Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Prospektif: ekonomi politik ...

Pengarang : syahrir jakarta : lp3es, 1986 resensi : r. william liddle (bk)

15 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EKONOMI POLITIK KEBUTUHAN POKOK, SEBUAH TINJAUAN PROSPEKTIF Oleh: Syahrir Penerbit: LP3ES, Jakarta, 1986, 280 halaman SEBAGAI ilmuwan politik yang menaruh perhatian khusus kepada Indonesia dan negara Dunia Ketiga lainnya, saya sangat tertarik kepada masalah ekonomi politik dan kebutuhan pokok. Apa daya tarik dua pendekatan kepada masalah pembangunan yang relatif baru ini? Ceritanya rada panjang, tapi perlu diungkapkan. Dari semua ilmu sosial, mungkin ilmu politik yang paling berakar di dalam kebudayaan masyarakat tempat dia tumbuh, yaitu masyarakat Amerika Serikat. Tatkala dia muncul sebagai jurusan baru di fakultas hukum, awal abad ini, tema pokoknya adalah demokrasi Amerika: bentuk dan isinya, struktur dan prosesnya, bedanya dengan demokrasi gaya Inggris (tolok ukur segala-galanya di Amerika masa itu), dan lawan-lawannya dari dalam dan luar. Setelah Perang Dunia II usai, dan sebagian besar negara bekas jajahan di Asia dan Afrika memperoleh kemerdekaan, ilmuwan politik di Amerika mulai mempelajari demokrasi di sana, dan juga di Amerika Latin. Di dalam rumusan kami. Amerika Serikat adalah demokrasi modern pertama di dunia, The First New Nation (Bangsa Baru yang Pertama), mengutip judul buku sosiolog terkemuka S.M. Lipset. Karena ilmu politik, umumnya, dianggap paling maju di Amerika, rumusan ini sangat berpengaruh di mana-mana, termasuk di kalangan intelektual Dunia Ketiga sendiri. Kerangka pemikiran ini tergoyahkan oleh sederetan kudeta pada akhir 1950-an dan awal 1960-an. Tak lama kemudian ia roboh sama sekali. Jumlah demokrasi parlementer yang bertahan sampai tahun 1970-an bisa dihitung dengan jari satu tangan. Akibatnya, para ilmuwan politik Amerika kelabakan, merasa kehilangan arah dan fokus penelitian. Begitu juga ilmuwan politik di Dunia Ketiga. Sebab, konsep baru yang tidak bergantung pada tradisi intelektual Barat belum sempat berkembang. Kalau obyek penelitian paling sentral bagi citra dan harga diri ilmuwan politik sudah hilang lenyap, lalu bagaimana? Saya sendiri, sejak waktu itu, terus-menerus mencari kerangka baru. Pencarian saya berpedoman antara lain pandangan saya -- berdasarkan sejarah pasang-surutnya kerangka demokrasi tadi -- bahwa obyek penelitian yang paling mencerminkan keperluan Dunia Ketiga mungkin sekali harus tumbuh di bumi mereka sendiri. Calon kerangka pertama yang saya pertimbangkan adalah teori ketergantungan yang dikembangkan para intelektual neo-Marxis di Amerika Latin. Sayangnya, teori ketergantungan punya kelemahan besar: menurut konsepsi sejarahnya, masyarakat adil dan makmur hanya bisa tercapai melalui revolusi sosial dan pendirian negara sosialis. Visi ini saya tolak dengan alasan-alasan empiris: analisanya kurang terbukti dengan fakta, dan impiannya mengenai masyarakat serta negara sosialis tidak bisa dibedakan dengan negara komunis yang sudah ada, dan mengerikan. Meski akhirnya teori ketergantungan ditolak, pengalaman ini menggairahkan saya untuk mempelajari pendekatan sejenis, yang bertujuan menyatukan disiplin ekonomi dan politik. Pilihannya tidak banyak. Ilmuwan ekonomi terkenal ingin tinggal di rumah intelektual sempit, terkurung oleh konsep-konsep canggih mereka sendiri, sedangkan ilmuwan politik terkenal suka mencari (atau mencuri!) konsep baru dari sosiologi dan antropologi, bukan ekonomi. Karena itu hasil penelusuran saya bukan sebuah bangunan teoretis yang siap dihuni, melainkan beberapa tiang dan papan yang masih perlu disusun dan dipaku rapat. Dua di antaranya yang kebetulan ditegakkan juga oleh Dr. Syahrir, adalah ekonomi politik dan kebutuhan pokok. Dari namanya saja, kiranya tujuan pendekatan kebutuhan pokok cukup jelas. Ia dikembangkan oleh ilmuwan sosial, seperti Syahrir, yang tidak puas dengan kecenderungan mayoritas ilmuwan ekonomi untuk menyamakan pertumbuhan (diukur dengan laju perkembangan produksi nasional) dengan pembangunan. Pembangunan yang sebenarnya, kata mereka, harus mencakup pula konsep distribusi atau pemerataan. Pemerintah Dunia Ketiga, yang sedang membangun, diajak lebih memperhatikan kebutuhan pokok masyarakatnya, seperti sandang, pangan, perumahan, kesehatan, dan pendidikan. Istilah ekonomi politik dipakai banyak aliran pemikir sekarang, mulai dari orang Marxis yang antiekonomi pasar sampai kepada ilmuwan politik yang mencoba menerapkan konsep pasar bebas itu kepada kejadian-kejadian politik. Tanpa mengabaikan unsur yang berguna dari setiap aliran ini, versi Syahrir (kebetulan versi saya juga) menekankan tradisi Ekonomi Pembangunan yang diprakarsai antara lain oleh ekonom kawakan Universitas Princeton Albert O. Hirschman. Di dalam keterangannaya tentang keberhasilan atau kegagalan kebijaksanaan pembangunan (umpamanya, dalam bukunya yang terkenal Journeys toward Progress), Hirschman mempunyai dua keistimewaan. Dia selalu menitikberatkan peranan penting yang dimainkan oleh variabel sosial, budaya, dan politik. Dan setiap kasus yang ditelitinya dilihat sebagai kesempatan untuk menunjukkan keyakinannya bahwa pembangunan adalah proses yang rumit, berliku-liku, dan banyak punya akibat sampingan, negatif dan positif, yang tak terduga-duga. Konsep ekonomi politik dan kebutuhan pokok sebagian besar diciptakan dan dirincikan oleh ilmuwan Barat (tapi ada juga dari Timur, seperti Mahbub ul Haq dan Soedjatmoko). Tetapi keduanya berasumsi bahwa variasi lebih mungkin ketimbang keseragaman. Artinya, pembangunan di suatu negara tidak bisa ditentukan di luar konteks makna-makna setempat. Jadi, mereka berpotensi besar untuk diterapkan sesuai dengan cita-cita berbagai masyarakat yang terdapat di Dunia Ketiga. Seorang peneliti di Indonesia, misalnya, diberi kesempatan luas malah ditantang -- untuk mengisi kerangka ini dengan nilai-nilai yang dihayati masyarakat Indonesia, dan analisa-analisa empiris yang bisa menerangkan kenapa kebijaksanaan pembangunan berhasil atau gagal. Apa sumbangan buku Syahrir kepada pengertian kita tentang pembangunan dan pelaksanaannya di Indonesia? Bab I berhasil memperkenalkan dengan jelas dan cukup lengkap asal-usul pendekatan ekonomi politik dan kebutuhan pokok. Siapa saja yang ingin mengadakan penelitian tentang kebijaksanaan pembangunan pemerintah Indonesia sekarang harus membekali dirinya dengan bacaan wajib ini. Bab II menguraikan secara ringkas perkembangan ekonomi dan politik sejak Orde Lama sampai Orde Baru. Syahrir memuji prestasi kebijaksanaan ekonomi pemerintah, khususnya di sektor industri dan pertanian. Tetapi dia melihat juga persoalan "di dalam struktur ekonomi dan kemiskinan". Khususnya, "masalah pengangguran dan setengah pengangguran masih sangat gawat bagi sebagian besar penduduk." Persoalan ini bersifat struktural, karena "meningkatnya jumlah penduduk yang tuna tanah dan mereka yang bekerja di dalam industri kecil dan industri rumah tangga/kerajinan atau sektor 'informal', dengan nilai tambah yang kecil" (halaman 108-110). Di bidang politik, Syahrir memuji keterampilan politik pemerintah, yang telah berhasil menciptakan stabilitas yang memungkinkan pembangunan. Tetapi dia mencatat juga suatu kesinambungan dengan Orde Lama, yaitu "tetap bertahannya sifat elitis dari sistem politik" (halaman 123), yang dikhawatirkan bisa menghambat pembangunan ekonomi dan politik selanjutnya. Menurut Syahrir, kecenderungan elitis ini sudah mulai diimbangi oleh sebuah kelas menengah profesional baru yang tidak hanya mementingkan golongannya sendiri secara sempit, tetapi juga punya perhatian luas kepada nasib dan masa depan bangsa. Bab III menganalisa hasil-hasil program pemerintah, yang bertujuan memenuhi kebutuhan pokok. Soal evaluasi ini ternyata tidak sederhana. Pertama, Syahrir merasa terbatasi oleh data yang ada pada waktu dia menulis disertasinya (versi asli dari buku ini). Jadi, definisi operasional kebutuhan pokok tidak diperoleh langsung dari rakyat yang menjadi obyek penelitian, melainkan dari perpustakaan Harvard Institute for International Development. Untunglah, dokumentasi program pangan, pendidikan, dan kesehatan -- tiga kebutuhan yang dianggap penting serta representatif oleh Syahrir cukup tebal. Kedua, dia harus pandai membandingkan hasil studi makro (analisa berdasarkan angka-angka umum) dan studi mikro (analisa berdasarkan kasus, lebih dalam tetapi sulit digeneralisasikan? yang jarang sama kesimpulannya. Bab ini patut dipuji sebagai model analisa sekunder. Ia menunjukkan ketelitian, keuletan, dan kepekaan penulis kepada kenyataan sosial yang seakan-akan selalu menyembunyikan diri dari kemampuan kita menyorotinya. Penemuan-penemuan Bab III memperkuat hasil pengamatan yang lebih umum pada Bab II. Berbagai alat pengukur produksi, konsumsi, dan distribusi pangan serta indikator-indikator tingkat dan mutu hidup (termasuk aspek-aspek pendidikan dan kesehatan) membuktikan bahwa banyak kemajuan telah tercapai. "Peningkatan pendapatan per kapita selama periode 1967-1982 dan produksi beras 1980-1982 punya pengaruh langsung dalam meningkatkan kondisi kebutuhan pokok di hampir setiap segi: konsumsi pangan, pendidikan, dan pelayanan kesehatan" (halaman 209). Tetapi minoritas masyarakat yang cukup besar pula ternyata masih kurang bisa menikmati hasil kemajuan ini. Faktor-faktor penghalang, menurut Syahrir, terletak pada lembaga dan struktur sosial dan ekonomi, baik di tingkat desa maupun antara pusat dan desa, yang tampaknya belum bisa diterobos oleh kebijaksanaan pemerintah. Satu-satunya bab yang mengecewakan dalam buku ini adalah Bab IV, yang mengupas tiga masalah kebijaksanaan, masing-masing di bidang pangan (program Bimas/Inmas), pendidikan (pembangunan SD Inpres), dan kesehatan (pelayanan dan penerangan tentang keluarga berencana). Tujuannya, yang sangat penting buat studi-studi pembangunan, adalah untuk menemukan variabel politik dan administratif yang dapat mencegah atau menghambat formulasi dan implementasi kebijaksanaan yang baik. Tetapi metode yang dipakainya kelewat kompleks dan sulit diikuti. Terlampau banyak kategori masalah dipinjam dari ahli-ahli ilmu kebijaksanaan negara (peta acuannya mengandung dua puluh satu kategori!) dan disajikan mentah-mentah dan terpotong-potong. Lebih mengecewakan adalah kesimpulannya bahwa salah satu variabel yang terpenting untuk menjamin suksesnya sebuah kebijaksanaan adalah partisipasi dari bawah: "peran serta rakyat . . . merupakan keharusan bagi keberhasilan yang langgeng dalam pemenuhan kebutuhan pokok" (halaman 62). Buktinya, antara lain adalah kelemahan-kelemahan yang terdapat pada pelaksanaan program Bimas/Inmas dan SD Inpres, yang peran sertanya rakyat kurang, dan keberhasilan program keluarga berencana, yang sejak awalnya banyak melibat organisasi-organisasi masyarakat. Saya tidak meragukan pentingnya partisipasi. Sebab, sulit membantah kenyataan bahwa orang atau kelompok yang bisa menuntut akan dilayani. Tetapi, terus terang saja, sebagai seorang peneliti yang juga menggarap ladang ekonomi politik ini, saya sudah lama bosan dengan studi-studi kebijaksanaan yang membicarakan segudang variabel, tetapi selalu kembali kepada satu conditio sine qua non, yaitu partisipasi. Dan saya punya firasat bahwa fenomena ini disebabkan bukan oleh data empiris yang bertumpuk-tumpuk, melainkan oleh tradisi ilmu politik yang menjunjung tinggi nilai partisipasi seperti dijelaskan pada awal resensi ini. Kalau kita betul-betul ingin jadi ilmuwan, sebaiknya kita turuti jejak perintis ekonomi politik Albert Hirschman, yang tidak terhenti-hentinya mengajak kita memandang lebih jauh dan menggali lebih dalam. R. William Liddle Guru besar ilmu politik di Ohio State University, Amerika Serikat, yang kini mnjadi peneliti utama di Univrsitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus