Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Buku

Berita Tempo Plus

Perjalanan (Penganten) Ajip Rosidi

Perjalanan Penganten karya Ajip Rosidi diterbitkan kembali untuk pembaca angkatan baru. Inilah catatan penting dalam sejarah kepengarangan Ajip.

22 Maret 1999 | 00.00 WIB

Perjalanan (Penganten) Ajip Rosidi
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

PERJALANAN PENGANTEN
Penulis: Ajip Rosidiv
Penerbit:Pustaka Jaya
Tebal: 171 halaman
Terbit: Tahun 1958 dan 1998
Lelaki itu masih sangat muda. Usianya baru mencapai 18. Namun di umur yang sangat dini ia telah memulai semuanya: berkeluarga, memiliki anak, bekerja sebagai redaktur pada sebuah perusahaan penerbitan, menjadi jengah terhadap Jakarta dan memutuskan pulang kampung. Di kampung, Desa Jatiwangi di daerah Majalengka, Jawa Barat, ia harus berinteraksi dengan masyarakat ''lokal" yang tradisional, tapi toh ia seperti kehilangan argumentasi untuk mendebat segala ''keanehan" tradisi yang dihadapinya. Ia—tokoh ''aku" dalam roman Perjalanan Penganten karya Ajip Rosidi—adalah seseorang yang asing dan mengalami krisis mental menghadapi lingkungan yang sedang berubah, lingkungan mosaik masyarakat Indonesia pada penghujung 1950-an. Perjalanan Penganten adalah roman yang diterbitkan kembali yang menandai ulang tahun ke-60 Ajip Rosidi. Seperti tokoh utama, Ajip memang menandai kemudaannya sebagai seorang pengarang. Ia menulis roman ini pada 1956, ketika usianya baru 18 tahun, tapi kegelisahan yang dirasakannya sebagai pengarang melampaui anak-anak muda seusianya. Kritikus sastra A Teeuw menyebut Ajip sebagai pengarang yang terlalu cepat matang. Namun, kematangan itulah yang menjadikan Perjalanan Penganten menjadi roman yang asyik dibaca. Meski ia tidak menyediakan cukup suspense seperti yang biasa terdapat dalam beberapa roman Indonesia kontemporer untuk memelihara perhatian pembaca, Ajip justru menyediakan sebuah daya tarik yang lain: roman sebagai karya etnografis. Kehidupan desa kecil Jatiwangi tempat setiap orang bisa saling kenal, lengkap dengan kasak-kusuk dan adat istiadat yang mengikat, ditampilkan dalam sebuah rangkaian detail yang memikat. Upacara babarit (prosesi yang menandai tujuh bulan usia kehamilan seorang calon ibu), kepercayaan orang kampung terhadap takhayul, cerita saling silang hubungan keluarga yang disebabkan oleh hubungan poligami (dan poliandri) dideskripsikan Ajip dalam runtutan yang mengalir. Namun, di sinilah ciri ''kemudaan yang terlalu cepat matang" Ajip— seperti yang digambarkan A Teeuw—menjadi jelas: melalui tokoh utama roman ini, ia menjadi gagap dalam menghadapi berbagai hal yang menandai tradisionalitas masyarakatnya. Ada keinginan untuk memberontak terhadap berbagai adat istiadat yang tidak masuk akal, tapi toh akhirnya ia kalah dalam menghadapinya. Dalam cerita tentang pesta perkawinannya, Ajip seperti ingin mengejek. ''Ia pun mengenakan pakaian yang menimbulkan geliku. Hampir-hampir tawaku meledak melihat bakal istriku berbedak begitu tebal dan berbaju hitam dengan kain yang tampak sangat kaku itu," tulis Ajip. Tapi perkawinan ini pun dilakoninya sampai tamat. Ketika ia menjelaskan dengan nada sinis tentang neneknya yang berobat ke dukun, Ajip justru menutup bagian ini dengan cerita tentang sembuhnya sang nenek. Apa yang dilakukan Ajip ini memang menandai sebuah pergulatan dan kegelisahan anak muda yang sedang berupaya menemukan jati dirinya yang sesungguhnya. Pilihan untuk memenangkan modernitas yang ditanamnya dalam tokoh ''aku" diperlakukan secara ambivalen. Ia memiliki keraguan: ia ingin dimenangkan, tapi ia juga percaya apa yang ditentangnya juga punya hak untuk hidup. Tentu saja, sikap ini bukan yang dengan sengaja dipilih untuk menggambarkan betapa realitas masyarakat sesungguhnya merupakan sesuatu yang ambigu, tapi sikap ini lebih menunjukkan sikap ''aku" sebagai sosok yang belum bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Adakah Ajip menggambarkan dirinya sendiri dalam Perjalan Penganten? A Teeuw dalam kata pengantarnya menyebut bahwa ada sifat biografis dalam novel ini. Dan, meski tidak selalu ada korelasi antara biografi pengarang dan karyanya, Perjalanan Penganten bagi pembaca masa kini mestinya bisa dimanfaatkan untuk menandai perjalan kepengarangan seorang Ajip. Sebuah sejarah, juga catatan penting tentang bagaimana sastra, juga sebuah etnografi, pernah ditulis dengan apik oleh seorang remaja berusia 18 tahun. Arif Zulkifli

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus