Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Siluet Sinkretisme, Islam, dan Urban

Pelukis Nasirun mengembalikan eksplorasi wayang dalam lukisannya ke bentuk aslinya. Simbol-simbol sinkretisme, Islam, dan urban menjadi narasi besar.

12 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAYANG yang berbau Hindu dan kejawen pernah digunakan Walisongo untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-15 hingga ke-16. Kini Nasirun, pelukis kelahiran Desa Keonggaring, Kecamatan Adipala, Cilacap, Jawa Tengah, menggabungkan simbol dalam dunia wayang dan Islam dalam kanvas lukisannya.

Nasirun, 44 tahun, memenuhi ruang pamer Sangkring Art Space, di Nitiprayan, Yogyakarta, dengan 22 karya lukis di atas kanvas besar yang mengeksplorasi esensi wayang: bayangan. Pameran bertajuk Salam Bekti itu berlangsung pada 28 September hingga 12 Oktober 2009. Ia menjadikan potret dirinya dalam bentuk siluet. ”Saya milih jadi wayang,” katanya.

Lulusan seni rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini dikenal sebagai pelukis yang terinspirasi bentuk wayang, sebagai carangan (tafsir) terhadap budaya klasik. Ia muncul penuh energi, mengisi bidang kanvasnya dengan semburat warna berat yang cenderung merah dan hitam. Karyanya laris manis lewat promosi kolektor kondang asal Magelang, Oei Hong Djien.

Dalam pameran ini ia mengubah cara pandang terhadap wayang, dari wayang yang terlihat dari sudut pandang dalang yang penuh warna menjadi sudut pandang pada pertunjukan wayang yang dinikmati penonton dalam tradisi lawas—berupa bayangan hitam di kain geber putih. Tapi belakangan ia juga mengeluarkan sosok wayang yang penuh warna itu ke luar kanvas menjadi susunan wayang lengkap dengan gapitnya.

Kadang bayangan sosok tubuhnya itu hitam pekat dengan latar belakang putih bak menggambarkan kesadaran tentang masa lalu yang kelam. Saat lain bayangan itu putih seperti keinginan kuat menjadikan diri bersih. Tapi, dalam sejumlah lukisannya, bayangan itu juga penuh warna seperti menggambarkan laku yang lebih membumi, semacam kesadaran bahwa dosa dan kebajikan datang silih berganti sehingga tak dapat ditolak.

Nasirun tak bercerita tentang masalah di sekitarnya dengan personifikasi figur wayang. Ia berkisah tentang masalah di sekitarnya lewat sosok dirinya dengan narasi sikap bekti terhadap ayah yang menjalankan tradisi Islam dengan ketat, dan dengan ibu yang merupakan sosok campuran budaya sinkretisme dan Islam.

Ia lahir dari seorang ayah, Sanrustam, yang mempraktekkan ajaran tarikat Qadiriyah Naqshabandiyah, dan ibunya, Supiyah, yang punya akar tradisi Sunda Wiwitan (sinkretisme Sunda). ”Saya masih teringat tertidur mendengar alunan zikir ayah saya,” ujar Nasirun, yang mengenyam pendidikan dasar di madrasah. Tapi ia juga menyaksikan ibunya rajin menjalankan ritual sinkretik ”padi pulang rumah” setelah panen, satu ritual untuk mensyukuri hasil panen ketika hasil panen padi masih dibawa pulang ke rumah sebelum ditumbuk.

Nasirun menggabungkan potret dirinya yang sangat khas (rambut keriting panjang dan janggut dipilin) dengan simbol Islam tradisi—kopiah, sarung, baju koko, teks Arab, bentuk Ka’bah—dengan simbol sinkretisme kejawen dan bentuk figur dalam khazanah wayang.

Penggambaran atribut tradisi Islam itu terlihat karikatural: kopiah yang kebesaran dan bentuknya kaku, dengan rambut keriting gondrong dan janggut panjang yang terkesan kampungan. Ada kesan menertawakan diri dengan takzim lewat karya bertajuk Kiai Narsisrus. Lukisan ini berupa siluet tubuhnya berpeci dengan baju koko dan sarung melilit tubuh yang sedang memegang kendi dengan teks dalam aksara Latin dan Arab.

Peran teks dalam karya Nasirun—meski banyak yang tak jelas secara visual—adalah untuk menampung narasi yang tak bisa ia ungkapkan lewat bahasa rupa. Bahkan dalam sejumlah lukisan teks muncul pada sebagian besar bidang kanvas, dengan elemen visual yang hemat meski dalam ukuran besar.

Sosok Nasirun dalam karya Kiai Narsisrus tadi, misalnya, bak kiai kampung yang berusaha tampil mengusung budaya populer. Begitu pula dalam Bedug, Sembahyang, dan Sendekala, yang menunjukkan profil orang desa masuk kota dengan gagap menyerap budaya urban karena masih terikat dengan budaya agraris pedesaan. Hasilnya sosok kampungan yang ganjil, yang kadang menggelikan.

Sosok ganjil itu tampak dalam realitas hidup Nasirun yang bisa makmur lewat karyanya sehingga bisa membeli gaya hidup kaum urban berupa mobil, rumah megah, telepon seluler keluaran terbaru. Tapi ia tak bisa menyetir mobilnya dan lebih suka memakai motor butut yang pertama kali ia beli dari hasil penjualan lukisan belasan tahun lalu. Ia membelikan telepon seluler seri terbaru untuk anaknya, sedangkan ia sendiri tak pernah menggunakan telepon seluler. Ia juga pernah merasa tidak enak hati menempati rumah megahnya di Bayeman, Yogyakarta, yang kontras dengan rumah tetangga. Ia pelukis yang masih rajin mendatangi pembukaan pameran sembarang seniman untuk sekadar bisa bertemu dan mengobrol dengan sesama seniman, ketika seniman lain jarang muncul.

Nasirun adalah sosok yang mempraktekkan sikap moral kaum agraris di tengah kehidupan urban. Ekspresi kampungan sebagai buah perantauannya ke kota juga tampak dalam karya Ngilo. Pose tubuh merahnya tak lazim seperti remaja sedang kasmaran tengkurap dengan kepala tengadah berhiaskan topi baret seniman dan satu kaki telanjang tertekuk ke atas, dan kaki lain dibalut sepatu pantofel. Di depannya ada figur wayang perempuan dan di bagian atas teks dalam bahasa Arab dengan terjemahan teks bahasa Indonesia tentang akhlak budi pekerti.

Ambiguitas budaya Nasirun muncul dalam karya Rebana untuk Jacho, berupa citraan tubuh Michael Jackson dengan kaki dibalut celana kotak-kotak merah mirip pola hias kain sarung, dan sosok wayang Nasirun berbalut sarung batik mengapit sejumlah rebana tergantung di dinding. Dalam dirinya muncul sinkretisme, Islam, dan budaya pop pada saat yang sama.

Ketika Nasirun khusyuk dengan keislaman dan kejawaannya, dalam karya bertajuk Pesan Budaya muncul figur Semar dan keluarganya, diimbuhi teks Arab di tengah yang murung dengan dominan warna-warna gelap sebagaimana ciri khas pilihan warna Nasirun. Tapi ketika ia suntuk dengan syariat, Nasirun malah tampak genit dengan warna-warna primer (Thobeqoh, Duh Gusti).

Keberaniannya keluar dari pakem lukisannya—meski sementara, katanya—jarang dimiliki pelukis yang sudah telanjur mapan dengan karakter yang kuat dan menghasilkan uang berlimpah. Banyak pelukis yang takut berubah, karena khawatir tak diterima kolektor. Apalagi perubahan yang makin menunjukkan sosok Nasirun terkesan kampungan ini belum menemukan bentuknya yang pas.

Tapi karya berjudul Dian Kurung, yang terinspirasi bentuk lampion yang biasa dibuat ibunya pada saat Lebaran tiba, merupakan eksperimen keluar dari pakem lukisan Nasirun yang berhasil. Ia sepenuhnya mengadopsi konsep bayangan (hitam-putih), dengan menampilkan sosok dirinya bersepeda di empat sisi lampion sedang mengarungi kehidupannya yang berlapis: sinkretisme, Islam, dan urban. Bayangan itu, dalam karya ini, menemukan bentuknya dengan karakter yang kuat.

Raihul Fadjri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus