Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Mosaik yang tidak rancu

Jakarta: lp3es, 1982 resensi oleh: yuswadi saliya. (bk)

5 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOSIOLOGI PERKOTAAN Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia Hans Dieter Evers 232 halaman, LP3ES, 1982 SESUNGGUHNYALAH, banyak sekali perihal yang dapat dibicarakan mengenai kota. Orang menganggap kota sebagai bagian dari taraf peradaban manusia mutakhir tidak peduli tradisionalkah ia atau modern. Kota telah demikian banyak menyajikan kemungkinan dan harapan, di samping persoalan dan penderitaan yang dihasilkannya. Seperti halnya dengan taraf peradaban manusia yang penting lainnya, kota pun menampakkan bagian-bagian yang penuh pertentangan dan perbedaan kalau bukan perselisihan. Bukan hanya dalam cara-cara memandangnya saja tapi juga dalam apa yang dianggapnya penting. Dengan begitu orang dapat menulis tentang kota dari sudut dan cara apa saja. Jadi, tentu saja boleh dari sudut sosiologi mengenai urbanisasi dan sengketa tanah. Dan tidak pula di seluruh dunia, melainkan di Indonesia dan Malaysia. Ini pun merupakan bagian yang dapat disajikan oleh kota, atau 'idea tentang kota' suatu kenikmatan tersendiri! Pembaca telah sering dihadapkan kepada kenyataan bahwa sebuah kumpulan esei, seperti yang bermunculan akhir-akhir ini, merupakan rangkaian gagasan-gagasan yang dirajut mengikuti suatu pola atau tema tertentu. Sebuah kumpulan esei selalu mengandung marabahaya, ia bisa sekadar sebuah mozaik atau sama sekali rancu. Karena itu selalu lebih sulit dikaji daripada sekadar sebuah esei atau buku lengkap. Buku ini tampak sebagai mozaik yang kaleidoskopik dan, segala puji bagi-Mu, ia tidak rancu. Seperti termaktub dalam kata pengantarnya, buku ini merupakan upaya untuk mengembangkan teori perkotaan itu pun bukan 'produk jadi, melainkan sejumlah pendekatan terhadap masalah-masalah pokok pembangunan'. Teori Urbanisasi, Bagian Pertama, ditulis dengan gesit, meskipun dalam hati saya mengharapkan adanya bab yang menelaah riwayat lahirnya kota atau 'idea tentang kota'. Sebab, hanya dalam perspektiflah maka telaah sesuatu yang sedang tumbuh itu dapat dikenali dengan baik. Tapi, alih-alih riwayat terbentuknya kota, dibeberkannya riwayat pendekatan akan kota (sejak Weber). Tapi, baiklah, sub judul buku ini telah dipasang untuk tidak merembet ke arah sana. Barangkali diperlukan buku (esei?) tersendiri untuk itu. Tulisan Sjoberg perlu diperbarui peradaban manusia kini telah cukup kaya untuk itu. Benarkah kota lahir oleh kegemahripaan (affluence)? Benarkah ia dibentuk oleh masyarakat pemburu, bukan oleh masyarakat agraris, seperti kata Eric Hoffer? Bagian Kedua, Urbanisasi dan Masyarakat Kota, dan juga Bagian Ketiga, agak berlebihan mengarah ke telaah ekonomi kota (urban economics) daripada ke sosiologi perkotaan. Dapat dipahami, sebab apa yang diketengahkan adalah persoalan tanah apa boleh buat! Memang, tanah atau lahan (seperti halnya juga kota), merupakan titik temu berbagai telaah. Bab 8, Peranan Para Dokter di Malaysia dan Indonesia, secara khusus, sungguh menarik. Masih perlu diteliti, bukan dari sudut kelas, melainkan sekadar dari sudut jumlah. Adakah titik kritis (critical mass) yang harus dicapai lebih dulu sebelum peran suatu kelas dapat dirasakan oleh masyarakat? Ini menarik, karena dengan cepat, seperti biasanya, orang akan segera menghubungkannya dengan sistem pendidikan yang menghasilkan tenaga-tenaga profesional seperti para dokter itu. Dan persoalan ini sangat aktuil. Tapi, itulah, sub judul rupa-rupanya telah mencegah telaah ke arah ini apa boleh buat! Bab-bab selanjutnya merupakan demonstrasi akan manfaat data dan statistik, dan bahwa data itu mahal. Kasus Kota Padang (bab 7 dan 9) merupakan bab yang juga menarik. Kalau istilah 'Hollow Town' dipungut Geertz karena teringat olehnya 'Hollow Man'-nya T.S. Eliot, maka istilah itu mengingatkan saya akan masalah makna. Di sini pulalah, hemat saya, keperluan akan tinjauan sejarah lahirnya kota itu kembali terasa. Semangat apakah sebenarnya yang mendorong orang untuk kemudian membentuk (masyarakat) kota? Tampaknya, tinjauan fenomenologis tidak akan sampai ke titik itu. Kevin Lynch, terlepas dari kemampuannya dalam menciptakan klasifikasi tentang 'citra kota' yang jitu itu, juga mengabaikan, atau paling sedikit tidak menyertakannya sebagai pokok (diletakkannya pada apendiks), persoalan makna dalam kaitannya dengan realitas sosial. Tapi, OK-lah, kita tunggu telaah kota dari sudut ini. Tentu saja, sebagai upaya ke arah pembentukan teori perkotaan, buku ini patut dibaca (tidak untuk semua orang, sebab diperlukan bacaan pengantar yang luas). Sumbangannya yang besar dalam menarik perhatian pembaca ke masalah tanah perlu diperhatikan. Akhirnya, pembaca perlu bersiap-siap untuk berkenalan dengan ciri-ciri gaya tulisan para ahli ilmu sosial anda perlu membacanya dengan penuh kesabaran, pelan-pelan, sediakan waktu yang cukup, dan sediakan pinsil warna untuk menandai bagian-bagian penting. Selamat membaca. Yuswadi Saliya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus