betari Durga dalam tidurnya. Dalam mimpinya, sang dewi memberikan kain yang terlipat rapi dan dia artikan sebagai restu untuk penelitiannya.

Di India, Ni Wayan Pasek Ariati menjadikan Purana Markandeya, satu dari 18 purana atau kitab mitologi Hindu, sebagai satu rujukan utama. Purana ini berperan sentral karena terdapat kisah Dewi Mahatmya. Selain itu, purana tersebut merupakan risalah tertua yang menyebut dewi sebagai kebenaran tertinggi dan dewa pencipta.

Purana Markandeya menyebutkan bahwa kelahiran Dewi Durga diawali kemurkaan Dewa Siwa atas pemberontakan raksasa Mahisa yang berkepala kerbau di kayangan. Dewi Durga lahir dengan kulit yang indah, wajah cantik, dan tangan yang banyak. Setiap tangannya menggenggam senjata para dewa. Dewi Durga lalu menyerang raksasa tersebut.

Pandal Dewi Durga Mahisasuramardini (tengah) di Kalkuta, India. YouTube Borobudur Writers & Cultural Festival

Penelitian Ariati berlanjut ke museum, gua, dan tempat-tempat Durga banyak disebut oleh penduduk India. Setelah itu, dia mewawancarai orang-orang biasa yang memuja Siwa serta tak lupa sadu atau petapa di pegunungan dan penganut tantra, tradisi Hindu yang berpadu ajaran Buddha.

Dia juga mengikuti Durga Puja, festival tahunan untuk menghormati Dewi Durga di Kalkuta. Ariati mendapati Dewi Durga begitu dipuja di India. "Masyarakat di sana menganggapnya sebagai dewi paling murah hati," ujar Ariati.

Risetnya berlanjut di dalam negeri. Satu bukti tertua pemujaan terhadap Dewi Durga adalah prasasti di Kutai, Kalimantan Timur, pada pertengahan abad V. Berbagai prasasti menunjukkan perubahan sosok Durga. Dari Mahisasuramardini, sang penakluk berparas elok, menjadi berbentuk seram seperti setan.

Dalam kisah Calon Arang, yang berkembang mulai abad XII, Durga diposisikan sebagai dewi ilmu hitam, pemakan mayat, dan bermukim di kuburan. Rangda, janda penganut ilmu hitam, meminta Durga menyebar penyakit di negeri Raja Airlangga. Kisah ini telah diabadikan dalam seni pertunjukan Bali.

Arca Dewi Durga Mahisasuramardini di Candi Prambanan, Yogyakarta. YouTube Borobudur Writers & Cultural Festival

Mitos Durga dan Gerwani

Dalam buku The Myth of Durga and the History of the Indonesian Women’s Movement (Gerwani), Ariati mengaitkan gambaran negatif Durga, terutama di Bali, dan stigmatisasi Gerwani pada era Orde Baru.

Transformasi penggambaran Dewi Durga, Ariati melanjutkan, tak lepas dari budaya patriarki yang menolak kepahlawanan perempuan di medan laga, seperti kemenangan Durga atas Mahisasura. Dalam kisah Calon Arang, perempuan yang berada di luar "lingkaran pelindung" karena berstatus janda merupakan tokoh antagonis. Apalagi dia dianggap gagal melahirkan keturunan laki-laki.

Pasca-peristiwa G30S, Ariati melanjutkan, Gerwani mengalami demonisasi serupa. Peran gerakan perempuan untuk mereformasi sistem feodalisme yang mengakar dalam masyarakat Indonesia lenyap tak berbekas. Berganti propaganda Orde Baru soal Gerwani yang haus darah korban para jenderal pahlawan revolusi. Seperti mitos Dewi Durga yang gemar menerima persembahan daging dan darah manusia.

FEBBYENTI SUCI (MAGANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Reza Maulana

Reza Maulana

Bergabung dengan Tempo sejak 2005 setelah lulus dari Hubungan Internasional FISIP UI. Saat ini memimpin desk Urban di Koran Tempo. Salah satu tulisan editorialnya di Koran Tempo meraih PWI Jaya Award 2019. Menikmati PlayStation di waktu senggang.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus