Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Makam Tanpa Nama Mengungkap Kekerasan Tentara dalam Tragedi 1965 di Jawa Timur

Jawa Timur adalah basis PKI yang juga jadi lokasi tragedi 1965. Sejarawan Curtin University menulisnya dalam Makam Tanpa Nama.

20 November 2024 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Buku Makam Tanpa Nama karya Vannessa Hearman menggambarkan hubungan TNI Angkatan Darat dengan organisasi pemuda dalam pembantaian 1965 di Jawa Timur.

  • Sejarawan Curtin University, Australia, itu juga menguraikan konsolidasi kekuatan massa PKI yang lolos dari penangkapan di Blitar Selatan.

  • Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Hariyanto menyebutkan 1965-1966 merupakan periode kompleks.

PADA suatu masa, jalan-jalan di Kota Batu, Jawa Timur, dipenuhi mayat yang bergelimpangan. "Bahkan, saat warga kota membuka gerbang pagar, ada jasad tergeletak begitu saja di depannya," kata Vannessa Hearman, sejarawan Curtin University, Perth, Australia. Tumpukan jenazah dalam jumlah yang lebih besar ditemukan di sejumlah lokasi di aliran Sungai Brantas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kisah itu nyata. Berlangsung mulai akhir 1965 sampai 1968. Korbannya adalah simpatisan—juga mereka yang dituduh sebagai pendukung—Partai Komunis Indonesia (PKI). Tragedi kemanusiaan ini dikenal dengan tragedi 1965. Peristiwa ini dimulai pada Oktober 1965 di Jakarta sebagai pembalasan atas pembunuhan enam jenderal Tentara Indonesia Angkatan Darat dalam Gerakan 30 September, lalu meluas ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Sejumlah sejarawan menyebutkan jumlah korbannya tak kurang dari 500 ribu jiwa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Vannessa merekam pembantaian 1965 di daerah asalnya dalam Makam Tanpa Nama: Mati dan Bertahan Hidup di Tengah Kekerasan Antikomunis di Jawa Timur. Buku itu berawal dari disertasi doktoralnya di University of Melbourne, Australia, pada 2013, yang kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris. Versi bahasa Indonesia dirilis pada Oktober 2024.

Buku ini memotret dinamika lokal antara TNI Angkatan Darat dan Gerakan Pemuda atau GP Ansor—organisasi kepemudaan Nahdlatul Ulama. "Militer menggunakan kekuatan-kekuatan lokal dalam pembantaian," kata Vannessa dalam diskusi buku yang digelar Garda Rakyat Garuda di Pinang Ranti, Jakarta Timur, pada Sabtu, 16 November 2024.

Pangdam VIII/Brawijaya Mayjen TNI M Jasin Pangkowilu Komodor Muda Udara Suwoto Sukendar memberikan pengarahan terhadap simpatisan G30S/PKI yang tertangkap di Blitar, Jawa Timur. Buku Sejarah TNI Angkatan Udara: 1960-1969

Vannessa memulai penelitiannya pada 2007. Dia mewawancarai korban dan saksi mata serta mengolah arsip pemerintah dan militer. Dia mendapati penggodokan strategi oleh militer sehingga organisasi pemuda tersebut terlibat tindak kekerasan terhadap kaum kiri di Jawa Timur. "Itu temuan penting dalam buku saya," ujarnya.

Menurut Vannessa, tentara menanamkan kebencian dengan menyebut kaum komunis sebagai perampas lahan tak bertuhan yang memerangi para santri. Propaganda itu, dia melanjutkan, menggerakkan para pemuda menangkapi pendukung PKI. "Ini hasil pencucian otak yang terus berlanjut," kata perempuan 53 tahun asal Malang, Jawa Timur, yang sejak kecil tinggal di Australia ini.

Dari hasil wawancara dengan sejumlah pelaku pembantaian 1965, Vannessa mendapatkan gambaran kerja sama militer dan pemuda di Jawa Timur. Pemuda ditugasi mencari simpatisan PKI di lingkungan masing-masing dan menyerahkan mereka kepada tentara. Namun penelusuran pola kerja tersebut terhenti di titik ini. Para narasumber Vannessa enggan menyebutkan secara eksplisit peran tentara. Bagi dia, hal itu merupakan salah satu kesulitan penelitiannya. "Karena ada keterlibatan akar rumput," ucapnya.

Soe Tjen Marching, dosen bahasa dan kebudayaan di School of Oriental and African Studies University of London, Inggris, menyoroti masifnya jumlah korban pembantaian 1965 di Jawa Timur. Dia mengutip tulisan Vannessa yang menyebutkan 100 ribu orang dibunuh dan 70 ribu orang dipenjara. Menurut dia, angka tersebut tergolong moderat karena sejarawan lain menyebutkan korban tewas sebanyak 100-300 ribu.

Kesimpangsiuran jumlah korban, Soe Tjen melanjutkan, merupakan hal wajar. Sebab, Vannessa banyak mengandalkan informasi dari memori narasumber yang sangat mungkin keliru ketika mengingat peristiwa lebih dari empat dekade lalu. "Kenapa Vannessa tidak bisa mendapatkan angka korban versi tulisan? Karena jejak-jejak itu dihilangkan oleh Orde Baru," kata anak mantan anggota PKI ini.

Vannessa membagi tragedi 1965 di Jawa Timur dalam dua fase. Fase pertama, seperti yang diceritakan tetangga rumah neneknya di Batu, tentang banyaknya mayat yang dibiarkan terbujur di jalanan. Demonstrasi kekerasan, dia melanjutkan, ini ditempuh sebagai terapi kejut bagi masyarakat Jawa Timur yang merupakan salah satu basis PKI, yang saat itu disebut memiliki 2 juta anggota se-Indonesia. Fase ini berlangsung pada akhir 1965.

Fase kedua bergulir mulai 1966 sampai 1968, saat peran organisasi pemuda dikedepankan. Menurut Vannessa, pada periode ini, tentara menyerahkan para simpatisan PKI kepada pemuda sebagai algojo. Dari sejumlah narasumber, dia mendapati perintah tentara kepada pemuda untuk "mengamankan" para tahanan. Namun semua narasumber Vannessa enggan menjelaskan secara eksplisit tindakan mereka terhadap para tahanan itu. "Dirahasiakan oleh pelaku," ujar Vannessa. Namun hasilnya jelas. Banyak pendukung komunisme yang dieksekusi di lokasi-lokasi sunyi di pinggiran kota.

Penangkapan terhadap tokoh sisa-sisa G30S/PKI pada Operasi Trisula di Blitar Selatan, Jawa Timur. Buku Sejarah TNI Angkatan Udara: 1960-1969

Buku Makam Tanpa Nama juga mengupas babak sejarah yang jarang dibahas, yaitu bagaimana orang-orang kiri yang lolos dari penangkapan sama-sama melarikan diri ke Blitar bagian selatan—salah satu wilayah basis PKI. Sukatno Hoesni, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PKI, dan Oloan Hutapea, teoretikus PKI, termasuk di antaranya. Awalnya, kata Vannessa, mereka sekadar bersembunyi di desa-desa yang lokasinya terisolasi. Mereka masih meyakini Presiden Sukarno bisa menghentikan pembantaian.

Keyakinan itu meleset. Surat Perintah 11 Maret melucuti kekuasaan Presiden Sukarno. Berbekal secarik kertas itu, Jenderal Soeharto membubarkan PKI dan menangkapi semua simpatisannya. "Situasi menjadi makin parah," ucap Vannessa kepada Tempo lewat panggilan telepon pada Selasa, 19 November 2024.

Kaum komunis di Blitar Selatan itu pun menyusun kembali kekuatan mereka dan hendak melawan balik, baik secara politik maupun dengan senjata. Namun, Vannessa melanjutkan, upaya merebut kekuasaan dari Jenderal Soeharto gagal karena terendus tentara.

TNI Angkatan Darat pun mengerahkan sekitar 5.000 tentara ke Blitar Selatan lewat Operasi Trisula. Dalam tempo setengah bulan, TNI AD mematikan PKI di sana. Mengutip Makam Tanpa Nama, sekitar 2.000 orang terbunuh di Blitar Selatan.

Selanjutnya, mulai September 1968 sampai 1973, Orde Baru menggulirkan program rekonstruksi dan pembangunan di Blitar Selatan. Tentara digambarkan sebagai penyelamat masyarakat dari manipulasi komunisme. Namun, menurut Vannessa, warga di eks daerah basis PKI tersebut mengalami persekusi selama puluhan tahun. "Mereka terus diawasi dan haknya dibatasi," demikian tertulis di Makam Tanpa Nama halaman 263.

Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Hariyanto mengatakan 1965-1966 merupakan periode yang sangat kompleks dalam sejarah Indonesia. Sebab, muncul instabilitas politik, sosial, dan keamanan setelah Gerakan 30 September. "Saat itu berbagai elemen masyarakat, termasuk militer, bereaksi terhadap situasi yang penuh ketegangan dan ketidakpastian tersebut," katanya kepada Tempo, menjawab alasan tentara menyerang pendukung PKI.

Hariyanto mengakui TNI menggandeng organisasi kepemudaan untuk memerangi PKI. Alasannya, ada semangat yang sama untuk menjaga keutuhan negara. "Namun apa yang terjadi di lapangan sering kali berbeda dengan niat awal karena situasi yang tidak terkendali," ujarnya.

TNI menghormati penelitian sejarah seperti yang dilakukan Vannessa. Namun, Hariyanto melanjutkan, penting juga untuk melihat semua sisi secara menyeluruh, termasuk kondisi geopolitik, sosial, dan keamanan. Ia tidak menjawab pertanyaan tentang jumlah korban versi TNI. Menurut dia, setiap angka yang beredar perlu dipelajari lebih lanjut lewat kajian akademis yang komprehensif dan obyektif.

Syafiq Syauqi, Ketua Pimpinan Wilayah GP Ansor Jawa Timur periode 2019-2023, tak menjawab pertanyaan Tempo soal hubungan Ansor dengan TNI Angkatan Darat dalam tragedi 1965. Dia meminta daftar pertanyaan secara tertulis. "Supaya jawabannya by data. Kalau cerita dari mulut ke mulut banyak," ucapnya lewat sambungan telepon, Selasa, 19 November 2024. Hingga artikel ini ditulis, Syafiq tak kunjung memberikan jawaban.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus