Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tengah kesibukan dan riuh rendah perayaan ulang tahunnya yang ke-50 di kebun belakang rumahnya, Mike Frame terlempar ke sebuah masa silam. Puluhan tahun lalu, ia bernama Chris Carver, seorang aktivis muda yang menggelegak dalam demonstrasi dan gerakan akhir 1960-an; yang menentang pemerintah; menentang perang Vietnam dengan penuh gelora dan cita-cita. Yang mencintai Anna Addison, seorang aktivis yang tubuhnya dibakar oleh cita-cita yang sama.
Puluhan tahun kemudian—dengan menilap identitas sebuah nama dari nisan seseorang yang sudah meninggal—Carver menjelma menjadi Mike Frame. Frame kini adalah suami Miranda Martin, seorang perempuan cantik, pragmatis, yang menikmati hidup. Di usianya yang ke-50 tahun, tiba-tiba Frame merasa kehidupannya yang aman dan tertib di ”dunia kapitalistik” yang dulu dibencinya itu kini diguncang: dia melihat dua orang di masa lalunya berkelebatan. Mereka menebar teror.
Novel My Revolutions (2007) karya Hari Kunzru ini adalah karyanya yang ketiga setelah The Impressionist (2002) dan Transmission (2004). Meski ketiga novel itu ditulis dengan gaya dan setting yang berbeda, ada satu hal topik yang konsisten menjadi ciri khas karya Kunzru: identitas. ”Tema identitas memang tak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa saya seorang penulis Inggris keturunan India,” kata Kunzru kepada Tempo di tengah acara pembacaan karyanya di Jakarta atas kerja sama British Council dan Komunitas Salihara. Kunzru memang tengah berada di Indonesia untuk menghadiri Ubud Writers Festival yang berlangsung pekan silam.
Lahir di Essex, Inggris, pada 1969, Hari Mohan Nath Kunzru menempuh pendidikan sastra Inggris di Oxford University dan melanjutkan mendalami filsafat dan sastra di Warwick University. Dengan ibu dari Inggris dan ayah asal Kashmir, Kunzru mengisi jalan yang sudah dirintis oleh para ”pendahulu”-nya—para penulis Inggris keturunan India atau Pakistan, seperti Hanif Kureishi.
”Para penulis seperti Salman Rushdie dan Hanif Kureishi memang sudah melapangkan jalan generasi saya,” kata Kunzru. ”Angkatan kami, bagaimanapun, mengakui jasa mereka; selebihnya tentu kami melakukan pembaruan-pembaruan karena setiap penulis mempunyai karakternya sendiri,” ujarnya.
Ketiga karya Kunzru bahkan bisa dikatakan sangat berbeda antara satu dan yang lain. The Impressionist adalah kisah perjalanan hidup Pran Nath. Seorang anak India yang semula hidup sebagai anak keluarga kaya raya yang terbuang ke lapisan kerak paling bawah masyarakat India di masa kolonial. Lelaki remaja berwajah indah ini lantas terjebak dalam rumah pelacuran di mana ia didandani sebagai seorang perempuan jelita. Maka Pran Nath dengan tubuhnya yang sensual itu menjelma menjadi fantasi bagi para lelaki.
Perjalanan inilah yang kemudian membentuk Pran menjadi seekor bunglon yang mudah mengubah kulit wajahnya. Dari seorang pelacur berbaju perempuan dia kabur ke Bombay dan mengenakan dua ”kulit”, yaitu sebagai Robert, anak angkat yang patuh dan takzim dari pasangan dari Skotlandia dan sebagai Pretty Bobby, seorang germo bagi pelacur murah di pojok kumuh Bombay. Keahliannya berubah-ubah kulit itu seperti sebuah ”nasib” atau takdir. Pran Nath menjelajahi Bombay, London, Paris, hingga akhirnya ke pojok Afrika dan mengubah identitasnya sesuai dengan kebutuhan.
Novel setebal 481 halaman ini kemudian menggegerkan sastra dunia. Kunzru bukan hanya diganjar puja-puji oleh para kritikus sastra atas kemampuannya membangun imajinasi India pada 1918, London di era Edwardian, hingga ke berbagai pelosok dunia yang sungguh tak mudah untuk dibangun kembali hanya dengan bayang-bayang eksotisme. Kunzru melakukan riset pustaka intens dan juga melakukan perjalanan. Sebagai seorang wartawan dan penulis perjalanan (traveler writer)—yang sering mengisi harian The Guardian, The Daily Telegraph, dan majalah Time Out—Kunzru perlu melakukan strategi. ”Saya selalu mencoba menggabungkan tugas tulisan perjalanan sekaligus melakukan riset untuk novel,” katanya tersenyum. Tak mengherankan, dengan riset yang mendalam dan intens ke berbagai negara, sekaligus menulis tulisan perjalanan jurnalistik, novel pertamanya ini berhasil meraih Betty Trask Prize dan Somerset Maugham Award. Kunzru seperti seorang pembuat peta imajinatif yang berkisah di setiap lokasi dan menjadi seorang pendongeng yang dahsyat. Dan pada setiap titik itu, dia selalu berbicara soal identitas.
Novel pertamanya sangat sinematik. Berbagai adegan terasa filmis, terutama setiap kali tokoh Pran Nath berubah penampilan menjadi sosok baru. Kunzru mengaku novel pertamanya menarik minat para sineas. ”Saya tahu betul dunia sastra dan sinema adalah dua medium yang berbeda, jadi saya akan sangat paham jika seorang sineas hanya akan mengambil inti dari novel, kata Kunzru. Ia menyadari The Impressionist sangat kompleks untuk diangkat ke sebuah film, bukan hanya karena menuntut beberapa lokasi di berbagai negara di zaman kolonial, tapi karena jalan ceritanya lebih seperti sebuah perjalanan yang mistis. Jika jatuh ke tangan sineas yang salah, novel ini bisa menjelma menjadi sebuah film eksotis belaka.
Novel Transmission (2004) juga tak kalah kompleks karena Kunzru membawa pembaca dari India ke Silicon Valley melalui tokoh Arjun Mehta, seorang programer komputer yang penuh cita-cita besar untuk menaklukkan Amerika. Apa yang ditemukan adalah kekecewaan demi kekecewaan; hingga akhirnya Arjun menciptakan virus komputer yang menggemparkan dunia.
Kunzru mengaku bahwa sebelum dia dikenal sebagai seorang penulis, dunia komputer dan Internet pada 1990-an adalah ”tempat saya mencari nafkah”. Inilah yang mungkin membedakan Kunzru dengan para sastrawan senior pendahulunya, yang tentu saja sangat asing dengan kedahsyatan teknologi Internet yang membuat bola dunia menjadi lebih kecil dan semua informasi saling melesat dalam bilangan detik.
Tapi adalah novel Kunzru berjudul My Revolutions yang paling memiliki relevansi dengan para pembaca di Indonesia. ”Saya rasa novel ini memang pasti memiliki relevansi di mana saja, karena setiap panggung politik memiliki sosok seperti Mike Frame,” kata Kunzru. Seseorang yang idealis dan berapi-api di masa muda, yang kemudian akhirnya berbalik dan duduk bersama kaum mapan (dengan identitas palsu) adalah fenomena yang sangat universal. Dan Kunzru menggambarkan dengan intensitas yang begitu membakar, hingga pembaca mana pun bisa merasakan pergolakan batin tokoh Chris Carver alias Mike Frame.
Persoalan identitas yang selalu menjadi tema penting dalam karyanya, menurut Hari, memang refleksi dari dirinya. Bukan saja karena persoalan akar dan kewarganegaraan, tapi juga karena identitas, kata dia, selalu membentuk reaksi seseorang. ”Contohnya begini: kenapa saya menikmati perjalanan sebagai orang asing yang tak dikenal ke berbagai negara, karena saya akan diizinkan dan dimaklumi untuk bertanya apa saja, hal yang remeh-temeh hingga hal yang berat, oleh penduduk asli,” katanya kepada Tempo. Hari merasa sebagai seorang penulis perjalanan dan novelis, banyak hal yang dianggap biasa dan tidak penting dalam kehidupan sehari-hari justru adalah hal yang sangat penting untuk menggambarkan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang.
Soal identitas ini pula yang menyebabkan Hari pernah menolak penghargaan The John Llewellyn Rhys Prize (salah satu penghargaan sastra tertua dan prestisius di Inggris), karena identitas institusi yang berada di belakang penghargaan itu adalah Mail on Sunday. Menurut Hari Kunzru, tulisan oleh Mail on Sunday itu tak bisa diterima karena menebar kebencian terhadap warga Afro dan Asia (di Eropa). Dia menganggap, sebagai seorang keturunan imigran, dia tak bisa menerima sikap yang tertuang dalam sikap media itu.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo