Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Di balik pergelaran musikal Mar, ada rentetan proses kreatif yang berlangsung dalam kerja kolaboratif. Mengangkat latar tahun 1946, musikal ini mengisahkan cinta dan pengorbanan di tengah gejolak Bandung Lautan Api. Di dalamnya, karya-karya Ismail Marzuki dihidupkan kembali dengan sentuhan jazz.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Produksi ke-13 ArtSwara ini akan dipentaskan pada 26-28 Februari 2025 di Ciputra Artpreneur, Jakarta. Sejumlah aktor musikal kenamaan ikut terlibat, termasuk Gabriel Harvianto sebagai Mar dan Galabby Thahira sebagai Aryati. Selain mereka, ada pula Taufan Purbo Kusumo, Ni Made Ayu Vania Aurellia, Bima Zeno Pooroe, dan Witrie yang turut menghidupkan kisah ini di panggung.
Kolaborasi dalam Naskah dan Penyutradaraan Pergelaran Musikal Mar
Kepada Tempo, Wawan Sofwan, sutradara Mar, mengungkapkan bahwa proses kreatif produksi ini berlangsung dalam koordinasi yang erat antara kreator, tim produksi, hingga para pemeran. Proses penyutradaraan dimulai dari naskah yang masih mentah, kemudian dibedah ulang untuk kepentingan adegan dan musikal.
“Kami berdiskusi untuk memutuskan apakah bagian tertentu akan dipertahankan atau tidak. Naskah itu benar-benar di-breakdown lagi,” ujar Wawan saat ditemui di Griya Jenggala, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Senin, 17 Februari 2025. Setelah rampung, naskah didistribusikan secara berurutan kepada tim lain. “Misalnya, musik yang sudah selesai akan dikirimkan ke koreografer. Kami bekerja sebagai tim yang terkoordinasi,” tuturnya.
Sepanjang latihan, interaksi antar kreator juga terus berjalan. “Ini adalah kinerja kolaboratif dalam seni peran. Misalnya, jika ada lagu baru, kami akan berdiskusi dengan Ibu Dian (penata musik), ‘Bisa nggak bagian ini diperpanjang musiknya?’” ujar Wawan. Ia menilai, komunikasi intens dalam pergelaran penting untuk mencapai hasil terbaik.
Tantangan Mengemas Jazz dalam Musikal
Salah satu tantangan besar dalam menggarap Mar adalah menyajikan kebaruan dalam membawakan lagu-lagu karya maestro Ismail Marzuki. “Ketika orang tahu musikal ini berbasis pada lagu-lagu Ismail Marzuki, mereka selalu bertanya, ‘Ini lagunya mau dibawakan seperti apa?’” kata Wawan. Ia menekankan bahwa harus ada kebaruan dan inovasi dalam menggarap karya ini.
Wawan juga menuturkan, pendekatan jazz dalam musikal ini bukan sekadar pemilihan genre musik, melainkan juga representasi suasana zaman. “Ibu Dian sangat memahami jazz, dan seperti Bandung pada masanya (era 1940-an), kental dengan nuansa jazz. Ismail Marzuki juga merupakan salah satu tokoh jazz di Bandung,” ucapnya.
Dian HP, yang bertindak sebagai penata musik, komposer, pengatur vokal, sekaligus penulis libretto menjelaskan, dalam menentukan aransemen, tim musik terlebih dahulu memilih lagu-lagu Ismail Marzuki yang sesuai dengan alur cerita. “Karena latar ceritanya tahun 1946, kami memutuskan untuk mengaransemen sebagian besar musiknya dengan genre jazz. Namun, tidak semuanya jazz, karena tahun itu memang banyak dipengaruhi oleh jazz,” ujar Dian.
Melodi asli lagu-lagu Ismail Marzuki, ia menilai, sangat kompatibel dengan jazz. “Saya hanya perlu menyesuaikan dengan elemen-elemen jazz, seperti pecahan suara, harmonisasi, dan karakter musik jazz tempo dulu,” kata dia. Proses produksi musik pun dilakukan bersama band pengiring yang melibatkan berbagai instrumen. “Ada rhythm section—piano, bass, drum, gitar, dan perkusi—serta alat musik tiup seperti flute, klarinet, trompet, trombon, dan saksofon,” ujar Dian.
Selain itu, ada tiga pemain keyboard yang memainkan instrumen tambahan, seperti bel, vibrafon, atau harpa. Nantinya, semua musisi akan tampil langsung di bawah panggung. Sebanyak lebih dari 18 lagu karya Ismail Marzuki akan dibawakan dalam pertunjukan ini, termasuk komposisi yang diadaptasi menjadi melodi dalam adegan dialog.
Kisah Mar mengikuti perjalanan cinta antara Mar, seorang prajurit TKR di Bandung, dan Aryati, seorang perawat di rumah sakit setempat. Hubungan mereka diuji oleh peristiwa Bandung Lautan Api pada awal 1946. Penonton akan diajak kembali ke masa muda para tokoh, untuk menyaksikan romansa yang berkembang di tengah perjuangan bangsa.