Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eep Saefulloh Fatah
*) CEO PolMark Indonesia
BISAKAH Anda bayangkan demokrasi Indonesia tanpa Kiai Abdurrahman Wahid? Terus terang saja, saya tidak bisa. Gus Dur mengisi sebuah tempat tanpa ada orang lain yang bisa menggantikannya.
Kiai Wahid alias Gus Dur adalah titik konvergensi. Baik mereka yang mengaku sebagai ”kalangan Islam” maupun ”kalangan nasionalis”—penamaan yang sama sekali tak memuaskan dan cenderung salah kaprah—merasa tak terlampau jauh dengannya. Ia menjadi tempat nyaman bagi kedua kalangan itu untuk merapat.
Gus Dur pun menjadi semacam jalan tengah. Itulah yang terjadi dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Oktober 1999. Gus Dur menjadi pemecah kebekuan politik di antara kalangan Islam dan nasionalis yang bertikai sangat keras kala itu. Menonton pelantikannya bersama sejumlah aktivis pada 20 Oktober 1999, saya terharu lantaran diingatkan betapa sebuah bangsa sebesar Indonesia mesti berutang begitu besar kepada seorang lelaki paruh baya yang sudah kehilangan penglihatannya.
Sejatinya, ada banyak tokoh yang berikhtiar menjadi titik konvergensi. Namun tak ada yang berkemampuan seperti Gus Dur: tetap tegak berdiri di posisinya, tak larut oleh tarikan dari kiri atau kanannya. Gus Dur tak gampang mencair dan mengalir-memihak ke tempat lebih rendah. Ia kokoh. Bergeming menjadi dirinya. Berikut ini salah satu ilustrasi terbaiknya.
Beberapa hari sebelum pengajuan resmi nama Gus Dur sebagai calon presiden dari ”Poros Tengah”, saya berdiskusi dengan Amien Rais di tempatnya menginap di Hotel Mulia. Amien mengaku galau menghadapi situasi ”maju kena mundur kena” yang dihadapinya. Amien merasa Gus Dur tak bisa dipegang, sulit diprediksi, dan gampang menjadi meriam liar bagi siapa saja, termasuk bagi para penyokongnya.
Amien mengilustrasikan, beberapa hari sebelumnya, ia bersama Gus Dur bertemu dengan tokoh-tokoh terpenting Aceh untuk menggalang dukungan para tokoh Aceh terhadap pencalonan Gus Dur. Namun, tanpa diduganya, dalam forum itu Gus Dur justru menyatakan, ”Sesungguhnya yang paling berhak menjadi presiden dan layak didukung adalah Megawati Soekarnoputri.”
Amien galau lantaran tak mungkin menarik dukungan untuk Gus Dur karena terlalu berisiko. Tindakan ini, menurut Amien, bisa memicu konflik yang luas yang pada ujungnya mengerucut menjadi konflik massa Muhammadiyah versus kaum nahdliyin. Kegalauan ini sesungguhnya menggarisbawahi situasi pelik kalangan Islam kala itu. Mereka tak menemukan seorang pun tokoh jalan tengah di antara mereka sendiri. Namun, celakanya, Gus Dur sebagai satu-satunya tokoh alternatif sama sekali tak bisa mereka kendalikan.
Begitulah posisi Gus Dur dalam Poros Tengah. Ia menjadi bagian tapi tak terkerangkeng di dalamnya. Ia tetap mandiri, kokoh dalam posisinya.
Kegagalan Megawati merebut kursi presiden sempat menyulut amarah massa pendukung Mega, dan sukses Mega meraih kursi wakil presiden sesungguhnya tak menghabiskan sama sekali amarah itu. Gus Dur, alih-alih tunduk kepada kekuatan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang jauh lebih besar daripada partainya sendiri, mengendalikan secara penuh pemerintahan dan praktis membikin Mega tak berkutik.
Sehari sebelum Gus Dur terpilih sebagai presiden, saya punya kemewahan mewawancarainya. Kami teronggok di kursi ruang tamu suite room Hotel Mulia tempatnya menginap selama Sidang Umum MPR, di hadapan kamera yang akan membuat wawancara itu tertayang dalam program Menuju Indonesia Baru yang saya asuh. Gus Dur dengan tegas menyatakan, ”Saya akan menjadi Presiden Indonesia sebentar lagi dan pemerintahan akan saya kendalikan tanpa ada seorang pun atau satu kekuatan pun yang bisa mendikte saya.”
Pada titik ini, bertemulah kita dengan tempat Gus Dur yang lain. Ia adalah pengambil inisiatif transisional dengan keberanian yang tak tertandingi.
”Inisiatif transisional” adalah istilah generik yang digunakan dalam literatur studi demokratisasi untuk menggambarkan kemampuan seorang pemimpin berinisiatif mengambil langkah tak lazim dan dramatis untuk menguakkan lebih lebar pintu perubahan. Termasuk keberanian bertindak mengatasi aturan-aturan lama dengan tujuan mempercepat pembentukan aturan-aturan baru yang lebih demokratis.
Inisiatif transisional adalah kualitas milik seseorang yang berkarakter kuat, berkemampuan mengambil risiko, dan penuh keyakinan akan jalan yang ditempuhnya. Seorang presiden—sekalipun dengan dukungan partai terbesar dan dukungan pemilih yang meyakinkan—yang peragu, senang berpikir berbelit-belit, tak mampu mengambil risiko, dan sibuk memupur wajahnya dengan kemasan cantik-manis tak akan punya kualitas semacam itu.
Gus Dur memilikinya. Politik dan demokratisasi Indonesia dibuatnya menjadi menarik karena senantiasa diisi oleh kejutan demi kejutan yang sebagian di antaranya memicu kontroversi dan meletupkan konflik. Di satu sisi, inisiatif transisional ala Gus Dur berfungsi positif membuka lebih lebar kemungkinan bagi perubahan. Namun, di sisi lain, ketika tak terkelola, keberanian Gus Dur yang tak bertepi dalam melakukan inisiatif-inisiatif itu terbukti efektif memukul balik.
Begitulah sejarah mencatat. Gus Dur akhirnya hanya bisa bertahan selama 642 hari menjadi presiden. Lebih lama dibandingkan dengan rentang kekuasaan Presiden Baharuddin Jusuf Habibie (518 hari), tapi lebih pendek dibandingkan dengan Megawati (1.186 hari), apalagi dibandingkan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang tengah menjalani awal termin kedua kekuasaannya saat ini.
Sejarah juga mencatat bahwa pemakzulan Gus Dur adalah konsekuensi dari akumulasi inisiatif transisional yang diambilnya. Setiap inisiatif itu menambahi musuh politik Gus Dur dari waktu ke waktu. Ketika dimakzulkan MPR pada 23 Juli 2001, ia tak terbukti terlibat ”Buloggate” (kasus penyelewengan dana Bulog). Ia jatuh karena keberaniannya membuat sebuah dekrit yang mengatasi aturan konstitusi.
Maka, di satu sisi, pemakzulan itu menggarisbawahi ketidakmampuan Gus Dur menyeimbangkan keberaniannya melakukan inisiatif transisional dengan kecakapannya mengelola dukungan politik. Tapi, di sisi lain, ini menegaskan tabiat asasi partai dan politikus kita: senang menutup agenda pokok perebutan kekuasaan dengan topeng mulia pemberantasan korupsi—sesuatu yang saat ini saya khawatir tengah terjadi dalam lakon ”Centurygate”.
Keberanian mengambil inisiatif transisional mengantarkan Gus Dur pada tempat yang lain: katalisator. Sebagaimana peroksida (H2O2), Gus Dur berperan mempermudah dan mempercepat perubahan tapi tak membiarkan dirinya larut dalam hasil perubahan itu.
Dalam kapasitasnya sebagai katalisator, banyak peran yang dimainkan Gus Dur untuk mempercepat demokratisasi Indonesia. Ia mengintegrasikan Islam ke dalam paham kebangsaan, menyegerakan penyebaran gagasan pluralisme dan multikulturalisme, melindungi kelompok-kelompok minoritas, serta menggerakkan desakralisasi lembaga presiden dan kekuasaan dan depolitisasi tentara.
Gus Dur tak larut di tengah hasil perubahan itu. Ia tak tergoda membajak reformasi untuk kepentingan berjangka pendek sendiri atau kelompoknya sebagaimana dilakukan oleh umumnya—meminjam istilah yang digunakan Joel S. Hellman (World Politics, 1998)—”para pemenang pertama”. Dalam konteks ini, pemakzulan Gus Dur adalah ”berkah di balik musibah”. Ia ditarik dari kursi kekuasaan besarnya sebelum tergoda menjadi sang pembajak. Walhasil, Gus Dur—dari tempatnya yang khas dan tak tergantikan itu—membangunkan rindu-dendam kita.
Saya ingat, seusai menonton film dokumenter tentang Gus Dur yang diputar di kelas Profesor R. William Liddle pada musim gugur 2001, beberapa bulan setelah ia dilengserkan, seorang mahasiswi Amerika spontan berkomentar kepada saya, ”He is so crazy, but I love it!”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo