PENGERANG segera ia jadi tokoh yang dipuja, ia pun berhenti
jadi penulis yang digubris. Ranggawarsita (1802-1873) adalah
contohnya. Pujangga keraton Surakarta yang banyak disebut-sebut
ini, seraya kalimatnya tentang "jaman edan" dikutip, baru pekan
lalu dicoba dibahas dalam sebuah seminar yang menyoroti beberapa
karyanya. Setelah lebih 100 tahun ia wafat.
Seminar itu sendiri sangat sederhana. Kira-kira 40 tamu plus
sejumlah mahasiswa mencoba mendengarkan para pembaca makalah
selama 17 setengah jam, dalam ruang besar Teater Fakultas Sastra
UI Rawamangun Jakarta yang muram dan akustiknya jelek. Tak
nampak pejabat universitas kecuali waktu pembukaan. Dana
kegiatan ini juga belum jelas akan ditanggung siapa, kecuali
iuran Rp 2500 dari setiap peserta.
Meskipun demikian, hasilnya lumayan. Selain dari UI di Jakarta,
sejumlah pembicara juga datang dari Universitas Gajah Mada
(Yogya), Universitas 11 Maret (Sala) dan Universitas Diponegoro
(Semarang). Memang tak semua makalah cukup bermutu. Tapi panitia
nampaknya siap bertolak dari lembeknya kegiatan penelaahan dan
penelitian di perguruan tinggi sekarang.
Lagipula, kapan sebelumnya ada penelaahan dan penelitian atas
seluruh karya Ranggawarsita secara khusus, seperti yang
dilakukan Prof. Naguib Al-Attas (sekarang nama ini dalam ejaan
baru), seperti juga tulisannya dalam Sinar Harapan 31 Desember
yang lalu mengenai wafatnya Ranggawarsita, merintis suatu
tinjauan analitis perihal hubungan sang pujangga dan masanya. Di
Malaysia misalnya atas karya dan pikiran Hamzah Fansuri? Suatu
usaha pelopor yang penting, dalam bahasa Indonesia, adalah karya
Kamadjaja, Zaman Edan, yang terbit di Yogya 16 tahun yang lalu.
Buku setebal 196 itu agak acak-acakan memang, tapi Kamadjaja.
Ia tak banyak diikuti orang lain, sayang sekali. Dan tak heran
bila Ranggawarsita jadi tokoh yang kontroversial bukan karena
dirinya, tapi karena tafsiran orang tentang dirinya.
Ensiklopedi, Umum terbitan 1977 misalnya menyebut Ranggawarsita
sebagai pengarang yang "kritis dan militan terhadap
masyarakatnya." Penulis Suripan Sadi Hutomo dalam Sinar Harapan
15 Desember 1979 bahkan menimbulkan heboh dengan mengatakan
bahwa Ranggawarsita mati dibunuh, karena dianggap menghasut
rakyat dan membahayakan pihak keraton.
Di kutub lain, tak sedikit orang yang mereduksi Ranggawarsita
jadi hanya sebagai orang sakti yang pandai meramal. Bahkan
banyak orang yang menganggap buku-buku Ranggawarsita mengandung
jalan ke arah kesempurnaan hidup, suatu ajaran kebatinan. Dan
pada umumnya orang tak ingat betul, bahwa di samping Kamadjaja,
yang melihat Kalatida tidak sebagai ramalan, seorang lain telah
menghantam mithos tentang Ranggawarsita.
Max Havelaar
Orang itu adalah Prof. Dr. Purbatjaraka. Dalam Kapustakan Djawi
(1952) ahli sastra itu menyebut Ranggawarsita sebagai seorang
yang sebenarnya tak tahu bahasa Kawi, dan memakai kata-kata Kawi
seenaknya saja. Beberapa ceritanya tak bertolak dari kebenaran
sejarah. Karyanya, Pustaka Raja, hanyalah omong kosongnya saja:
menyebut buku-buku yang sebenarnya tak pernah ada. Dengan kata
lain, sang pujangga bermutu palsu.
Bagi banyak orang, Ranggawarsita memang sebenarnya tokoh
misterius yang sering diakui penting tapi tak pernah jelas
kenapa penting. Seminar pekan lalu setidaknya memulai lagi jalan
ke arah penelaahan yang lebih serius.
Makalah Sutadi Wiryaatmaja, misalnya, menampilkan Ranggawarsita
sebagai penyair, disorot dari kaidah puisi yang umum -- tak
semata-mata dari bentuk tembang Jawa. Meskipun belum kompak
benar, pendekatan Sutadi bukan saja baru, tapi bisa
menghubungkan Ranggawarsita dengan puisi zaman apa pun.
Ranggawarsita, dengan cara itu, malah lebih bisa berbicara
kepada kita -- justru bukan melalui ajaran ethisnya.
Makalah I. Kuntara Wiryamartana SJ, seorang pastor muda yang
mengajar di UGAMA juga penting: dengan bantuan pendekatan
Theodore G. Th. Pigeaud, serangan Purbatjaraka terhadap Pustaka
Raja dibantah. Ranggawarsita di sini didekati dengan penelitian
filologis dan sastra banding. Pustaka Raja-nya bukanlah dimaksud
untuk memberi kesan terpercaya secara historis, melainkan suatu
usaha "pengukuhan kembali tradisi Jawa berhadapan dengan
meluasnya pengaruh kehidupan Barat."
Pastor Kuntara kemudian menyebut sejarah. Zaman Ranggawarsita
memang zaman gila bagi mereka yang pernah berada di dalam
ketenteraman tradisi. Wilayah dan kekuasaan raja Jawa kian
dipersempit oleh Belanda. Para petani dibebani tanam paksa.
Perlawanan rakyat terjadi, dengan meletusnya Perang Diponegoro
(1825-1330), yang juga suatu protes terhadap masuknya adat Barat
dalam bentuknya yang material ke kalangan atas.
Yang sebenarnya menarik ialah bahwa sementara di zaman ini
Multatuli menerbitkan Max Havelaar (1860), suatu protes yang
ingin mengguyahkan kekuasaan yang di luar, Ranggawarsita
menyeru ke kewaspadaan batin yang diam. Mungkin demikianlah
sikap seharusnya seorang pujangga Jawa, yang hidup di bawah
perlindungan keraton, yang renungannya -- seperti dalam Kalatida
-- bermula dari kekecewaan pribadi.
Tapi mungkin bisa dicari jawabnya kelak adakah seruan ethis itu
juga pernah berhasil menggugah orang semasanya, atau hanya
petuah yang sudah klise. Seminar pekan lalu belum cukup membahas
adakah Ranggawarsita memang seorang pujangga yang punya
sumbangan pikiran baru di zaman renaissance itu -- tiga ratus
tahun setelah Fansuri, hanya tiga dasawarsa sebelum Kartini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini