Ensemble Jakarta berpentas lagi. Kelincahan dan virtuositas permainan ensemble mereka memberikan titik terang. MUNGKIN pertanyaan dalam sanubari kita tidak mudah terjawab jika tidak menyaksikan pementasan perdana Ensemble Jakarta di Gedung Kesenian Jakarta pada 15 dan 16 Agustus lalu. Soalnya, Suka Hardjana, pemimpin Ensemble Jakarta sejak 1971, pernah berseloroh, "La, gimana, ya, anak-anak muda ini datang pada saya dan minta supaya Ensemble Jakarta dihidupkan kembali." Suka mengaku sebetulnya sudah kapok mengurus Ensemble Jakarta. Untung saja, ada anak-anak muda yang merasa bahwa dunia musik klasik adalah tanggung jawab mereka juga. Lalu, sejak delapan bulan lampau mereka berlatih, berbenah, dan memilih Farida Feisol sebagai direktur merangkap manajer. Lalu, nama ensemble pun ditambah: Ensemble Jakarta/Orkes Residen Gedung Kesenian Jakarta. Kecil adalah indah bukan semboyan untuk mereka yang telah bertekad untuk sepenuh hati dalam pergelaran kemarin. Dengan paras sederhana dan teguh, mereka menunjukkan niat dan minat menyatakan diri sebagai individu tangguh. Membuka pergelaran dengan Concerto Grosso opus 6 No. 1 ciptaan G.F. Haendel ( 1785-1759), ditunjang oleh permainan solo Amin Tamin (biola I), Adrianus Prabowo (biola II), Sulistyo Utomo (selo dan Avip Priatna (cembalo), jenis Concertino yang memerankan beberapa solis dalam sahut-menyahut dengan teman kencannya (orkes) berhasil menyongsong suasana bagi nomor-nomor selanjutnya. Keempat peran solistik menyatu sebagai kendali ampuh. Boleh dibanggakan pula penggunaan instrumen cembalo (harpsikord, sesepuhnya piano) buatan PT Prajawidya Instrumentalia Jakarta. Nomor berikutnya menyuguhkan Konser untuk Piano dan Orkes dalam Es -- mayor karya Johann Christian Bach (1735-1782), putra bungsu Johann Sebastian Bach (1685-1750). Musik Johann Christian yang lincah ini menambah lagi seni sahut-menyahut dengan solis tunggal Rubi Pertama pada piano. Rubi, yang sudah bukan asing lagi sebagai pemain andal, rupanya malam itu agak naas. Permainannya memberi kesan agak tegang. Untung, ditunjang dengan indah oleh esemble orkesnya. Karya Elgar (1857-1934) Serenade opus 20 dalam E mayor menjadi acara satu-satunya yang bergaya romantik. Serenade (klenengan), musik malam yang paling cocok dimainkan di alam terbuka, ternyata masih belum seluruhnya menyatu dalam diri para pemain. Elgar, pencipta Inggris otodidak yang tidak ingin terikat pada norma-norma konvensional, memiliki kekhasan. Ia menuntut kehalusan jiwa dalam warna bebas. Pada zamannya ia tidak selalu mendapat simpati sesamanya. Saya kira, meski bentuknya belum terasa jelas, ada ikatan batin yang sukses disampaikan pemain Ensemble Jakarta. Hal ini menuntut kerja keras: mereka mampu menangkap kehalusan jiwa Elgar. Pemain Ensemble Jakarta menutup setiap kalimat dengan sentuhan akhir yang dalam. Sangat mengagumkan. Mudah-mudahan ini akan jadi salah satu ciri khas Ensemble Jakarta. Bukan Suka Hardjana bila dalam menyuguhkan konsernya tidak tampak karya Stamitz (1745-1801). Adrianus Prabowo, kali ini berpasangan dengan Zino Andrefa (keduanya biola), berperan dalam karya Concertante dalam C mayor. Stamitz yang enak didengar, tapi tidak mudah diperankan, didukung oleh pemain tamu Juhad Ansyari dan Hendro Wijaya (hobo) dan Yunus serta Rachmad Biardi (horn). Satu permainan ensemble yang komplet dan menarik. Ensemble Jakarta menutup acaranya dengan Divertimento KV 136 karya W.A. Mozart, seluruhnya untuk ensemble gesek. Tidak salah rupanya mereka pamit dari pendengarnya dengan karya terkenal ini. Kelincahan dan virtuositas permainan ensemble dari Ensemble Jakarta memberikan titik terang bagi saya bahwa perjuangan anak-anak muda ini tidak akan sia-sia. Kebutuhan spiritual mereka telah terucap dengan bulat dan gamblang. Musik ensemble adalah satu jenis yang sulit dikembangkan jika manusianya belum siap. Kalau masih ada yang merasa bahwa teknik ensemble belum memadai, ini hanya soal waktu. Setiap penyatuan harus diberi kesempatan untuk bertumbuh, dan mereka ini telah siap. Juga bukan hal yang mudah: Ensemble Jakarta, yang berdiri pada 1971, sampai pada titik terang ini. Suguhan ekstra pada publik yang hanya sedikit, tapi terdiri dari para pencinta musik ensemble: Di Bawah Sinar Bulan Purnama, karya Maladi dengan aransemen Jos Cleber untuk gesek, terdengar seakan kita dibawa kembali pada tahun 1950-an dengan spirit dan sikap masa kini yang trendy. Selamat datang kembali Ensemble Jakarta: "Stay Small and Be Beautiful". Dan itulah yang kucari. Iravati Sudiarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini