Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hayya ’ala as-shalah
Hayya ’ala al-falah
AZAN tiba-tiba menyeruak dari panggung yang dikiaskan sebagai gurun pasir bergumuk. Seluruh lantai auditorium gedung pertunjukan Esplanade, Singapura, dihampari terpal oranye. Warna merah menjadi backdrop. Tiga batang kayu ranggas menjadi properti set satu-satunya, mengingatkan orang akan pohon kering pada pementasan Waiting for Godot. Di situlah aktor Palestina, Makram J. Khoury, memainkan Tierno Bokar.
Tierno Bokar (1875-1939) adalah seorang sufi dari Kota Bandiagara, Mali, Afrika Barat. Kisah hidupnya menjadi karya terbaru Peter Brook dan Teater Bouffes du Nord, Prancis. Skenario Brook diangkat dari buku seorang diplomat dan penulis Mali bernama Amadou Hampate: Life and Teaching of Tierno Bokar. Amadou tak lain adalah murid Bokar.
Di Indonesia nama Tierno Bokar mungkin sama sekali tak pernah terdengar. Ia penganut mazhab Tijaniyah. ”Dia pengusung toleransi. Dia antikekerasan,” tulis Brook dalam buku program. Mula-mula di panggung muncul semacam pengisah atau narator yang diperankan seorang aktor Afrika bertubuh tinggi besar bernama Habib Dembele. Sambil memilin tasbih, ia mengawali kalimat pertamanya: ”Di manik-manik ini banyak tersimpan kenangan. Pembunuhan… pembantaian....”
Ia lalu menjadi bagian dari enam aktor laki-laki asal Afrika, Palestina, dan Eropa yang muncul dan berganti-ganti peran, mulai menjadi pengikut Bokar yang mengenakan baju tunik, menjadi petugas pemerintah Prancis yang menangkap Bokar, sampai menjadi istri-istri pengikut Bokar.
Pokok persoalan yang diketengah-kan adalah konflik berdarah di Afrika pada 1930-an. Konflik ini bermula dari perbedaan paham di antara kelompok pengikut mazhab Tijaniyah tentang berapa jumlah rakaat dalam sebuah salat sunah, apakah 11 rakaat atau 12 rakaat. Pertikaian ini dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial Prancis untuk memenjarakan dan mengeksekusi jemaah. Bokar berusaha mendinginkan konflik.
Brook menampilkan adegan bagaimana Bokar berusaha menengahi tapi dikucilkan dan tidak diperkenankan mengadakan pengajian oleh klannya. Bagaimana ia ditangkap pemerintah Prancis dan diinterogasi: ”Apa itu Tuhanmu,” bentak seorang petugas Prancis. Sosok Bokar dilukiskan Brook tak kolot. Dalam sebuah adegan ditampilkan debat Bokar dengan ulama lain perihal waktu subuh. Bokar menggunakan patokan jam. ”Dia menggunakan alat buatan Kristen,” lawannya menuduh.
Penampilan Makram J. Khoury yang kalem dan teduh cocok menggambarkan daya tahan Bokar menjalani penderitaan. Saat Makram duduk memberikan wejangan kepada pengikutnya, mengorek-ngorek tanah sembari berbicara tentang Al-Halaj, parabel ular, hyena, dan kupu-kupu, ia terlihat memang seorang yang menjalani kehidupan tasawuf.
Kita melihat pertunjukan sangat minimalis dan berjalan lamban, kontemplatif. Brook seolah kembali pada konsep terkenalnya: empty space. Bahwa peristiwa teater sudah bisa terjadi bila hanya seorang dengan intensitas yang kuat melintas di sebuah ruang kosong. Ia membiarkan panggungnya banyak terbuka. Lantai yang beterpal oranye itu bergantian menjadi imaji gurun pasir, kuburan, sekaligus interior masjid.
Brook bisa dibilang salah satu legenda hidup teater. Ia teaterwan, pelopor pertunjukan avant-garde. Ia terlatih mementaskan karya-karya Shakespeare, dan pernah menjadi sutradara Royal Shakespeare Company London. Brook terkenal dengan pandangannya bahwa dalam naskah-naskah Shakespeare termuat kemungkinan (terutama adegan fairy tale) yang bisa dimainkan dengan baik justru oleh aktor-aktor dari teater tradisional Asia yang masih memiliki hubungan kuat dengan dunia gaib, seperti aktor-aktor Noh dari Jepang.
Ia kemudian tersohor melakukan eksplorasi pementasan interkultural. Ia menjelajahi Iran sampai India. Dari perjalanannya itu ia memiliki keyakinan bahwa teater adalah tempat pertemuan antara dunia sehari-hari dan dunia imagery. Salah satu pentasnya yang banyak mengundang polemik adalah Mahabharata (1985). Pentas ini memiliki persiapan yang panjang. Brook mengajak penata kostum, aktor, dan musisinya melakukan riset mempelajari India selama lebih-kurang empat tahun.
Musisi yang mengiringi pertunjukan pentas tentang Tierno Bokar di Singapura adalah komponis asal Jepang, Toshi Tsuchitori. Dialah musisi yang dulu menggarap musik Mahabharata. Maka tak mengherankan jika dalam pementasan malam itu di Esplanade, Toshi seorang diri mampu memainkan sitar sampai tabla dengan tenang, jernih, dan meditatif.
Brook juga dikenal sangat terpengaruh ajaran Gurdjieff, seorang mistikus pengelana keturunan Armenia yang mengajarkan bahwa manusia dapat meningkatkan kesadarannya ke taraf yang lebih tinggi. Evolusi fisik, menurut Gurdjieff, telah selesai, tapi belum evolusi pikiran. Brook membuat film tentang Gurdjieff berjudul Meetings with Remarkable Men (1979). Visi Brook tentang realitas rohani banyak berdasarkan cara pandang Gurdjieff.
Ketertarikan Brook pada Afrika bukan sesuatu yang instan. Pada 1972, setelah melakukan perjalanan ke Persepolis, Iran, ia berangkat ke Afrika membawa aktor, musisi, dan penulis. Dalam esai-esai dan otobiografinya ia selalu menyebut perjalanan ke Afrika itu sebagai perjalanan yang memukau. Di satu desa terpencil di Afrika, ia melihat penduduk memainkan drama tradisional yang ceritanya mirip cerita Yunani klasik: Oedipus. ”Itulah pertunjukan Oedipus terbaik yang pernah saya lihat,” katanya. Ia melihat imajinasi sangat berperan dalam kehidupan Afrika. ”Antara dunia terlihat dan tak terlihat berdampingan satu sama lain.”
Sepulang dari Afrika itulah dia mementaskan Musyawarah Burung-burung (The Conference of the Birds) karya penulis sufistik Fariduddin Attar. Di repertoar itu ia banyak menggunakan unsur topeng dari Bali yang diperkenalkan aktor asal Indonesia: I Gde Tapa Sudana.
Pentas berjudul 11/12 di Singapura itu mungkin bukan pentas Brook yang terbaik. Tidak ada adegan-adegan yang mengejutkan dan menggedor secara visual. Strategi dramaturgi—aktor berganti-ganti peran dan lokasi secara imajinatif berpindah-pindah—bukanlah hal yang aneh bagi teater tradisional dan modern kita. Drama yang main di Sydney pada 4-13 Juni ini juga terlalu lembut bila Brook hendak menyuarakan kritiknya terhadap problem fundamentalisme Islam dan terorisme sekarang ini.
Usia Brook kini 85 tahun. Di usianya yang senja itu, ia agaknya terpukau oleh kata-kata Bokar: There are three truths: my truth, your truth, and the truth. My truth, just like your truth, is no more than a fraction of the truth....
Seno Joko Suyono (Singapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo