Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Gatutkaca penuh ragu

Grup topeng dalang sinar sumekar pimpinan edhi se- tiawan tampil di bentara budaya, jakarta. tontonan ini biasa disebut topeng madura. seluruh pemain mengenakan topeng dengan dialog bahasa madura.

24 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Grup Topeng Madura yang pulang dari AS, pekan lalu pentas di Jakarta. GATUTKACA asal Madura itu dihajar babak belur oleh ayahnya. Bima, sang ayah, berprasangka anaknya telah berbuat tidak pantas terhadap Pergiwa, calon istri. Dengan pikiran kalut, Gatutkaca terbang tinggi-tinggi dan menjatuhkan diri. Untung saja, ia berotot kawat bertulang baja. Jadi, biar jatuh dari langit tak juga mati. Ini membuatnya bingung dan mau harakiri. Tapi maksud itu batal, karena sang pacar muncul. Cerita Gatutkaca Gandrung ini dipentaskan Kamis pekan lalu di Bentara Budaya, Jakarta, oleh grup Topeng Dalang Sinar Sumekar pimpinan Edhisetiawan, S.H., untuk merayakan ulang tahun ke-28 majalah Intisari. Disebut "topeng dalang" karena semua pemainnya memakai topeng, dan seorang dalang mengatur seluruh pertunjukan. Dua jam penuh, Dalang Daud Subroto menceritakan adegan yang silih berganti berdendang mencipta suasana memukul kecrek memberi instruksi kepada penari dan pemusik dan melakukan dialog untuk semua penari kecuali Semar. Orang bukan Madura sering menyebut tontonan ini Topeng Madura. Istilah ini butuh penjelasan karena di Madura, setidaknya, ada dua gaya: Topeng Kerte dan Sebanjir. Yang pertama menyebar sampai ke Situbondo, Jawa Timur, yang kedua pernah diajarkan di Banyuwangi. Yang bukan orang Madura sering sulit membedakan kedua gaya itu. Topeng Dalang Sinar Sumekar mencoba memadukan kedua gaya tersebut. Meringkas tontonan desa yang biasa tampil santai delapan jam menjadi hanya dua jam ternyata tak gampang. Apalagi untuk penonton yang tak paham bahasa Madura. Di tempat asal, topeng ditanggap jika ada khitanan, pesta kawin, bersih desa, pesta panen, atau bila ada yang mau membayar nazar. Pada Maret lalu, misalnya, di Desa Pinggir Papas, Sumenep, pertunjukan topeng tidak hanya menghibur penonton, tetapi juga menjadi ajang silaturahmi dan penambah nafkah para penjaja makanan. Tua dan muda, laki-perempuan, anak-anak berdesak saling menginjak di sekeliling arena menari. Secara fisik dan mental, penonton hampir tak berjarak dengan pemain: akrab dengan bahasa dan idiom panggung yang dipakai. Perbedaan tatanan ruang, waktu, dan konteks pertunjukan membuat penonton Bentara Budaya menuntut lain. Sebenarnya, ada usaha meniru seting asli. Tiga pintu rumah Kudus yang jadi latar belakang pementasan di Bentara Budaya itu, hanya dua pintu di pinggir yang ditutup layar merah terbelah di tengah. Dalam tradisi topeng, layar ini juga berfungsi sebagai alat ekspresi: digetarkan di depan wajah dan digerakkan sebagai alat "pengintip" sebelum penari masuk pentas. Sayang, pintu itu terlalu besar, jarak terlampau dekat, dan pemasangan layar yang mudah jatuh menutupi muka penari justru mengganggu ekspresi. Alhasil, momen-momen dramatik, yang diharapkan membantu penonton membangun khayal, runtuh. Pada tarian pertama (Klana Tunjungseta), misalnya, penari Supakra, 70 tahun, dibiarkan keluar dari pintu tengah. Sialnya lagi, di tengah menari ia menginjak paku, yang mengganggu konsentrasinya. Selesai menari secara refleks ia masuk lewat pintu bertirai, yang entah kenapa belum dibuka. Penonton tertawa dan momen pembuka yang bagus pun lepas. Padahal, selama delapan hari pentas di Washington dalam rombongan Pameran dan Pertunjukan Kebudayaan Indonesia di AS, Supakra salah seorang bintang panggung. Penyusunan adegan malam itu yang berorientasi pada kata dan alur cerita justru merugikan. Seluruhnya ada delapan adegan, lebih dari separuh diisi banyak dialog. Kalau dialog panjang hendak dipertahankan, diperlukan terjemahan langsung, mirip dalam film, agar penonton dapat mengikuti dialog pemain. Jika tidak, adegan omong perlu dikurangi dan Semar perlu lebih aktif membanyol: tidak dengan kata tetapi gerak. Sesungguhnya penataan tidak perlu mengorbankan identitas lokal. Keinginan memperhalus, akibat logis dari perkawinan Paku Buwono V (1830-50) dengan putri raja Bangkalan, telah mendekatkan gaya Madura dengan gaya Jawa Surakarta. Ini tampak dalam gending-gending alus Puspawarna, Rarari, Moncer, dan Palaran. Untung saja permainan kendang tetap gaya Madura. Beberapa adegan: Gatutkaca dihajar Bima Gatut perang melawan Dursasana dan Lesmana Gatut gandrung-gandrung penuh ragu dan adegan akhir ia berjalan berangkulan dengan Pergiwa, cukup manis, khas Madura, dan bisa dikembangkan. Menjadi "kasar", dalam hal Topeng Madura, belum tentu menjadi buruk. Justru, kekuatan Topeng Madura adalah pada gerakannya yang sigrak, cepat, dan galak. Ayo, Sinar Sumekar, maju terus, Jangan ragu. Sal Murgijanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus