Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Persahabatan Tak Biasa di Sungai Tigris

Pergaulan Gus Dur semasa kuliah di Bagdad telah mengubah pandangan keagamaannya. Ia bersahabat dengan Yahudi dan Syiah Irak.

4 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tepi Sungai Tigris itu Abdurrahman Wahid menyulang kopi tamunya. Sang tamu baru ia kenal pada akhir 1966 di kantor Ar-Rahmadani, perusahaan kecil di Bagdad, Irak, yang mengimpor tekstil dari Eropa dan Amerika. Namanya pendek: Ramin.

Wahid bekerja sebagai penerjemah surat-menyurat di kantor itu. Ia bekerja dari pukul 11.00 hingga 14.00, waktu longgar untuk mencari uang buat membeli buku dan nonton film, jika tak sedang kuliah di Fakultas Sastra Universitas Bagdad. Gus Dur saat itu 26 tahun. Ramin, teman sebayanya itu, baru diterima bekerja di Ar-Rahmadani.

Tak ada cara yang indah selain merayakan pertemuan itu di tepi Sungai Tigris. Pada malam hari di akhir pekan, tepian Sungai Tigris sering dipakai untuk pelbagai diskusi. ”Gus Dur kerap terlibat dalam diskusi intelektual itu, sebagaimana yang dilakukannya di kedai-kedai kopi di Kairo,” tulis Greg Barton, penulis The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (2002).

Perkenalan itu, dan kemudian persahabatan mereka, banyak mengubah pandangan Gus Dur tentang bangsa Yahudi. Mahfudz Ridwan, sahabat Gus Dur di Irak yang kini mengasuh Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Kabupaten Semarang, menyebut persahabatan itu, juga masa empat tahun kuliah di Bagdad (1966-1970), telah mempengaruhi pikiran dan sikap Gus Dur dalam memilih Islam inklusif.

”Ramin sosok yang supel, berwawasan luas, liberal, dan terbuka,” ujar Mahfudz. ”Dia juga seorang jurnalis.”

Hampir setiap pekan Ramin dan Gus Dur bertemu membicarakan agama, filsafat, dan politik. Salah satu tempat yang paling sering mereka kunjungi, selain Sungai Tigris, adalah pasar di samping The Hanging Garden. Di sini ada sebuah tempat sepi. Mereka bisa bertukar pikiran dengan tenang.

Dari Ramin itulah Gus Dur pertama kali mengenal Yudaisme dan pengalaman orang-orang Yahudi. Ramin berbicara ihwal pengalaman diaspora Yahudi, khususnya cobaan berat yang dialami orang-orang Yahudi di Rusia. Ramin, yang berasal dari komunitas kecil Yahudi Irak, juga bercerita tentang sejarah keluarganya yang terdampar di Irak. Ia juga mengajak Wahid mempelajari cabbala, tradisi mistik Yahudi.

”Dari Ramin itu ia mulai belajar menghormati Yudaisme dan memahami keprihatinan politik dan sosial orang-orang Yahudi yang hidup dalam diaspora sebagai kaum minoritas yang sering disiksa,” tulis Barton.

Menurut Gus Dur, stigma hitam sebagai ”bangsa yang dikutuk pada beberapa kitab suci” telah membuat bangsa ini mengkonsolidasi kekuatannya untuk mempengaruhi dunia. ”Kita perlu belajar dari semangat orang-orang Yahudi,” kata Gus Dur kepada Mahfudz.

Dengan latar ”persahabatan tak biasa” itu—begitu Barton menyebut—Mahfudz tak aneh ketika Gus Dur memimpin Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, ia membuka komunikasi dengan pemerintah Israel. Ia juga menjadi anggota Dewan Pendiri Shimon Peres Peace Center.

Kontroversi pun muncul. Menurut Ketua Pengurus Besar NU Masdar F. Mas’udi, dalam pikiran Gus Dur, membuka hubungan dengan Israel bukan berarti melegitimasi tindakan Israel terhadap Palestina. ”Itu justru membuka peluang Indonesia untuk memainkan peran lebih besar dalam perdamaian di Timur Tengah,” ujarnya.

Tak cuma dengan kalangan Yahudi, kata Mahfudz, Wahid juga bergaul dengan sejumlah ulama Syiah. Menurut Gus Dur, kelompok Sunni, khususnya NU, tak perlu bertentangan secara ekstrem dengan Syiah. ”Bahkan, menurut dia, dalam menjalankan tradisi beragama, NU jauh lebih Syi’i daripada Syiah itu sendiri,” kata Mahfudz. Ia mencontohkan, dalam tradisi memperingati As-Syura, orang Syiah hanya memperingatinya pada 10 As-Syura. Namun warga nahdliyin memperingatinya pada 1-10 As-Syura.

Di Bagdad itulah wawasan Gus Dur terbentang. Ia juga kian getol membaca buku. Salah satu yang rajin dia baca adalah Abu Layla Wa Layla karya Ibnu Muqoffa. ”Dari buku ini Gus Dur belajar humor dan politik,” kata Mahfudz.

Humor dan kejailan Gus Dur senantiasa muncul di rumah kontrakan yang ia tempati bersama 19 mahasiswa Indonesia. Mahfudz bercerita, setiap 20 hari sekali, Gus Dur mendapat giliran memasak. Menu favoritnya: gulai kepala ikan. Kepala ikan ia beli secara murah dari seorang pedagang ikan. Masyarakat Bagdad ternyata tak suka mengkonsumsi kepala ikan.

Suatu ketika teman Gus Dur mampir ke pedagang ikan itu. Sang pedagang bilang, ”Temanmu aneh. Ia memelihara anjing sampai 20 ekor.” Sesampai di kontrakan sang teman marah-marah. Rupanya Gus Dur mengaku kepada sang pedagang: kepala ikan itu menu favorit 20 anjing di rumah kontrakannya.

Yos Rizal, Yophiandi, Sohirin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus