Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ranggawarsito, siapa yang tahu

Seminar dan diskusi peringatan pujangga besar ranggawarsito, mencoba menelaah dan penelitian atas seluruh karya ranggawarsito secara khusus. (sr)

12 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGERANG segera ia jadi tokoh yang dipuja, ia pun berhenti jadi penulis yang digubris. Ranggawarsita (1802-1873) adalah contohnya. Pujangga keraton Surakarta yang banyak disebut-sebut ini, seraya kalimatnya tentang "jaman edan" dikutip, baru pekan lalu dicoba dibahas dalam sebuah seminar yang menyoroti beberapa karyanya. Setelah lebih 100 tahun ia wafat. Seminar itu sendiri sangat sederhana. Kira-kira 40 tamu plus sejumlah mahasiswa mencoba mendengarkan para pembaca makalah selama 17 setengah jam, dalam ruang besar Teater Fakultas Sastra UI Rawamangun Jakarta yang muram dan akustiknya jelek. Tak nampak pejabat universitas kecuali waktu pembukaan. Dana kegiatan ini juga belum jelas akan ditanggung siapa, kecuali iuran Rp 2500 dari setiap peserta. Meskipun demikian, hasilnya lumayan. Selain dari UI di Jakarta, sejumlah pembicara juga datang dari Universitas Gajah Mada (Yogya), Universitas 11 Maret (Sala) dan Universitas Diponegoro (Semarang). Memang tak semua makalah cukup bermutu. Tapi panitia nampaknya siap bertolak dari lembeknya kegiatan penelaahan dan penelitian di perguruan tinggi sekarang. Lagipula, kapan sebelumnya ada penelaahan dan penelitian atas seluruh karya Ranggawarsita secara khusus, seperti yang dilakukan Prof. Naguib Al-Attas (sekarang nama ini dalam ejaan baru), seperti juga tulisannya dalam Sinar Harapan 31 Desember yang lalu mengenai wafatnya Ranggawarsita, merintis suatu tinjauan analitis perihal hubungan sang pujangga dan masanya. Di Malaysia misalnya atas karya dan pikiran Hamzah Fansuri? Suatu usaha pelopor yang penting, dalam bahasa Indonesia, adalah karya Kamadjaja, Zaman Edan, yang terbit di Yogya 16 tahun yang lalu. Buku setebal 196 itu agak acak-acakan memang, tapi Kamadjaja. Ia tak banyak diikuti orang lain, sayang sekali. Dan tak heran bila Ranggawarsita jadi tokoh yang kontroversial bukan karena dirinya, tapi karena tafsiran orang tentang dirinya. Ensiklopedi, Umum terbitan 1977 misalnya menyebut Ranggawarsita sebagai pengarang yang "kritis dan militan terhadap masyarakatnya." Penulis Suripan Sadi Hutomo dalam Sinar Harapan 15 Desember 1979 bahkan menimbulkan heboh dengan mengatakan bahwa Ranggawarsita mati dibunuh, karena dianggap menghasut rakyat dan membahayakan pihak keraton. Di kutub lain, tak sedikit orang yang mereduksi Ranggawarsita jadi hanya sebagai orang sakti yang pandai meramal. Bahkan banyak orang yang menganggap buku-buku Ranggawarsita mengandung jalan ke arah kesempurnaan hidup, suatu ajaran kebatinan. Dan pada umumnya orang tak ingat betul, bahwa di samping Kamadjaja, yang melihat Kalatida tidak sebagai ramalan, seorang lain telah menghantam mithos tentang Ranggawarsita. Max Havelaar Orang itu adalah Prof. Dr. Purbatjaraka. Dalam Kapustakan Djawi (1952) ahli sastra itu menyebut Ranggawarsita sebagai seorang yang sebenarnya tak tahu bahasa Kawi, dan memakai kata-kata Kawi seenaknya saja. Beberapa ceritanya tak bertolak dari kebenaran sejarah. Karyanya, Pustaka Raja, hanyalah omong kosongnya saja: menyebut buku-buku yang sebenarnya tak pernah ada. Dengan kata lain, sang pujangga bermutu palsu. Bagi banyak orang, Ranggawarsita memang sebenarnya tokoh misterius yang sering diakui penting tapi tak pernah jelas kenapa penting. Seminar pekan lalu setidaknya memulai lagi jalan ke arah penelaahan yang lebih serius. Makalah Sutadi Wiryaatmaja, misalnya, menampilkan Ranggawarsita sebagai penyair, disorot dari kaidah puisi yang umum -- tak semata-mata dari bentuk tembang Jawa. Meskipun belum kompak benar, pendekatan Sutadi bukan saja baru, tapi bisa menghubungkan Ranggawarsita dengan puisi zaman apa pun. Ranggawarsita, dengan cara itu, malah lebih bisa berbicara kepada kita -- justru bukan melalui ajaran ethisnya. Makalah I. Kuntara Wiryamartana SJ, seorang pastor muda yang mengajar di UGAMA juga penting: dengan bantuan pendekatan Theodore G. Th. Pigeaud, serangan Purbatjaraka terhadap Pustaka Raja dibantah. Ranggawarsita di sini didekati dengan penelitian filologis dan sastra banding. Pustaka Raja-nya bukanlah dimaksud untuk memberi kesan terpercaya secara historis, melainkan suatu usaha "pengukuhan kembali tradisi Jawa berhadapan dengan meluasnya pengaruh kehidupan Barat." Pastor Kuntara kemudian menyebut sejarah. Zaman Ranggawarsita memang zaman gila bagi mereka yang pernah berada di dalam ketenteraman tradisi. Wilayah dan kekuasaan raja Jawa kian dipersempit oleh Belanda. Para petani dibebani tanam paksa. Perlawanan rakyat terjadi, dengan meletusnya Perang Diponegoro (1825-1330), yang juga suatu protes terhadap masuknya adat Barat dalam bentuknya yang material ke kalangan atas. Yang sebenarnya menarik ialah bahwa sementara di zaman ini Multatuli menerbitkan Max Havelaar (1860), suatu protes yang ingin mengguyahkan kekuasaan yang di luar, Ranggawarsita menyeru ke kewaspadaan batin yang diam. Mungkin demikianlah sikap seharusnya seorang pujangga Jawa, yang hidup di bawah perlindungan keraton, yang renungannya -- seperti dalam Kalatida -- bermula dari kekecewaan pribadi. Tapi mungkin bisa dicari jawabnya kelak adakah seruan ethis itu juga pernah berhasil menggugah orang semasanya, atau hanya petuah yang sudah klise. Seminar pekan lalu belum cukup membahas adakah Ranggawarsita memang seorang pujangga yang punya sumbangan pikiran baru di zaman renaissance itu -- tiga ratus tahun setelah Fansuri, hanya tiga dasawarsa sebelum Kartini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus