Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dengarlah suara pembeli

Pendapat para konsumen tentang pemilihan pembelian kendaraan berbahan bakar solar (diesel) atau berbahan bakar bensin, setelah adanya kenaikan ppn dan bea masuk serta kenaikan harga BBM. (eb)

5 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEGEMARAN orang untuk berdiesel-diesel mulai kendur setelah mobil-mobil yang memakai BBM solar itu mendadak naik harganya, jauh di atas mobil bensin. Sekalipun harga seliter minyak solar sekarang masih Rp 145, dan seliter bensin premium melonjak menjadi Rp 320, selisih sebesar Rp 175 rupiah itu agaknya masih membuat calon pembeli itu berpikir-pikir untuk membeli mobil diesel. Itu setidaknya dirasakan oleh Helmy Sungkar, perally terkenal yang sehari-hari duduk sebagai wakil direktur PT Inremco, yang memasarkan jip diesel CJ-7. "Bayangkan, jip bensin masih bisa dibeli dengan Rp 7,75 juta, sedang jip diesel setelah kenaikan PPn menjadi sekitar Rp 10,5 juta," katanya. Menurut Helmy, sebelum kenaikan pajak penjualan untuk mobil diesel, jip bensin hanya lebih murah sekitar Rp 150.000 dibandingkan kendaraan sejenis yang pakai minyak solar. Orang-orang Astra, tentu saja, seiring pendapat dengan Helmy. Jip hardtop, produksi mereka, baik yang Daihatsu maupun Toyota, mereka perkirakan akan berkurang antara 40-50%, kalau peraturan kenaikan PPn akan tetap dipertahankan oleh pemerintah seperti sekarang ini, naik drastis untuk penjualan yang baru. Tapi baik pihak Astra maupun Inremco mengakui, itu masih merupakan perkiraan yang kasar. Bukan berdasarkan suatu survei atau riset pasar, yang paling tidak memakan waktu enam bulan. Bukan mustahil perkiraan itu bisa meleset. Dengarlah misalnya komentar Ir. Tjokorda Raka Sukawati, direktur administrasi dan keuangan PT Hutama Karya. "Meningkatnya harga BBM, dan naiknya PPn untuk mobil diesel tidak berpengaruh bagi kami," kaunya. Perusahaan kontraktor besar milik pemerintah itu memiliki 200 truk diesel untuk berdinas di lapangan. "Diesel itu hemat sekali, dan konstruksi mesinnya kuat, sehingga biaya operasi pun lebih rendah dibandingkan kendaraan yang menggunakan bensin," kata Raka Sukawati kepada Erlina Soekarno dari TEMPO. Mereka menyukai truk diesel Isuzu, "karena kami anggap lebih efisien," katanya. Ia mengakui perawatan untuk jenis yang diesel itu lebih rumit, sehingga untuk itu perlu tersedia bengkel yang baik. Meskipun begitu, Hutama Karya, menurut Raka, akan tetap menggunakan kendaraan truk diesel untuk pekerjaan di lapangan. Sedang untuk jip, dari dulu rupanya mereka memakai Toyota hardtop yang pakai bensin, jauh sebelum yang diesel diproduksi. Menurut D. Tandanaki, wakil kepala bagian peralatan Hutama Karya, ini pun tak akan ada perubahan. Alasan mengapa mereka akan tetap menggunakan Toyota hardtop bensin, bukan karena yang diesel sekarang lebih mahal. Tapi lebih dikarenakan "itu belum termasuk dalam kategori mobil perusahaan sesuai peraturan dari Sekneg, katanya. Akan halnya mobil dinas yang kini harus dibeli-cicil oleh pemegang kendaraan, menurut Raka Sukawati, juga tak akan ada perubahan. "Hampir semua pejabat di Hutama Karya memakai mobil dinas sedan Holden Commodore (6 silinder), dan Toyota Corolla DX. Alasannya? "Supaya seragam saja, sehingga bisa membeli suku cadang dalam jumlah besar, dan lebih mudah merawatnya," katanya. "Itu pun semuanya pakai bensin." Ada satu hal yang menarik di Hutama Karya: hampir semua kendaraan mereka keluaran Jepang, kecuali Holden tadi. Begitu juga yang terjadi di PT Pembangunan Jaya. Sekalipun tak menganut prinsip keseragaman, dan lebih suka memakai bensin, sekitar 186 mobil perusahaan itu umumnya bermerk Jepang, dengan ranking paling atas Suzuki Super Jimny sebanyak 43, dan 15 lagi masih dipesan, Corolla sejumlah 28, Charade 16 buah, dan 16 jip Toyota hardtop. Jaya juga memakai 12 truk Isuzu, 17 truk International Harvester (AS), dan 7 truk Toyota, semuanya diesel, dan 5 Daihatsu Taft. Menurut W.F.P. Rotinsulu, salah seorang wakil direktur PT Pembangunan Jaya, perusahaan kontraktor itu, yang mengelola 30-40 proyek di Indonesia dan memiliki 1.444 karyawan, lebih suka membeli mobil bensin -- kecuali untuk pekerjaan di lapangan -- karena para karyawan menganggap itu lebih nyaman. Efisienkah itu? Menurut Rotinsulu, penyelidikan yang mereka lakukan menunjukkan, bahwa biaya yang keluar untuk mobil bensin, jika dibandingkan dengan yang pakai BBM solar, tak berbeda banyak. "Itu pula sebabnya pihak direksi menyetujui karyawan memilih mobil yang pakai bensin," katanya. Salah satu pertimbangan mengapa banyak perusahaan lebih menyukai membeli mobil bensin adalah karena "resale value" (nilai jual kembali)-nya yang tetap tinggi, kata seorang direktur perusahaan pers yang punya selusin Toyota hardtop. Sekalipun si hardtop yang ini tersohor suka sekali menghirup bensin, rata-rata 1 liter per 6 km, harganya memang cukup bertahan di pasaran. Masalah nilai jual kembali itu sebetulnya relatif, tergantung dari berapa lama suatu merk itu diproduksi oleh perakit. Dalam hal Corolla dan jip Toyota hardtop misalnya, nilai jual kembali itu memang termasuk tinggi, karena sejak pertama kali dikeluarkan di Indonesia sampai sekarang, kedua merk itu boleh dibilang tak berubah bentuknya. Sedang jip Daihatsu yang pakai bensin, keluaran tahun 1976/1978, jatuh harganya, setelah merk Taft diesel memasuki pasaran pada 1979, dan hingga kini bertahan. Para pembeli di Indonesia, seperti kata Tinton Suprapto, pengetahuannya kebanyakan baru terbatas pada pertimbangan resale value dan faktor ekonomis, dalam arti hemat bahan bakar. Namun menurut pembalap itu, selebihnya para pembeli itu masih amat dipengaruhi oleh promosi melalui media massa televisi (sebelum dilarang) dan bioskop, yang umumnya mempertontonkan keindahan dan kenyamanan. Atau "model iklan yang ada pelawak Bagio, dan penyanyi Benyamin," katanya gemas. Menurut pembalap terkenal itu, "promosi mestinya bersifat ilmiah, diuji bannya dibongkar mesinnya, dan dibuktikan kepada konsumen." Ada lagi yang agaknya dilupakan Tinton: soal gengsi, yang menurut beberapa pengusaha mobil, masih merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan. Ada betulnya. Seorang pejabat atau direktur yang semula mendapat jatah mobil bersilinder 4, misalnya, merasa lebih sesuai kalau mendapat ganti mobil yang bersilinder lebih besar. Tapi ada juga beberapa perusahaan yang mencoba menekan soal kenyamanan dan gengsi. Seorang pengusaha muda misalnya tetap beranggapan pemakaian diesel itulah merupakan suatu pemecahan soal efisiensi dan ekonomis yang baik. "Bagaimana tidak, harga solar toh tetap lebih murah," katanya. Tidak hanya itu. Menurut pengusaha tersebut, diesel itu lebih kuat dibandingkan mesin yang menggunakan bensin. Itu dibenarkan oleh seorang pengusaha penggemar speed rally, Maher. Menurut dia, yang disebut beban dari mesin adalah fluktuasi dari gaya yang bekerja dalam mesin itu. "Mesin diesel itu lebih stabil. Kalau kecepatannya naik, terasa lebih berat. Putaran per menitnya (Rpm) diesel memang lebih rendah, tapi diesel itu cukup tangguh," katanya. Karena itu ia beranggapan biaya perawatan untuk diesel itu akan jatuh lebih rendah dibandingkan mesin yang memakai bensin. Satu sebab lain adalah: "Bagian-bagian dalam mesin diesel jumlahnya lebih sedikit dibandingkan mesin bensin," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus