Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme Penulis: Zuhairi Misrawi Pengantar: K.H. Abdurrahman Wahid dan Prof Dr Syafii Ma’arif Penerbit: Fitrah, Jakarta, Desember 2007 Tebal: xxxiii + 526 hal
Setidaknya ada Jack Nelson-Pallmayer, penulis buku Is Religion Killing Us? Violence in the Bible and the Qur’an (2003), yang pesimistis pada pesan damai agama. ”Setiap teks ‘suci’ itu didominasi tradisi kekerasan Tuhan,” katanya setelah meneliti dua kitab suci, Bibel dan Quran.
Tradisi kekerasan agama bukan saja muncul dari distorsi pemahaman, tetapi juga tradisi ”kekerasan Tuhan”. Kesakralan Tuhan—gambaran Tuhan sebagai penghukum, penganiaya, pembalas dendam, dan sewenang-wenang— merupakan sumber kekerasan umat beragama. Nelson-Pallmayer ingin menunjukkan, kekerasan Tuhan dipakai sebagai legitimasi paling sakral bagi kekerasan dan terorisme. Itulah alat utama penegak keadilan, disamarkan dalam bentuk pembebasan, dan mengajak ke pertobatan. Maka, seolah-olah penggunaan ancaman Ilahi terhadap perilaku manusia adalah bersifat wajib dan niscaya.
Pesimisme seperti ini muncul dari waham penuh syak-wasangka, warisan pengetahuan orientalisme klasik. Dalam membantah pemahaman itu, setidaknya dari sudut pandang Islam, buku Al-Quran Kitab Toleransi ini sangat tepat. Argumentasinya tidak dibangun secara defensif dan apologetik, tetapi melalui penafsiran konstruktif. Toleransi, misalnya, adalah suatu yang intrinsik bagi ajaran agama samawi, dan karena itu bukan barang baru. Tapi buku itu ingin menegaskan satu tema khusus, yang tadinya berserakan dalam ayat-ayat kitab suci: sebuah kaca mata toleransi.
Tafsir ”khusus” model ini belum begitu banyak. Meski dia hanya mengajukan satu paradigma berpretensi mewakili keseluruhan, alias sebangun dengan logika pars prototo.
Setidaknya ada dua hal penting yang diusung buku ini. Pertama, kritik atas pesimisme ala Nelson-Pallmayer. Studi skriptural model Nelson-Pallmayer itu bermuara pada alur sempit. Bukannya menonjolkan kearifan, justru memunculkan stigma kelewatan atas kitab suci. Maka, penekanan toleransi sebagai bagian paling intrinsik harus dilakukan, guna membangun paradigma baru.
Kedua, ini sebuah otokritik keber-agamaan. Terorisme dan radikalisme adalah bukti bahwa pemahaman yang fatal hanya memunculkan semangat beragama meluap-luap. Kalangan ini, dan juga kaum fundamentalistik, hanya mendaki tahap beriman defensif. Klaim kebenaran dan keselamatan selalu berujung eksklusif. Maka, paradigma toleransi menjadi kekuatan psikologis-epistemologis, yang akan membekukan nalar fundamentalistik. Bahkan buku ini tepat dijadikan kritik bagi fenomena bibliolatrik, yang memperlakukan kitab suci sesakral menyembah Tuhan, dengan pemahaman yang tidak utuh.
Teologi kekerasan hendaknya dilihat sebagai sesuatu yang negatif. Daya rusaknya begitu akut. Padahal Islam mengajarkan mengamalkan agama yang berserah diri dan toleran. Nabi Muhammad bersabda, ”Agama yang lain dicintai Allah adalah ajaran yang lurus-toleran (al-hanifiyya al-samha).” Islam menghargai upaya membangun toleransi, baik dalam pengertian inklusivisme, pluralisme, maupun multikulturalisme. Paradigma mutakhir itu, yang mengakui kemajemukan sebagai rahmat, sudah terdapat dalam Quran.
Namun buku ini masih samar-samar menggali paradigma konseptual itu. Tapi, sebagai upaya hermeneutis, buku ini cukup dalam menggali tradisi. Inilah buku yang, meminjam kata filsuf Suriah-Libanon Adonis, istihdas al-salafi (modernisasi tradisi klasik), dan merupakan dekonstruksi bagi teologi kekerasan, suatu metode neo-modernisme yang kini kian ngetrend.
Sayangnya, buku ini hanya mengutip ayat-ayat terang-benderang mengandung benih toleransi. Lalu bagaimana ayat-ayat litterlijk, tidak pluralis?
Padahal, semuanya bisa ditafsirkan secara holistik, jika metodenya ditelisik secara linguistik-semantik. Katakanlah metode interpretasi kritis Paul Ricoeur, yang melakukan kritik ideologi dan dekonstruksi membongkar hubungan kebenaran-pengetahuan-kekuasaan (Haryatmoko, 2006). Saat produksi kebenaran agama dilakukan lewat kuasa-pengetahuan yang amat percaya pada teks kekerasan, penafsiran alternatif lalu menjadi niscaya. Maka, toleransi dapat dipahami sebagai refleksi kritis, sehingga agama bisa ditafsirkan dan diamalkan dengan langgam sebenarnya sesuai dengan laras Qurani: damai dan toleran.
Zacky Khairul Umam, jebolan Pondok Pesantren Assalafiyah, Luwungragi, Brebes
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo