Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Setiap orang sejarawannya sendiri

Pengarang: william h. frederick dan soeri soeroto jakarta: lp3es, 1982 resensi oleh: kuntowijoto. (bk)

5 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMAHAMAN SEJARAH INDONESIA: SEBELUM & SESUDAH REVOLUSI Penyunting: William H. Frederik dan Soeri Soeroto, Penerbit: LP3ES Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), Jakarta 1982, Cetakan Pertama, 486 halaman. Ungkapan Carl Becker, "Everyman His Own Historian", dapat diartikan dengan, "setiap zaman sejarawannya sendiri" atau "setiap masyarakat sejarawannya sendiri." Demikianlah William H. Frederick dan Soeri Soeroto mengemukakan bahwa "tiap abad (masyarakat atau penulisnya) menggarap masa lampau itu sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Buku ini dengan jelas melukiskan keragaman pemahaman orang mengenai masa lampau yang, sebagaimana kata Croce, akan selalu menjadikan setiap sejarah, sejarah kontemporer. Masa lampau sebagai kejadian aktual, ketika menjadi karya sejarah sudah digarap sesuai dengan kepentingan si penulis. Subyekivitas dalam pemahaman, seleksi, dan pengutaraan sejarah, tidaklah mustahil. Apakah dengan demikian sejarah tidak lagi ilmiah? Buku ini juga mengisyaratkan bahwa sejarah memang tidak selalu dipandang dengan ukuran ilmiah oleh setiap zaman. Dengan menyuguhkan kntipan-kutipan bersama sedikit pengantar, para penyunting buku ini mencoba mengemukakan ukuran-ukuran yang berbeda-beda itu. Bab 2, 'Pandangan dan Filsafat Sejarah', mengemukakan makna masa lampau bagi beberapa orang Sukarno yang memandang masa lampau dengan penuh romantisme, Tan Malaka yang melihat perkembangan sejarah secara dialektis, dan Simatupang yang melihat revolusi sebagai "wahyu nasional". Di sini juga dikutip pandangan Yamin yang nasionalistis dan Soedjatmoko yang lebih universalistis. Kiranya yang menarik adalah kutipan dari Sartono Kartodirdjo tentang "Sejarah Baru" yang akademis dengan permasalahan sosial yang menyangkut lapisan masyarakat bawah. Pendekatan ini dapat disebut ilmiah yang berbeda dengan pendekatan lainnya yang bersifat pragmatis, sekalipun keduanya tak selalu bertentangan. Sejarah pragmatis mewarnai kutipan-kutipan dalam Bab 3, 'Karya Sejarah Dari Masa Sebelum Revolusi'. Mitologi yang dominan dalam Pararaton, Hikayat Raja-Raja Pasai, Tambo dan Silsilah Adat Alam Minangkabau, dan Babad Pakuan atau Pajajaran merupakan contoh bagaimana masa lampau dikisahkan tanpa kecermatan sejarah dalam ukuran modern. Namun sifat pragmatis, seperti misalnya demi pengesahan sebuah dinasti, menjadi tujuan penulisan hikayat semacam itu, sehingga maknanya tidak kurang penting. Sejarah yang informatif dapat dilihat dalam bab ini melalui kutipan-kutipan dari Hikayat Raja-Raja Banjar dan Kotawaringin, Sejarah Banten, Syair Perang Mengkasar, dan Babad Dipanegara. Masih dalam bab ini, otobiografi PPA Djajadiningrat dan Dr. Sutomo memberikan informasi yang tajam mengenai masa-masa pergerakan nasional dan bagaimana seorang pemimpin tumbuh di tengah-tengah masyarakat yang sedang mengaIami perubahan. Dalam sebagian Bab 4, 'Karya Sejarah dari Masa sesudah Revolusi', sejarah --pragmatis muncul lagi, kali ini dengan tujuan nasionalistis. Demikianlah tulisan-tulisan tentang asal-usul Sang Merah Putih, kebesaran Prapanca dan Majapahit, dan kedinian timbulnya Kota Surabaya, menampakkan "semangat zaman"-nya. Tetapi dari masa sesudah revolusi lebih banyak muncul karya-karya sejarah yang sifatnya informatif dan ilmiah. Tulisan-tulisan mengenai Kartini, kebangkitan nasional, sekitar Proklamasi, dan masa revolusi, merupakan sumber informasi yang berharga. Sementara itu tulisan-tulisan sekitar pemberontakan dan perlawanan dalam abad XIX dan sesudah berdirinya Republik Indonesia berusaha mengkaji secara ilmiah sebab-sebab, rroses, dan struktur sebuah kejadian sejarah. Sikap ilmiah dan kritis nampak dalam tulisan-tulisan mengenai Sumpah Pemuda dan Sukarno. Dalam hal-hal terakhir ini masalah subyektivitas dan obyektivitas yang menjadi teramat penting dalam penulisan sejarah abad XIX dalam tradisi Ranke mulai hangat kembali, tetapi dengan sikap keterbukaan yang besar. Sejarah juga menjadi lebih kontemporer: Permasalahan masa kini seperti soal demitologisasi tokoh dan peristiwa sudah masuk dalam penulisan sejarah, sekalipun masih dalam taraf kecil-kecilan dan coba-coba. Dari buku ini menjadi jelas bahwa zaman memang melahirkan sejarahnya sendiri. Masa lampau selalu menjadi bagian budaya ketika sejarah itu dituliskan. Buku ini menjadi lebih penting dengan adanya pengantar dalam Bab I, "Mengenal, Memikirkan dan Mengarang Sejarah", dan petunjuk umum dalam Bab 5, 'Menggali Sejarah Indonesia: Alat-Alat Sejarawan dan Sumber-sumber Umum'. Sehingga lengkaplah buku sebagai pengantar ke penulisan sejarah Indonesia. Meski demikian, untuk keperluan akademis, Bab I dan Bab 5 ini dapat dijadikan buku tersendiri supaya lebih lengkap. William H. Frederick dan Soeri Soeroto sungguh telah menyumbangkan sesuatu yang berharga bagi perkembangan Ilmu sejarah. Kuntowijoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus