Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"SUARA apa itu?"... Bagaimana jika mereka bangun?”
Wajah Lady Macbeth menunjukkan ekspresi ketakutan. Ia dikejar-kejar arwah-arwah gentayangan. Ia dihantui wajah-wajah orang mati. Suara menyayat, racauan, mengelilinginya. Rambutnya awut-awutan. Gaun putih Koreanya seolah koyak-moyak. Tabib istana tak kuasa menyembuhkannya. Tabib istana sendiri larut dalam kegilaan.
Inilah tafsir Teater Moollee Korea Selatan atas naskah Shakespeare, Macbeth, yang juga dipentaskan di Singapore Arts Festival. Kita tahu, dalam naskah Macbeth, Lady Macbeth membujuk suaminya, Jenderal Macbeth, membunuh Raja Skotlandia, Duncan. Ia memiliki ambisi kekuasaan. Macbeth adalah tragedi yang melibatkan puluhan karakter. Namun sutradara wanita Korea, Tae-sook Han, memfokuskan diri pada psikologi Nyonya Macbeth yang merasa diburu roh-roh berdarah.
Cara pemanggungan Teater Moollee menarik. Para penonton tak masuk melalui pintu Esplanade sebenarnya. Penonton dibawa petugas melingkar ke panggung belakang. Di situ telah ada tempat duduk berbentuk arena. Dan di tengahnya terhampar set persegi panjang yang memiliki sisi agak miring. ”Wah, kita di atas panggung,” kata Lin Hwai Min, koreografer kenamaan Taiwan yang berada di deretan penonton, setengah kaget. Dua hari sebelumnya, bersama kelompok Cloud Gate Dance Theater, ia mementaskan repertoar Wind Shadow di gedung yang sama dengan efek visual dahsyat buatan perupa Cai Guo Qiang, tapi penonton sebagaimana umumnya tetap duduk di tempat konvensional.
Sutradara Tae-sook Han menggunakan elemen shaman (perdukunan) Korea. Suara burung hantu, gumaman dari kejauhan, musik tambur Korea, kor yang memanggil-manggil Macbeth. Seluruh adegan dalam bahasa Korea. Ada papan terjemahan bahasa Inggris di sisi kanan-kiri yang tak mengganggu pertunjukan. Joe Hee-soo, aktris Korea pemeran Lady Macbeth, mampu bermain seolah kerasukan iblis yang tak bisa diusir tabib (dimainkan aktor Dong Hwan-chung).
Dan kita melihat set ternyata mengandung unsur air. Secara histeris, di situ Lady Macbeth membenamkan diri, berusaha membersihkan noda darah yang tak hilang-hilang di tubuhnya. Bagian yang paling mencekam adalah tatkala roh-roh orang yang terbunuh seolah menyetubuhi Lady Macbeth. Para pemain musik yang berpakaian hitam melompat dan melemparkan lempung ke layar. Lempung berjatuhan, bekas-bekas tempelannya membentuk gambar sketsa kerangka manusia.
”Pembunuh! Pembunuh!”
Suara-suara menekan. Lady Macbeth menghunus pisau. Ia seolah melawan roh-roh yang menghampirinya. Tapi pisau jatuh dan tertancap di panggung. Tiba-tiba dari langit-langit turun kepala raksasa dari lempung cokelat. Kepala itu menampilkan wajah orang sekarat. Kepala itu berayun-ayun sendiri. Para musisi meloncat sekali lagi, mencuil, menggurat-gurat wajah itu, membuat wajah itu makin tampak kesakitan.
”Apakah yang aku lihat benar-benar eksis,” teriak Lady Macbeth.
Lalu sesuatu yang aneh terjadi. Seorang pemain musik menyaru wanita menggeliat-geliat, memamerkan pantatnya. Lady Macbeth tertawa. Tapi, ketika penari itu berbalik dan terlihat penisnya menonjol, Lady Macbeth menjerit parau. Ia meronta-ronta. Sang tabib membekapnya, berusaha menahannya, mencekik lehernya. Sang tabib gagal. ”Mengapa aku tak bisa menyatakan amin,” teriak sang tabib.
Sebuah layar kemudian menampilkan rekaman sosok Joe Hee-soo melintas. Lady Macbeth seolah melihat dirinya sendiri. Ia dengan pucat merangkak, menghampiri penonton. Pada saat bersaman para pemain musik melempari wajah yang tergantung dengan bubuk putih. Hantaman-hantaman kapur membuat wajah itu rontok. ”Bedak putih simbol purifikasi untuk mengusir kekuatan jahat,” kata Te Sup- lee, penata panggung.
Klimaks drama sangat mengejutkan. Tiba-tiba tirai terbuka. Penonton menyaksikan tempat duduk asli yang demikian luas dan lengang. Sebuah titian panjang tampak membelah kursi-kursi. Sangat sunyi.
Sensasi ruang terjadi. Sekitar 300 orang menatap 2.000 kursi kosong yang seharusnya menjadi tempat duduk mereka. Di titian itu Joe Hee-soo sebagai Lady Macbeth terseok-seok melangkah. Ia seolah pergi ke suatu dunia gaib. Ia menoleh ke penonton, sebelum meninggalkan dunia fana. Pertunjukan ini jauh lebih menggetarkan daripada pertunjukan Peter Brook.
Seno Joko Suyono (Singapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo