Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JARANG sekali ada disertasi dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara yang berkaitan dengan film. Apalagi diterbitkan. Umumnya mahasiswa doktoral di STF berkenaan dengan filsafat politik atau filsafat sosial. Itulah sebabnya saat Marselli Sumarno, pengamat film dan dosen di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta, mempublikasikan disertasinya mengenai teori film yang dipertahankan di STF Driyarkara tahun lalu, karya ini mengundang rasa ingin tahu. Apa yang diangkatnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Marselli melakukan studi atas pemikiran André Bazin (1918-1958). Bazin dikenal sebagai sosok kritikus film berpengaruh. Ia pionir dalam kajian sinema. Ia mempelopori terbitnya jurnal film berwibawa Cahiers du Cinéma. Lebih dari 2.000 artikel tentang film ditulisnya. Bazin mati muda pada umur 40 tahun. Artikel-artikel tulisannya kemudian disatukan dalam dua volume buku berbahasa Inggris, What Is Cinema? Marselli tertarik merefleksikan bagaimana pemikiran Bazin pada 1950-an masih bisa menjadi pegangan para sineas di era teknologi digital sekarang. Kita tahu, situasi penciptaan film di era sekarang sangat berbeda dengan pada zaman Bazin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada zaman kiwari, medium film tak lagi elitis. Siapa saja bisa menjadi pencipta film. Dengan kecanggihan teknologi digital, film menjadi alat ekspresi demokratis. Seiring dengan itu, muncul budaya layar baru. Kegiatan menonton tak lagi harus dilakukan di bioskop dengan model layar besar dan horizontal, tapi juga bisa di laptop atau telepon seluler yang bermodel layar vertikal memanjang kecil. Pada masa kini, perbedaan ukuran dan format layar tak lagi penting. Cara menonton pun berubah, tak mesti duduk, tapi bisa sambil berbaring. Orang kini lazim sambil rebah-rebahan di kasur menjelang tidur menghabiskan tontonan satu film dari ponsel. Mata dan kondisi psikologis penonton bisa menikmati berbagai variasi layar. Perkembangan radikal ini tak dipikirkan pada zaman Bazin.
Marselli tak langsung menuju persoalan. Ia lebih dulu mengupas pokok-pokok pemikiran Bazin. Daging disertasi ini sesungguhnya adalah uraian Marselli tentang pemikiran utama Bazin mengenai bagaimana sesungguhnya seorang sutradara film harus menempatkan diri bak novelis. Sutradara seharusnya adalah pengarang (auteur)—pengisah yang keseluruhan filmnya mampu menghasilkan gaya pribadi atau cap penanda kepengarangan. Sutradara di mata Bazin bagaikan sastrawan yang bertutur. Dalam konteks ini, Bazin memiliki perhatian terhadap hubungan sutradara dengan realisme, bagaimana realisme bisa diangkat dan mengalir dalam layar perak.
Jantung buku Marselli adalah perbedaan pandangan Bazin dengan sineas Rusia, Vsevolod Pudovkin dan Sergei Eisenstein, mengenai cara mempresentasikan realitas dalam film. Dua sineas Rusia itu berprinsip bahwa fondasi dasar film adalah editing. Dengan editing, sineas mampu menggali kedalaman realitas dengan mendialektikakan rentetan penggalan-penggalan shot satu dengan yang lain lewat teknik montase. Namun Bazin menganggap teknik montase memanipulasi realitas. Bagi Bazin, realisme harus ditampilkan dalam bentuk pengadegan (mise-en-scène) yang mengalir dengan teknik kamera long deep (perekaman gambar lama) dan deep focus (perekaman dari latar depan sampai latar belakang obyek). Bazin berpendapat montase vulgar seperti yang dibuat kedua sineas Rusia itu justru merusak realitas karena dengan sengaja berusaha “merekayasa” film agar bisa menghasilkan efek, sugesti kesan-kesan khusus, atau gagasan ideologis tertentu.
Perbedaan prinsip ini bisa dijelaskan dengan bahasa yang mudah dicerna oleh Marselli. Cara pandang yang berbeda antara Pudovkin-Eisenstein dan Bazin sebenarnya sering diangkat oleh banyak penulis dan dibaca ulang. Ada yang mengatakan, meski terlihat berseberangan, sesungguhnya mereka sama-sama berpihak pada realisme. Hanya, Pudovkin dan Eisenstein mengusung realisme transendental, sementara Bazin membawa realisme empiris. Ada yang mencoba menggali lebih dalam “world view” Eisenstein. Bagi Eisenstein, esensi realitas adalah konflik. Karena itu, montase bukan sekadar cara berpikir, tapi juga cara menyingkap realitas. Bagi Eisenstein, artinya strategi montase mengikuti prinsip-prinsip realitas sendiri. Pembacaan-pembacaan tentang strategi montase Eisenstein berkembang terus, tapi Marselli agaknya membatasi penjelasan yang menafsirkan ulang montase karena memang disertasinya berfokus kepada Bazin.
Bazin sangat kagum terhadap film Bicycle Thieves karya sutradara Italia, Vittorio De Sica (dan Citizen Kane karya sineas Amerika Serikat, Orson Welles). Bagi dia, Bicycle Thieves adalah contoh film dengan realisme yang mengalir. Marselli mengulas film itu agak panjang. Marselli juga memaparkan pemikiran François Truffaut, sineas muda saat itu yang memanifestokan lebih lanjut teori auteur. Truffaut memberikan kata pengantar pendek dalam buku What Is Cinema? jilid kedua. “Saya bisa disebut ‘anak asuh’ Bazin. Dia yang mendorong saya menjadi sutradara. Dia yang menyunting artikel saya. Dia meninggal bersamaan dengan saya tengah syuting film pertama,” tulis Truffaut. Truffaut dan sineas muda Prancis lain, seperti Jean-Luc Godard, lalu melahirkan new age dalam rimba persilatan sinema Prancis. Bazin, seperti ditulis Marselli, tak sempat menyaksikan lahirnya gerakan itu. Juga munculnya sutradara-sutradara besar dari Jerman (Rainer Werner Fassbinder, Werner Herzog, Wim Wenders, dan lain-lain) sampai Jepang (Yasujirô Ozu, Akira Kurosawa, dan lain-lain). Menarik tentu jika Bazin masih hidup dan mengupas film mereka.
Buku: André Bazin dan Kepengarangan Film Digital
Pengarang: Marselli Sumarno
Jumlah halaman: 223 halaman
Cetakan pertama: November 2022
Penerbit: FFTV-IKJ Press
Selanjutnya, Marselli menguraikan, dalam blantika teori film, pandangan Bazin mendapat tantangan-tantangan, terutama sejak munculnya teori Roland Barthes mengenai matinya pengarang. Bagi Bazin, sutradara adalah pusat makna. Sutradara adalah pemikir dan pengendali makna. Sutradara adalah tokoh sentral. Sedangkan teori Barthes mengatakan tak ada lagi pusat makna. Marselli juga menelaah teori semiotika Christian Metz dan Peter Wollen yang mendeskripsikan bagaimana realitas film terbangun dari sistem tanda. Namun, di titik ini, Marselli tidak menyinggung pemikiran filsuf Gilles Deleuze mengenai sinema. Filsuf kontemporer Prancis ini mempublikasikan buku Cinema 1: The Movement Image pada 1983 dan Cinema 2: The Time-Image pada 1985. Sebagaimana Bazin yang terpengaruh konsep filsuf Henri Bergson, Deleuze mengupas citra imaji, montase, sampai perspektif terhadap berbagai film dari Sergei Eisenstein, neorealisme Italia, hingga generasi sineas Eropa yang belum dikupas Bazin.
Dengan mempertimbangkan kekuatan dan keterbatasan teori Bazin, Marselli lalu mencoba merefleksikan auteur di era digital. Adakah visi kepengarangan Bazin masih memiliki relevansi saat ini? Jawabannya: iya. Bagi Marselli, kepengarangan bisa terjadi dalam karya film dokumenter, film iklan, film pendek, film animasi, bahkan di media sosial seperti Instagram. Namun, persoalannya, sepanjang pengamatannya, banyak kepengarangan yang tidak bermakna karena jauh dari autentisitas. Kemudahan teknologi digital—di ranah, YouTube misalnya—melahirkan kultur duplikasi, jebakan hiper-realitas, dan permainan post-truth yang menjurus ke pelanggaran etika dan manipulasi kreativitas.
Sayangnya, di bagian ini Marselli tidak mengulas secara khusus kasus-kasus. Ia hanya memaparkan fenomena secara umum. Padahal menarik membicarakan, misalnya, montase dalam konteks kebudayaan visual generasi milenial atau bagaimana teknik kolase dan montase banyak diadopsi dalam klip video. Klip-klip yang dinamis, cepat, tidak membosankan, dan penuh efek tak terduga adalah kebutuhan anak muda. Pada seni rupa pascamodern, bahkan elemen montase seperti kolase, jukstaposisi, dan apropriasi sudah umum menjadi motor strategi visual kontemporer. Adakah hal-hal seperti itu mengurangi kedalaman makna sebuah film?
Salah satu kasus film yang disinggung Marselli yang juga sangat seksi dibahas dengan pendekatan auteur Bazin tapi tidak diuraikan lebih dalam adalah film bertema tragedi 1965. Marselli mengakui sangat sedikit film bertema sosial-politik, apalagi tentang peristiwa 1965. Dalam konteks ini, Marselli membandingkan film Arifin C. Noer, Pengkhianatan G 30 S PKI yang diproduksi Produksi Film Negara (1984), dengan film dokumenter Jagal (2013) serta Senyap (2014) karya sutradara Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer.
Kedua film ini kontras dalam memandang tragedi 1965. Tapi, menurut Marselli, keduanya gagal menampilkan kepengarangan. Arifin menampilkan sejarah versi penguasa Orde Baru. Sedangkan Oppenheimer tidak etis karena terlalu memaksakan ide-idenya kepada para narasumber dalam merekonstruksi peristiwa pembantaian 1965. Terlalu sedikit kupasan Marselli yang merefleksikan persoalan auteur dalam kedua film ini. Bila sedikit dipanjangkan sebagai contoh kasus auteur dalam perfilman Indonesia, hal itu tentu akan lebih hot. Apalagi Marselli memiliki surat pribadi Arifin C. Noer yang ditulis untuk Arief Budiman. Dalam surat itu, konon Arifin mengakui “kesalahannya”.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo