Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Profesor jo sudah tiada

Mantan rektor ugm periode 1961-1966, prof.dr.ir.herman johannes, meninggal dunia dalam usia 80 tahun. ia dikenal sebagai ilmuwan yang konsisten dan selalu berpikir untuk kepentingan orang banyak.

24 Oktober 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONSISTEN dan selalu berpikir untuk kepentingan orang banyak. Itulah sikap Prof. Dr. Ir. Herman Johannes hingga akhir hayatnya. Ia, misalnya, bersikeras mengkritik perjanjian celah Timor antara Indonesia dan Australia beberapa waktu lalu. "Perjanjian itu tidak adil," katanya, Desember 1990 lalu. Pembagian celah Timor yang mengandung minyak dan dibagi tiga bagian, daerah A, B, dan C itu, menurut Johannes, lebih menguntungkan pihak Australia. Alasannya, daerah B (paling potensial bersama daerah A) yang dalam perjanjian dikelola oleh Australia. Indonesia hanya mendapatkan 16% dari daerah tersebut. Padahal, katanya, jika zone ekonomi eksklusif diterapkan 2-3 tahun mendatang, daerah B bisa dikelola dengan pembagian 50:50. Sabtu malam pekan lalu, guru besar ilmu fisika dan kimia (sejak 1949) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini berpulang dalam usia 80 tahun. Mantan Rektor UGM periode 1961-1966 ini sejak Mei lalu tergolek di rumah sakit akibat kanker prostat dan komplikasi penyakit tua yang dia alami. Prof. Johannes juga menyesalkan imbauan Pemerintah agar masyarakat tidak menatap gerhana matahari total yang terjadi di wilayah Indonesia 1983 lalu. "Kita kehilangan momen yang sangat berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan," sesal Johannes ketika itu. Ia sendiri menikmati keindahan gejala alam yang langka itu lewat kaca yang diolesi jelaga. Ilmuwan ini menjadi sumber pemberitaan media massa lewat penelitiannya yang unik-unik. Namun, penelitian Prof. Jo -- demikian panggilan akrabnya -- selalu berkaitan langsung dengan kehidupan orang banyak. Ketika harga susu masih belum terjangkau kebanyakan masyarakat, ia meneliti tanaman putri malu yang katanya, "Akan saya buat menjadi susu." Ia juga tahu persis bahwa minyak yang ada jumlahnya terbatas. Karena itu, setiap hari ia selalu berpikir bagaimana caranya agar masyarakat siap dan tidak bergantung pada minyak. Ia mencoba mencari alternatif bahan bakar pengganti minyak dari ilalang. Ia memang akrab dengan ilalang, karena ia lahir di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, yang penuh dengan sabana ilalang. Ia menciptakan briket arang biomassa kering, bioarang, dan biogas yang mampu menggantikan fungsi arang kayu yang selama ini akrab digunakan masyarakat pedesaan. Hal lain yang menonjol dari ayah empat orang anak dari pernikahannya dengan Annie M.G. Johannes-Amalo ini adalah pilihannya untuk hidup bersahaja. Ia lebih senang membelanjakan uangnya untuk melakukan penelitian, sampai-sampai rumah yang ia miliki berasal dari alumni UGM. "Saya bersyukur bahwa mereka memikirkan hari tua saya," kata pendiri partai Persatuan Indonesia Raya itu. Ia juga tidak mengizinkan anaknya menggunakan mobil dinas, karena bagi Prof. Jo, "mobil dinas hanya untuk keperluan dinas." Sebagai ilmuwan, ia sudah menelurkan sekitar dua ratus kertas kerja ilmiah. Bahkan, ketika harus masuk rumah sakit Mei lalu, ia masih mempersiapkan sebuah makalah yang ia beri judul "Fusi Nuklir Dingin dalam Tabung Lucutan berisi Gas Boroetan". Meskipun ia tidak dapat hadir dalam seminar di Jakarta itu, rancangan eksperimental ini ia kirimkan ke panitia. "Kalau teori ini diakui kebenarannya, bisa-bisa saya mendapat Nobel," katanya bergurau. Beberapa buku mengenai keilmuan sudah pula ia tulis. Dan di waktu luangnya, Prof. Jo tidak lupa menikmati hobinya bermain bridge. Bahkan ia sempat menulis tiga buah buku tentang kegemarannya itu, di samping buku tentang permainan catur dan bahasa. Dalam upacara militer Senin siang pekan ini, peraih Bintang Gerilya dan Bintang Mahaputra II ini dimakamkan di makam UGM, setelah disemayamkan di kampus tersebut. "Ia hanya pesan kepada anak-anak agar menjaga saya," kata istrinya tentang pesan terakhir Prof. Jo. Rustam F. Mandayun dan Heddy Lugito (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus