Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Demokratisasi dan hak asasi

Wawancara Tempo dengan duta besar nugroho wisnumurti sekitar masalah nonblok, sikap indonesia dan nonblok dalam restrukturisasi PBB, keberatan nonblok atas pembentukan pasukan tetap PBB.

24 Oktober 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Jakarta, gaung Gerakan Nonblok mungkin mulai menyayup. Namun di New York, kesibukan Biro Koordinasi Gerakan Nonblok seperti tak mengenal henti. Duta Besar Nugroho Wisnumurti memang bertanggung jawab agar Non blok berperan penuh di forum PBB. Rabu pekan lalu, misalnya, Nugroho Wisnumurti tampil di Majelis Umum PBB mewakili Gerakan Nonblok. Ia menyuarakan aspirasi 108 negara berkembang demi restrukturisasi PBB, agar lebih efektif berfungsi sebagai penjaga perdamaian dunia. "Saya menyampaikan hasil keputusan KTT Nonblok di Jakarta mengenai perlunya restrukturisasi PBB," kata Nugroho. Bagi Nugroho, 52 tahun, alumni Fakultas Hukum UI yang menyelesaikan masternya di Columbia University, New York memang seperti kampung halaman kedua. Sebelum diangkat menjadi Wakil Tetap RI di PBB, 12 September lalu, adik mendiang Soedjatmoko ini adalah orang kedua di sana sejak 1989. Usai berpidato, Nugroho menerima Bambang Harymurti dari TEMPO untuk sebuah wawancara. Berikut petikannya. Bagaimana sebenarnya sikap Indonesia dan Nonblok dalam restrukturisasi PBB ini? Mengapa dirasakan perlu? Indonesia dan Nonblok di KTT yang lalu telah memutuskan bahwa sekarang ini dunia sudah berubah, tak lagi seperti waktu PBB dibentuk. Karena PBB, yang dianggap oleh Gerakan Nonblok sebagai forum utama untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingannya, perlu menyesuaikan diri dengan situasi yang sekarang berkembang. Terutama dikaitkan dengan telah berakhirnya perang dingin? Ya, jadi selesai perang dingin dan perubahan besar di Eropa, terutama Eropa Timur, termasuk telah terbentuknya negara-negara baru di bekas Uni Soviet. Ini semua akan memberikan dampak yang mendasar dalam tata dunia sekarang ini. Terutama berakhirnya perang dingin ini menyebabkan bahwa prioritas sekarang ini tak lagi pada upaya yang dikaitkan dengan pertentangan antara Barat dan Timur. Dalam dunia yang multipolar ini, telah timbul suatu situasi yang baru dengan kepentingan-kepentingan baru. Apa perbedaan utama pandangan Gerakan Nonblok dan negara maju dalam soal restrukturisasi ini? Tentunya perbedaan yang nyata adalah prioritas yang kita anggap perlu diperjuangkan. Negara-negara Nonblok menginginkan demokratisasi PBB. Selama ini PBB melalui Dewan Keamanan lebih banyak didominasi negara-negara kuat. Dalam pidato Anda, juga dinyatakan soal keberatan Non blok atas usul pembentukan "pasukan tetap" PBB yang diajukan Sekjen PBB, mengapa? Kami melihat, meski keberadaan "pasukan tetap" ini sesuai dengan piagam PBB, waktunya belum sekarang ini. Sekarang PBB dianggap belum demokratis. Dewan Keamanan, yang memegang peran kunci di bidang perdamaian dan keamanan internasional, pada kenyataannya belum demokratis. Jadi, kami masih khawatir bahwa keputusan keputusan yang tidak atau kurang demokratis akan mengarah ke penggunaan "pasukan tetap" ini. Apa yang dirasakan paling mengganjal oleh Indonesia, kehadiran hak veto atau keseimbangan baru? Kami melihat bahwa hak veto sudah tak sesuai dengan keadaan. Hak veto ini sebenarnya muncul sebagai hasil dari Perang Dunia Kedua. Dalam arti, selesai Perang Dunia Kedua, masyarakat internasional menginginkan terjaminnya perdamaian dan mencegah terjadinya perang lagi. Ini memang hanya bisa dijamin oleh negara-negara kuat, terutama dari negara-negara pemenang perang. Kini zamannya sudah berbeda dan kami melihat bahwa hak veto merupakan hak istimewa yang hanya dimiliki oleh beberapa negara. Dengan adanya hak veto, masyarakat dunia yang jumlahnya begitu besar nasibnya sering ditentukan oleh sejumlah kecil negara. Dengan berakhirnya perang dingin ini, apa Anda melihat telah terjadi perubahan dalam definisi "kedaulatan negara" di dunia. Kalau kita membaca laporan Sekjen, beliau menyatakan bahwa konsep kedaulatan sekarang ini sudah tak lagi sama seperti yang selama ini dikenal. Sekarang ini dikatakan bahwa kedaulatan tak lagi absolut. Memang, sekarang, kalau melihat peran PBB dalam operasi kema nusiaan dan penanganan keamanan seperti di Irak, seolah-olah kedaulatan suatu negara sudah tak seperti dulu. Namun, yang ingin saya tekankan, tendesi ke arah penggerogotan kedaulatan itu harus dicegah. Contohnya? Yang kita khawatirkan, Dewan Keamanan ini terlalu dominan, mengambil keputusan-keputusan yang tak sepenuhnya menjadi mandatnya. Misalnya mengenai kasus Libya. Apakah tindakan terhadap Libya ini, soal tuduhan terorisme, menyangkut mandatnya? Yang dikhawatirkan adalah kalau PBB, akibat desakan Dewan Keamanan, menjadi terlalu intrusif dalam mengirimkan pasukannya ke berbagai pelosok dunia. Tahun depan, PBB mencanangkannya sebagai tahun hak asasi manusia. Bagaimana perkiraan Anda mengenai soal ini. Soal hak asasi manusia ini merupakan suatu bidang. Ada tendensi untuk membatasi kedaulatan suatu negara dalam menjunjung tinggi kebudayaannya masing-masing. Saya belum melihat PBB mengambil tindakan yang secara konkret merugikan di bidang ini. Tapi secara sepihak, bilateral, atau kelompok, sudah ada negara-negara -- terutama Barat -- yang melakukan hal ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus