PEMBENAHAN korban gempa bumi di Bali dan Jawa Barat tak begitu
lancar. Terutama karena para korban yang memang selama ini
kurang mampu, telah kehilangan hampir semua milik mereka akibat
bencana itu.
Berbagai bantuan memang sudah diberikan. Seperti pekan lalu
Pejabat Rektor ITB Prof. Dody Tisna Amijaya telah menyerahkan
satu unit gedung SD bagi warga Desa Cikajang, Garut Jawa Barat.
Begitu pula Presiden Soeharto sudah menyanggupi membantu paku,
atap seng dan semen, sementara Mendagri Amirmachmud menambah Rp
25 juta bagi korban gempa di Bali.
Tentu semua itu belum cukup. Buktinya para korban di Karangasem
Bali, kini mengharapkan kredit ringan dengan bunga rendah dari
Bank Tabungan Negara (BTN) seperti pernah diberikan kepada para
korban di Seririt, juga di Bali, 1976 lalu.
Rencananya kredit dengan bunga 12% itu harus lunas selama 5
tahun yaitu 1982. "Tapi pengembaliannya macet. Dari Rp 8 milyar,
baru Rp 1,2 milyar yang masuk," kata SE Pohan, Pimpinan BTN
Cabang Denpasar.
Gubernur Mantra sejak semula sudah menolak permintaan warga
Karangasem itu. Tentu karena pengalaman kredit 1976 yang macet
itu. Menurut Pohan, "yang bikin macet sebenarnya bukan para
korban gempa yang kebanyakan petani, tapi ada oknum yang
memperalat mereka." Pohan enggan menyebut siapa oknum tersebut.
"Kredit gempa" seperti itu memang baru pertama kali dikenal.
Itupun menurut Direktur Operasi BTN Pusat, Sasonotomo,
"dikeluarkan atas dasar keputusan sidang kabinet." Artinya
dijamin oleh pemerintah.
Sekarang BTN sedang menjajaki kemungkinan memberi kredit serupa
untuk Jawa Barat yang 2 November lalu juga dilanda gempa. Kalau
jadi, sekitar 7.000 kk masing-masing akan menerima kredit Rp 100
ribu.
Bantuan yang sudah nyata untuk Jawa Barat antara lain juga
berasal 20 pengusaha Jakarta. Ini berkat himbauan Menteri P & K
Daoed Joesoef yang merasa tidak mampu membangun kembali sekitar
600 lebih gedung sekolah di Tasikmalaya yang hancur. Selain
berupa uang tunai Rp 60 juta dari pengurus pusat Kamar Dagang
Indonesia, juga Rp 780 juta dari pengusaha "non-pri" dalam
bentuk 12 gedung sekolah.
Upaya pemukiman korban bencana alam juga menjadi masalah di
Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Perumahan di Weri dan Loang
-- untuk korban banjir Larantuka Februari dan Juli tahun lalu --
tidak memenuhi syarat. Lantainya retak-retak sehingga dari
sela-selanya muncul rumput liar.
Belum sempat dibenahi, November 1979 calon penghuni pemukiman
itu mulai menempati rumah masing-masing. Tapi baru sehari
tinggal, pemandangan di pemukiman itu mulai tak sedap: got-got
penuh kotoran hajat manusia dan sampah.
Kabarnya perumahan di Weri tidak sesuai dengan bestek. Sehingga
ketika meninjau ke sana awal Oktober 1979 lalu, Gubernur Ben
Mboi menuding Soedjarwo, Kepala Perumnas di Weri sambil
mengancam: "Sekali lagi saya datang, semuanya harus sudah
diperbaiki, lantai, lubang kakus dan pembuangan sampah. Saya tak
mau mereka lebih menderita." Gubernur juga menuding Bupati
Larantuka, Markus Weking, karena tidak mengecek mutu bangunan.
Kepada TEMPO, Markus bilang "Mana saya lihat besteknya,
sedangkan biayanya saja saya tidak tahu. Ketika dilaporkan
bangunan rusak, saya usulkan agar diawasi Dinas PU Flores Timur.
Tapi Perumnas menolak dengan alasan sudah punya teknisi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini