WARNA merah hati mendominasi gedung berdinding putih bersih itu. Karpet merah hati melapis lantai yang landai ke arah panggung. Beledu merah hati membungkus 450 kursi di ruang teater yang memandang ke depan. Masih ada lagi 60 kursi, juga bersalut beledu merah hati, di balkon. Pada sisi teras balkon tersembul ornamen gaya Barok kuning keemasan. Sebuah lampu hias antik tergantung di langit-langit yang melengkung bulat telur. Gedung Kesenian di Jalan Pos di kawasan Pasar Baru, Jakarta, benar-benar berdandan anggun setelah dipugar dengan biaya Rp 3 milyar. Rabu malam pekan lalu, di sana, repertoar Arifin C. Noer, Sumur tanpa Dasar, memasuki malam kelima untuk pementasan selama seminggu penuh. Setiap malam, semua kursi empuk itu tak ada yang kosong. Agaknya, karcis yang Rp 10.000 tak terasa mahal bagi penonton yang kebanyakan membawa mobil, mengenakan baju batik, bahkan ada yang berjas lengkap. Mereka juga tak segan-segan minum kopi, Rp 500 secangkir, di lobi yang berlantai marmar berkilat itu. Tampaknya, memang bukan lantaran nama Arifin yang menjadi jaminan ludesnya karcis. Sebab, tak sedikit para penonton yang semata ingin mengenang kembali Gedung Kesenian Jakarta yang lama telantar itu. Barangkali itu pula sebabnya mereka tetap hadir -- meski hujan pertama menjelang akhir musim kemarau itu mengguyur lebat, lengkap dengan guntur yang sekali-sekali menggelegar. Tapi ulah alam itu ternyata juga tak membuat pertunjukan bergeming. Getar suara para pemain sangat jelas terdengar, sementara geludug hujan sama sekali tak kuasa menjejali kuping penonton. "Ternyata, akustiknya bagus sekali. Petir dan suara hujan sama sekali tak terdengar dari dalam ruang teater," ujar Michael Botten, 31 tahun, pengamat teater dari Wisconsin, AS, yang sedang mempelajari sastra Indonesia di UGM Yogyakarta itu, yang malam itu nonton. Akustik gedung itu begitu prima, hingga Arifin mesti ekstra hati-hati. Di belakang panggung, segenap pemain harus menutup mulut rapat-rapat dan bersijingkat tanpa suara. Sebab, bisik sehalus apa pun bakal menggelendang ke dalam telinga penonton. Aktor Ikranagara, yang memerankan tokoh utama Jumena Martawangsa, juga mengakui keandalan akustik gedung ini. "Tapi masih lebih bagus akustik gedung teater di Kuala Lumpur atau Taipei. Saya pernah main di sana, kok," katanya. Memang, akustik Gedung Kesenian Jakarta, yang selama ini menjadi kebanggaan banyak orang, ada saja cacatnya di mau seorang aktor. "Kalau lagi main di bagian samping kiri, kanan, atau belakang pentas, ternyata dialog saya bergema seperti stereo," kaunya agak kecewa. Terutama, kau Ikra, pada kata-kata yang berakhir dengan huruf sengau. "Itu sebabnya saya tak berani memanjangkan huruf-huruf sengau bila sedang berada di bagian samping atau belakang," tuturnya. Sutradara Teguh Karya menilai, Gedung Kesenian Jakarta merupakan satu-satunya bangunan dengan akustik yang dirancang khusus menurut kaidah teater. Tapi, seperti halnya Ikra, pimpinan Teater Populer yang sudah 30 kali main di gedung antik itu juga melihat kekurangan-kekurangannya. Misalnya penutup kaki lampu (foot light border) di panggung sangat mengganggu pandangan penonton yang duduk tiga baris di depan. Kaki terhalang oleh penutup kaki lampu itu. "Yang beruntung, penonton yang duduk di balkon," katanya. Lalu, tangkai panjang bawah lampu kristal yang tergantung depan panggung. Pada tungkai itu tergantung lampu kuningan gaya Portugis. Menurut Teguh, benda itu sangat mengganggu, baik segi artistik maupun fungsinya. "Saya tak tahu harus diletakkan di mana, tapi pasti ada cara lain yang bisa ditempuh agar benar-benar menjadi bagian bangunan yang utuh," katanya. Gedung Kesenian Jakarta, yang agaknya memang dimaksudkan sebagai ajang buat memantaskan karya-karya yang benar-benar berbobot, ternyata belum mendapat subsidi dari Pemda DKI. Paling tidak sampai April tahun depan. "Karena mulainya pada pertengahan tahun, sampai April tahun depan kami harus mencari dana sendiri," kata Farida Feisol, 48 tahun, yang diserahi oleh Pemda DKI untuk mengelola gedung ini. Misalnya dengan menyewakan gedung, atau bekerja sama untuk mengusahakan katering untuk penonton, mencetak karcis, membuat poster pertunjukan. Itu pula sebabnya kesenian yang dipetauskan di sana harus yang benar-benar punya publik. Berbeda dengan Taman Ismail Marzuki, yang juga membina kesenian, Gedung Kesenian Jakarta semata-mata menampilkan karya-karya kesenian berbobot, tapi yang bisa menghasilkan untung. Saat ini pihaknya memang belum menyusun kriteria kesenian mana dan macam apa yang layak ditampilkan. "Kami sudah punya rencana ke arah sana. Pertimbangan yang terpenting ialah nama senimannya, yang sudah mapan dan cukup dikenal publik. Jadi, mampu mengundang penonton untuk membeli karcis," katanya lagi. Untuk minggu pertama November mendatang, misalnya, Farida akan menampilkan beberapa karya tari, antara lain karyanya sendiri. Farida, yang juga pelatih balet Sumber Cipta ini, ternyata belum punya standar khusus mengenai keuntungan yang mungkin bisa diraihnya. "Target saya hanya asal bisa menutup biaya pemeliharaan dulu," ujarnya. Berapa? Farida juga belum bisa memperhitungkannya. Bahkan bagi-hasil dengan pihak Teater Ketjil pun masih merupakan "rahasia perusahaan". Yang jelas, untuk pementasan Sumur tanpa Dasar kali ini, pihaknya hanya menyediakan fasilitas gedung dan karcis. Tapi menurut Arifin C. Noer, yang menyediakan biaya produksi sendiri, rencana bagi hasil itu ialah 70% untuk Teater Ketjil, 30% untuk Gedung Kesenian Jakarta. Bagaimanapun rencana Farida dan apa anggapan orang mengenai Gedung Kesenian Jakarta, yang diandalkan akustiknya, tampaknya publik sendiri belum siap menonton pertunjukan yang disebut-sebut "berbobot" itu. Tak kurang dari artis Zoraya Perucha mengeluh mengenai soal tersebut (lihat juga: Komentar). Ketika menyaksikan Sumur tanpa Dasar minggu lalu, ia kecewa menyaksikan seperempat penonton terlambat datang padahal pertunjukan sudah 30 menit. Keterlambatan mereka -- yang kemudian mencari tempat duduk -- tentu mengganggu penonton yang lain. Ditambah beberapa gangguan: bunyi alarm arloji atau starco. Ada pula yang berteriak-teriak. Kalau sebagian penonton itu tak bisa menghormati penonton yang lain, tulis Ucha, "Maulah sedikit menghormati, terutama pemain-pemain yang sedang mentas." Memang. Tetapi ini masih gaya Pasar Baru, bukan Broadway. Padahal, sejak dini, si pengelola seharusnya membikin aturan "layak jas dan dasi": pintu tak dibuka lagi untuk yang terlambat, biarpun sudah beli karcis sebelumnya. Budiman S. Hartoyo, Muchsin Lubis, Priyono B. Sumbogo, dan Tri B. Soekarno (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini