Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sang Juragan Teh
Penulis:Hella S. Haase
Penerjemah:Indira Ismail
Penerbit:Gramedia Pustaka Utama
Cetak:2015
Tebal:440 halaman ISBN:978-603-03-2342-8
Hella S. Haase menerangkan bahwaSang Juragan Tehadalah roman namun bukan "fiksi". Ia menulis berdasarkan surat-surat dan dokumen-dokumen dari Arsip Perkebunan Teh dan Keluarga Besar Hindia. Pembaca mungkin bakal tergoda untuk menuruti atau membantah pengakuan si penulis. Penempatan keterangan di halaman belakang mungkin dianggap pantas agar tak terlalu "mengganggu" penasaran dan kenikmatan pembaca. Sejak halaman-halaman awal, pembaca sudah digoda nama-nama tenar dalam sejarah kolonialisme di Indonesia: FK Holle, Moehamad Moesa, Douwes Dekker, Deandels, Kartawinata, dan K.A.R. Bosccha.
Para pembaca buku-buku sejarah mungkin lekas menata pengetahuan tentang abad XIX dan XX. Sejarah perkebunan teh, literasi Sunda, pembukaan jalur kereta api, letusan Gunung Krakatau, dan industri kina jadi "penentu" kelihaian Hella dalam bercerita dan memberi penjelasan.Sang Juragan Tehmirip buku antologi sejarah, tak melulu cerita. Hella tak terlalu memanjakan imajinasi. Keterhubungan tokoh-tokoh dalam roman dengan para pelaku sejarah di Priangan dan Batavia memungkinkan pembaca sadar sedang membaca petilan-petilan sejarah. Pembukaan sejarah memang tak serempak tapi terasa cepat menghampiri pembaca. Tempo singkat sudah mendatangkan tokoh-tokoh penting, sebelum pembaca sempat merenung atau mengundang bibliografi sejarah.
Ceritanya, Rudolf Eduard Kerkhoven memutuskan meninggalkan Belanda menuju Jawa dengan keberlimpahan impian. Ia ingin jadi juragan teh, meniru pekerjaan si bapak, Rudolf Albert Kerkhoven. Keilmuan dan tekad sudah pasti. Selama berada di kapal, ombak-ombak imajinasi tentang koloni Belanda semakin memberi gairah capaian derajat sebagai juragan teh.
Di Priangan, impian tak lekas terwujud. Rudolf mesti berjumpa orang-orang dan menggumuli cerita-cerita. Tokoh Rudolf disituasikan lekas terhubung ke pelaku sejarah melalui jalur kerabat, politik, bisnis, dan bacaan. Di Jawa, susunan sejarah mirip segelas teh panas, dihidangkan saat pagi masih berembun dan gigil belum rampung. Rudolf datang sebagai peminum teh bersejarah, berlanjut menjadi si juragan teh.
Detik-detik sebelum Rudolf naik kapal berangkat ke Jawa, 28 Maret 1871, si paman di Duin en Berg (Belanda) berbagi cerita dan informasi. Rudolf mendengar bahwa kaum parlemen Belanda mulai terangsang ide-ide liberal bereferensi ke Douwes Dekker. Si paman berkata: "Mereka mendapat ide dari Douwes Dekker sepupu ipar kita, menulis banyak buku dan sekarang menamakan diri Multatuli. Padahal, kau harus tahu, pandangan laki-laki itu sama sekali tidak liberal." Pembaca sempat memperoleh kalimat-kalimat cemooh si paman mengenai Multatuli. Ia menuduh Multatuli tukang berkhayal. Serangan tajam:
Pembaca belum sempat memiliki jeda memikirkan Multatuli dan perjalanan nasib Rudolf sebagai juragan teh di Jawa, informasi tokoh lain segera muncul. Tokoh itu bernama Karel Holle, ditampilkan dalam perbandingan dengan Multatuli. Siapa Karel Holle? Ia juragan, memiliki empati terhadap pribumi melalui pendidikan dan penerbitan buku. Karel Holle penggerak penerbitan buku-buku berbahasa Sunda, persembahan literasi di negeri jajahan. Buku-buku dongeng, pelajaran, dan pertanian diterbitkan demi kemajuan.
Ia bekerja sama dengan Moehamad Moesa, tokoh agama dan literasi. Moesa jadi pendakwah, penerjemah, dan penjelas pelbagai agenda perubahan di tanah jajahan. Dua orang itu berhasil menerbitkan buku-buku penting sebagai buku sekolah dan bacaan umum (Mikihiro Moriyama,Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19, 2005).
Karel Holle bakal memiliki hubungan erat selama Rudolf memutuskan jadi juragan teh. Orang-orang memiliki penghormatan kepada Karel Holle, tak cuma sebagai orang berlimpah harta tapi juga "pemihak" atas hak-hak dan nasib kaum pribumi dalam pendidikan, adab, dan kesusastraan.
Penjelasan ketokohan Karel Holle disampaikan si paman. Bahwa Karel itu sang dermawan. Dan, Rudolf membuktikannya selama bekerja keras mengelola perkebunan teh. Sekian persoalan berat dalam persaingan bisnis dan kebijakan politik sempat dimintakan nasihat kepada Karel Holle. Derajat intelektualitas dan kultural Karel Holle diceritakan Rudolf saat mengunjungi kantor dan kamar kerja di Waspada: " ruangan berantakan yang penuh lemari-lemari buku dengan isi tumpah ruah, meja-meja yang dipenuhi tumpukan tinggi kertas, dan di lantai terdapat bekas reruntuhan pilar, mata sempat menangkap sisa-sisa inskripsi dalam tulisan Jawa kuno."
Rudolf, si juragan teh, menunaikan impian dan tugas-tugas besar selama mengelola perkebunan teh di Gambung. Perjumpaan dengan para tokoh penting dan pemerolehan pelbagai cerita memungkinkan dirinya insaf atas kedudukan sosial. Dia berambisi jadi juragan tenar, juru bicara dari keluarga besar Kerkhoven. Ia bukan pemain pertama tapi berhak menjadi paling bermartabat, setelah usaha Kerkhoven dimulai di Arjasari, 1869.
Rudolf ingin membesarkan Arjasari tapi ditolak oleh si bapak. Sikap itu membuat Rudolf agak mendendam. Selama empat tahun, Rudolf mempelajari cara pengelolaan perkebunan teh dan bisnis. Pada 1873, ia mulai membuka perkebunan di Gambung, memenuhi janji menjadi juragan teh. Rudolf berhasil hidup berkecukupan. Dia pun memiliki keluarga harmonis meski ironis di detik-detik terakhir.
Hella mengundang pembaca untuk menempuhi lagi jalan sejarah.Sang Juragan Tehtak melulu merupakan tebaran imajinasi tapi juga berkelimpahan informasi. Sumbernya adalah arsip keluarga dan dokumen sejarah. Rudolf dijadikan tokoh utama yang berperan sebagai pengantar pembaca bertemu dengan tokoh-tokoh penting dalam sejarah kolonialisme. Pada dasarnya, Hella telah menyuguhkan "segelas sejarah yang masih hangat" kepada pembaca.
Dan tugas pembaca? Adalah "me-minum-nya" sambil menikmati senja saat hujan, mengandaikan sedang berada di Gambung bertemu dengan Rudolf sekeluarga berlatar abad XIX dan XX. Begitu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo