Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Seorang Tamu Istimewa

Kisah keluarga hangat yang menerima calon menantu yang kaku. Problematika klasik keluarga disampaikan dalam cerita segar dan menghibur.

27 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

The Family Stone Sutradara & skenario: Thomas Bezucha Pemain: Sarah Jessica Parker, Dermot Mulroney, Claire Danes, Diane Keaton, Luke Wilson

Sebuah keluarga kelas mene-ngah Amerika. Ibu yang hangat, penuh cinta, namun perlahan digerogoti kanker. Seorang ayah yang sabar dan protektif. Seorang putri sulung yang selalu ditinggal suami yang bertugas sebagai anggota angkatan bersenjata. Seorang putra lelaki yang bohemian, santai, dan mudah meluluhkan wanita. Seorang adik lelaki gay dan tunagrahita yang memiliki partner seorang Afro-Amerika. Seorang adik lelaki lain lagi yang bekerja di kota besar dan berencana membawa sang kekasih ke tengah keluarga. Seorang putri bungsu yang manja dan menjadi perhatian keluar-ga. Lalu, film dimulai dengan si bungsu Amy (Rachel McAdams) yang ngerumpi soal pacar abangnya, Mere-dith Morton (Sarah Jessica Parker), yang baru mau menyambangi kediam-an mereka. Sang abang, Everett Stone (Dermot Mulroney), berencana memperkenalkan sang pacar—yang akan dilamarnya—dan merayakan Natal dengan keluarganya sekaligus berniat meminta cincin kawin turun-temurun dari ibunya.

Komedi sudah dimulai dengan kedatangan Meredith—diperankan de-ngan cemerlang oleh Sarah Jessica- Parker—seorang wanita yang tampak mandiri, sukses dalam karier, dan sangat kaku dalam pergaulan. Di te-ngah keluarga yang hangat dan penuh toleransi itu, Meredith tampak seperti seekor kuda betina yang menjulang, cantik, tapi salah tempat. Seluruh perkataan, tindakan, dan bahkan caranya mendehem dan membersihkan tenggorokan sebelum dia berbicara membuat seluruh keluarga rajin menghakiminya dan, karena itu, langsung tak menyukai kehadirannya. Sifat Me-redith yang kaku dan perfeksionis itu membuat Sybil (Diane Keaton), si nyonya rumah yang dicintai lima anak, ragu dengan pilihan Eve-rett menjadikan Meredith tunangan. Cincin kawin warisan nenek moyangnya ditahan- ka-rena sang ibu tak langsung bisa merestui pilihan anaknya.

Untuk meredam suasana yang sudah mulai tak enak, Meredith meng-undang adiknya, Julia Morton (Claire Danes), ikut liburan di sana. Kepribadian Julia yang lebih hangat dan terbuka langsung diterima dengan mudah oleh keluarga itu, dan ini malah menyulitkan posisi Meredith. Makan malam bersama, yang semula dimaksudkan agar mereka bisa akur, malah menjadi pertengkaran panjang. Pertanyaan Meredith dilontarkan kepada adik lelaki Everett, seorang tunagrahita gay yang memutuskan memiliki anak bersama partnernya. Pertanya-an-pertanyaan Meredith yang sebetul-nya tak bermaksud menyinggung itu—hanya karena rasa ingin tahu—ternyata seperti sebuah serangan kepada keluarga Stone yang sangat protektif terhadap anggota keluarganya. Pertengkaran meledak.

Film keluarga selalu menjadi hibur-an untuk mengisi liburan. Sutradara dan penulis skenario Thomas Bezucha memberikan pesan yang jelas: keluarga merupakan tempat berlabuh bagi semua problem yang tak terselesaikan di luar sana.

Ini bukan pertama kalinya film ke-luar-ga menggunakan momen Natal dan Thanksgiving menjadi klimaks film. Film Home for Holiday karya Jo-die Foster juga menampilkan kumpul keluarga saat Thanksgiving sebagai momen untuk memperkenalkan pro-blem keluarga dan penyelesaiannya .

Sosok Meredith Morton sebetulnya bukan sosok jahat. Dia ada pada diri semua orang yang selalu berdegup cemas saat ”dipresentasikan” di muka keluarga calon suami/istri. Membuat kesan baik kepada para calon mertua/ipar memang seperti sebuah ujian berat. Apa pun yang keluar dari mulutnya, tindakannya, caranya tertawa atau bereaksi, akan menjadi unsur penilaian anggota keluarga. Para ”juri” tampak memiliki wewenang tanpa batas. Dan asal tahu saja, ini berlaku jauh lebih berat di masyarakat Indonesia, yang sudah pasti memasukkan unsur ”persamaan keimanan” dan jika bisa ”persamaan kelas”.

Sarah Jessica Parker membuktikan bahwa dirinya bisa keluar dari sebuah strereotipe yang sudah telanjur melekat padanya sejak dia bertahun-tahun memerankan Carrie Bradshaw dalam serial Sex and the City. Untuk perannya ini, dia masuk nominasi Golden Globe 2005 kategori aktris komedi terbaik dalam film ini. Diane Keaton, Rachel McAdams, dan Dermot- Mulroney tampil seperti biasa, tak berbeda de-ngan pada film-film sebelumnya-.

Seperti biasa, komedi romantik memiliki jalan cerita yang mudah ditebak. Namun, penyelesaian manis da-lam sebuah komedi romantik sebetul-nya bukan hal terpenting, tapi menciptakan momen-momen menjelang klimaks konflik merupakan tantangan dalam genre ini.

Evieta Fadjar P./LSC

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus