Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah generasi mengenal Gito Rollies sebagai seorang rocker bersuara serak. Dia akan menggeliat sesuai keinginan tubuh dengan syal panjang yang melilit lehernya (hingga ada istilah mode yang disebut ”syal Gito Rollies” ). Generasi lain lebih mengenalnya sebagai ”si konglomerat buku bekas”, lawan main Nicholas Saputra dan Dian Sastrowardoyo dalam film Ada Apa dengan Cinta? karya Rudi Soedjarwo.
Perannya dalam film inilah yang merupakan ”kebangkitan” Gito Rollies di depan pemirsanya, setelah puluhan tahun tenggelam dalam narkoba. Sutradara Joko Anwar, yang mengajak Gito bermain dalam Janji Joni (2005), memiliki kesan mendalam. ”Setelah melihat peran Bang Gito dalam Ada Apa dengan Cinta?, saya menulis peran khusus untuk dia di film saya,” ujar Joko. Pengamatannya tak keliru. Lewat peran Pak Ucok, lelaki paruh baya yang berprofesi sebagai pemutar film di sebuah gedung bioskop, Gito meraih Citra pertamanya sebagai pemeran pembantu pria terbaik Festival Film Indonesia 2005.
”Generasi Janji Joni” ini mungkin cuma mengingatnya sebagai si Ucok atau, ya, konglomerat buku bekas itu. Padahal Bangun Sugito, demikian nama lengkapnya, bermain di 11 film layar lebar sejak 1973, termasuk adu akting dengan aktris Jenny Rahman dalam Perempuan tanpa Dosa (1978). Namun industri musiklah yang melambungkan namanya di pentas hiburan nasional lewat kelompok The Rollies, yang didirikan kuartet Deddy Stanzah (bas, vokal), Teuku Zulian Iskandar Madian (gitar, saksofon), Delly Djoko Alipin (keyboard, vokal), dan Iwan Krisnawan (drum) pada 1966.
Setahun kemudian, Gito bergabung. Saat itu pamornya sebagai bad boy sudah tersebar ke seantero Bandung karena aksi nekatnya naik motor dalam keadaan bugil—sebetulnya akibat ”nazar main-main” karena tak yakin lulus SMA. Eh, ternyata dia lulus dan malah sempat mengecap pendidikan di Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung selama dua semester.
Lantaran tawaran Deddy, Gito melupakan kuliah dan terjun sepenuhnya dalam musik. ”Waktu itu Gito sering membawakan lagu-lagu Tom Jones, Engelbert Humperdinck, dan sejenisnya. Tapi saya langsung meminta dia membawakan lagu-lagu James Brown. Ternyata memang cocok,” kata Deddy Stanzah, seperti dikutip buku Musisiku (Penerbit Republika, 2007), yang disunting pengamat musik Denny Sakrie.
Kemiripan suara Gito dengan James Brown membuat perusahaan rekaman Philips yang bermarkas di Singapura tertarik mengontrak The Rollies. Hasilnya adalah album The Rollies (1968), yang menampilkan suara serak Gito dalam tiga lagu Brown, It’s a Man’s Man’s Man’s World, Cold Sweat, dan nomor legendaris I Feel Good.
Begitu suksesnya album debutan itu hingga The Rollies lebih sering diminta menggelar konser di Singapura dan Bangkok membawakan lagu-lagu kelompok Chicago, Blood Sweat and Tears, atau Tower of Power. Kala itu pilihan musik The Rollies, yang dipenuhi aransemen musik tiup, memang terdengar ”ajaib” dibandingkan dengan dominasi musik ala Koes Plus atau nuansa melayu ”tiga jurus” yang dipopulerkan Panbers atau D’Lloyd.
Bersama The Rollies, Gito menghasilkan 18 album. Namun karisma Gito melebihi band yang membesarkannya. Ia juga menghasilkan 15 album solo, tiga album duet (masing-masing dua kali dengan Deddy Stanzah dan Achmad Albar, sekali dengan Farid Hardja), serta satu album trio (dengan nama AGE, akronim dari Achmad Albar, Gito Rollies, dan Eet Syahranie). Daftar ini akan lebih panjang jika kiprahnya di pelbagai album kompilasi atau soundtrack film ditambahkan. ”Totalitas Gito di musik memang luar biasa,” ujar Jimmy Manoppo—drummer Rollies pengganti Iwan Krisnawan, yang wafat pada 1974.
Olah tubuhnya yang sangat bergairah di atas panggung membuat wartawan-promotor musik kawakan Denny Sabri membuat lagu berjudul Do the Gito Dance, yang sempat populer pada pertengahan 1970-an. Seperti banyak rocker yang berada di puncak ketenaran, Gito identik dengan obat-obatan dan minuman keras.
Namun, dalam wawancara terakhirnya dengan majalah ini, Gito menggaungkan kembali janji pertobatannya. ”Dulu tuhan saya popularitas, nabi saya para rocker luar negeri,” katanya. ”Tapi sekarang saya hanya ingin mengajak orang berbuat baik. Materinya dari pengalaman hidup saya sendiri, bukan dari kitab suci.”
Jumat siang pekan lalu, ribuan orang mengantar Gito ke pemakaman umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Bersama istrinya, Michelle, dan empat anaknya, rocker yang terlahir dengan nama Bangun Sugito Tukiman itu akhirnya ke rumah peristirahatannya yang kekal setelah digerogoti kanker kelenjar getah bening. Gito akan melakukan ”the Gito Dance” di langit sana.
Akmal Nasery Basral
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo