Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS mendesak anggota DPR/DPD/MPR-RI periode 2024-2029 untuk segera menuntaskan undang-undang yang sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasalnya, KontraS mencatat, parlemen periode sebelumnya telah mengesahkan beberapa undang-undang yang dianggap tidak pro kepentingan rakyat, seperti Revisi UU KPK, UU Cipta Kerja (Omnibus Law), KUHP Baru hingga UU Kesehatan (Omnibus Kesehatan).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator Badan Pekerja KontraS, Dimas Bagus Arya, mengatakan parlemen periode 2019-2024 telah membuat regulasi-regulasi secara instan yang tak memperlihatkan keberpihakan pada kepentingan publik.
“Parlemen dapat ‘secepat kilat’ membahas dan mengesahkan RUU yang ‘diinginkan’ pemerintah seperti UU KPK dan UU Cipta Kerja,” kata Dimas dalam keterangan pers, dikutip Jumat, 4 Oktober 2024. “Namun sangat lamban untuk membahas dan mengesahkan RUU yang menunjukkan keberpihakan pada kelompok minoritas dan masyarakat rentan.”
Menurut Dimas, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak mampu menjadi mitra kritis pemerintah dan memperjuangkan kepentingan rakyat. “Terbukti banyak RUU inisiatif pemerintah yang dengan mulus disahkan walau terdapat banyak kritik yang diajukan oleh berbagai kelompok masyarakat sipil,” tuturnya.
Dimas juga menyoroti wacana revisi UU TNI, UU Polri dan UU Pilkada yang dilemparkan DPR pada akhir masa jabatannya. Menurutnya, semua undang-undang tersebut berisi pasal-pasal yang menyalahi prinsip demokrasi dan HAM. Pembahasannya pun dinilai terburu-buru dan tanpa partisipasi publik.
Ia meminta RUU yang dianggap bermasalah, seperti RUU Polri, RUU TNI, RUU Penyiaran dan RUU Mahkamah Konstitusi, untuk ditolak. Sebab, Dimas menuturkan, rancangan undang-undang tersebut disusun secara tertutup, terburu-buru, dan jauh dari kepentingan publik. “Anggota parlemen perlu ingat bahwa mandat yang mereka emban adalah untuk melindungi hak-hak masyarakat, bukan untuk melayani kepentingan elite politik dan korporasi,” jelasnya.
“Pada sisi lain, MPR-RI periode 2019-2024 juga melakukan manuver dengan menghapus nama Soeharto dari TAP/MPR yang menyatakan keterlibatan Soeharto dalam Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,” kata Dimas.
KontraS menilai hal ini sebagai pengkhianatan terhadap refromasi, khususnya terhadap para korban yang gugur dalam memperjuangkan reformasi dan menuntut turunnya Soeharto. “Parlemen seakan ‘mendukung’ gejala otoritarianisme dan kembalinya Orde Baru,” tuturnya.
KontraS meminta anggota-anggota parlemen yang baru untuk menunjukkan keberpihakannya pada kepentingan publik secara tegas dan tanpa kompromi. “Mereka tidak boleh lagi menjadi lembaga yang hanya mengikuti kehendak pemerintah, terutama ketika kebijakan yang diusulkan jelas-jelas merugikan masyarakat,” ujar Dimas. Sikap kritis, kata dia, harus menjadi dasar dalam menjalankan fungsi legislatif, dengan keberanian untuk menolak kebijakan yang tidak pro-rakyat.
“Sudah terlalu lama parlemen dianggap sebagai lembaga yang pasif, hanya bertindak sebagai 'stempel' pemerintah tanpa refleksi kritis terhadap dampak kebijakan yang mereka sahkan,” kata Koordinator KontraS itu.
Selain itu, KontraS juga meminta parlemen untuk segera menuntaskan pembahasan maupun pengesahan sejumlah undang-undang yang sudah lama mandek, seperti Ratifikasi ICPPED (International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance) atau Konvensi Internasional untuk Perlindungan Bagi Semua Orang dari Penghilangan Paksa, RUU Masyarakat Adat, dan RUU Perlindungan PRT.
“Keterlambatan dalam pengesahan undang-undang ini adalah bukti nyata kegagalan DPR dalam menjalankan tugas utamanya,” tutur Dimas. Hal ini, menurutnya, tak bisa terus dibiarkan, terutama dalam konteks perlindungan HAM dan kesejahteraan kelompok-kelompok yang rentan.
Sebagai lembaga legislatif, kata Dimas, parlemen memiliki tanggung jawab untuk merancang legislasi pro-HAM dan menghentikan praktik perancangan undang-undang yang hanya memperkuat ketimpangan dan ketidakadilan dalam masyarakat.