Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pertemuan dengan asmat

Rombongan panari irian jaya tiba kembali dari la- watannya ke as. mereka mengisi acara festival ke- senian indonesia, kias. terjadi sebuah pertemuan budaya yang mengesankan.

24 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pekan lalu, rombongan para penari dari Irian Jaya datang kembali dari lawatan ke AS. Sebuah pertemuan budaya yang m- engesankan. DARI pedalaman Irian Jaya, ke Washington, D.C., melalui suatu tepuk tangan yang gemuruh. Itulah yang terjadi ketika 36 penduduk asli suku Asmat, Dani dan Sentani, terbang dari Irian Jaya ke AS, dan berada selama dua bulan di sana mengisi acara festival kesenian Indonesia yang disebut KIAS. Pulang ke Tanah Air Jumat pekan lalu, rombongan itu tampaknya membawa serta, dan meninggalkan, kesan yang jarang terjadi. Pementasan perdananya di Washington, D.C., diselenggarakan oleh The Smithsonian Institute yang beken itu, dihadiri sekitar 1.000 penonton yang berjubel. Selama seminggu di ibu kota AS, mereka bermain dua kali sehari. Setelah itu ke New York, menari di American Museum of Natural History. Di gedung yang cukup bergengsi dan berkapasitas 1.000 tempat duduk itu, penonton juga penuh sesak. Perjalanan selanjutnya ke New Orleans dan Chicago. Ada tiga nomor tarian disajikan. Pertama adalah upacara inisiasi yang menggambarkan harapan agar para pemuda tumbuh sehat, perkasa, dan berani. Lalu pesta perisai, yang biasa ditarikan untuk minta restu para leluhur. Tarian ketiga disebut pesta bis, upacara untuk menghadirkan leluhur agar melindungi keturunan mereka. Para penari kebanyakan berusia muda. Menurut Yuvent Biakai, kurator Museum Asmat, para penari itu dipilih dari generasi muda yang mengerti adat dan kesenian, dan yang juga mau berpikir ke depan. "Sekarang mereka sudah melihat dunia luar, bagaimana adat dan kesenian kita sangat dihargai. Saya berharap mereka bisa menganjurkan agar teman-teman sekampung juga menjaga itu semua," katanya. Bersama para penari itu ikut Sardono W. Kusumo, koreografer itu, dan musikus Harry Roesli. Sardono hanya berfungsi membantu mengatasi hambatan agar para penari dari pedalaman itu agar tidak demam panggung di pentas modern. Sementara itu, Harry Roesli memasukkan suara-suara alam ke dalam pertunjukan. "Jadi, musik bukan untuk membangun suasana penonton, tapi untuk membantu penari," katanya. Daya tarik mereka bagi masyarakat Amerika tentu saja bukan sekadar karena tarian itu. Nama Asmat sudah terkenal di New York sejak salah satu anak hartawan Rockefeller, yang menjadi ahli antropologi, pergi ke Irian Jaya dan hilang. Di Metropolitan Museum di New York ada bagian khusus yang disebut "Rockefeller Wing". Di dalamnya terdapat patung karya orang Asmat yang menakjubkan banyak pengunjung. Selain itu, perhatian kepada masalah lingkungan dan kebudayaan lokal juga sedang kencang di AS. Tak mengherankan bila setiap usai pertunjukan orang Irian Jaya itu selalu diminta kembali naik pentas untuk berdialog dengan penonton. Dibantu Debra Yatim, penulis dan wartawan Media Indonesia yang bertugas jadi pengantar rombongan (di Washington, New York, dan Orleans), dan musikus Franki Raden (di Chicago), tanya jawab umumnya berlangsung tangkas dan memikat. Bahkan, dialog itu yang agaknya jadi bagian penting kunjungan ini. Misalnya ketika ada penonton yang bertanya apakah praktek kanibalisme masih ada di Irian. Pertanyaan yang tidak enak didengar ini membuat suasana hening sesaat, sampai ketika Yuvent Biakai, yang juga ikut menari, tampil ke mikrofon. "That's a funny question, but I like it, " kata Biakai, yang melengkapi kostum tariannya dengan belati dari tulang kasuari yang diikatkan di lengannya yang kekar. Ia bicara tanpa penerjemah. Kanibalisme, kalaupun akan disebut demikian, sudah 50 tahun lampau ditinggalkan masyarakat Irian. Bagi Biakai, lulusan Sekolah Tinggi Teologia itu, justru kesukaan akan perang yang terdapat di dunia Barat, termasuk AS, yang merupakan kanibalisme modern. Tidak seluruhnya ada rasa sama-sama asing dalam kontak para penari dari pedalaman Irian Jaya itu dengan dunia pascaindustri seperti yang mereka lihat di AS. Rombongan itu bertemu dengan kalangan orang hitam. "Di AS ternyata ada orang hitam berambut keriting. Jadi, ada juga saudara-saudara saya di sana," ujar Amolok Mabel, pemuda asal Dani. Ketika mereka diinterviu oleh penyiar hitam di radio New Orleans, mereka berpelukan dan mencucurkan air mata. Pada akhirnya, memang, satu hal yang senantiasa terjadi dari sebuah pertemuan budaya bukan kesalahpahaman, melainkan batin yang jadi bertambah kaya. Lumayan. Tur ke AS itu sendiri tidak akan menambah harta benda orang Asmat, Dani dan Sentani. Para penari hanya menerima uang saku US$ 20 per hari. Tidak jelek memang, tapi tidak ada artinya bila dibanding yang diterima oleh beberapa anggota rombongan, para pejabat yang bertugas sebagai supervisor, atau penyelia. Mereka ini menerima uang saku US$ 200 per hari. Mumpung. Budiman S. Hartoyo, Sandra Hamid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus