Buku tulisan Soedjatmoko ini menampilkan tiga perhatian utama: kemanusiaan, kebebasan, dan visi masa depan. Gagasan dan wawasannya tak terlepas dari pengalaman batinnya. RAMADAN, 1398. Ia masuk ke ruang kerja saya. Wajahnya letih. Ia langsung duduk dan bertanya: "Jij puasa?" Saya mengangguk. "Hari ini saya tak puasa," katanya. "Terlalu lelah dan kesal." Ia pun bercerita bahwa hari itu adalah hari ketiga ia diinterogasi. "Mereka cukup sopan, tapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terlalu bodoh dan terasa menghina." Saya biarkan ia terus bercerita. Tak lagi saya ingat berapa lama ia melakukannya, sampai akhirnya ia berhenti. "Ah, terlalu lama saya mengambil waktu jij." Pak "Koko" tak tahu bahwa saya juga belajar banyak dari kegelisahan yang sedang dialaminya. Entah sadar atau tidak, Soedjatmoko saat itu sedang mengalami situasi dilematis seorang intelektual dalam berhadapan dengan kekuasaan, sebagaimana yang pernah diuraikannya dengan sangat memukau dalam ceramahnya yang terkenal, "Cendekiawan di Negara Berkembang", yang disampaikan di Asia Society (New York), tahun 1970, ketika ia masih menjadi duta besar di Washington. Demi tanggung jawabnya kepada masyarakat dan bangsa, seorang cendekiawan tak saja harus mempertanyakan dan mengajukan berbagai hal, tapi juga menjaga hati nurani bangsa. Namun, dengan begini, ia harus berhadapan dengan segala corak keteraturan, dipaksakan ataupun bukan, yang dikehendaki oleh kekuasaan. Dalam ceramahnya, yang dimuat juga dalam buku ini, Soedjatmoko mengatakan bahwa dalam membicarakan masalah kecendekiaan ia tak memakai pendekatan sosiologis tapi dari sudut pemahaman sang intelektual tentang fitrahnya. Dan, kisah secuil di atas hanyalah sekadar contoh betapa pendekatan yang bertolak dari pengalaman batin yang intens ternyata tak begitu saja terlepas dari pengalaman biografis. Maka, di sinilah kita dapat pula menemukan salah satu keunggulan Soedjatmoko -- gagasan dan wawasannya bertolak dari pengalaman batin yang ditempa oleh erudisi yang luas dan rasa tanggung jawab moral yang tinggi. Kisah kecil di atas juga membawa ingatan saya pada yang lain, yang kini terasa semakin penting, yaitu tentang betapa akrabnya "kehadiran" Soedjatmoko tertanam dalam tradisi dunia kecendekiaan Indonesia modern. Jika tak dalam sentuhan kehadiran fisiknya, maka tentu pada pertanyaan dan usul jawaban yang pernah diajukannya. Dan andaipun ini juga bukan, setidaknya keprihatinan intelektualnya telah merupakan bagian yang tak terlepaskan dari keprihatinan kecendekiaan zaman kini, dan mungkin juga di masa nanti. Dalam tradisi kecendekiaan ini, ia adalah sekaligus kenangan yang tak terlupakan dan kekinian yang tetap mengental. Kumpulan tulisan yang terdiri atas delapan bab dengan delapan belas tulisan ini adalah buktinya. Tak seperti kebanyakan "orang lain", kedua penyunting serta Clifford Geertz dan Umar Kayam yang menulis "kata sambutan", tentu dengan gairah bisa berkisah tentang berbagai pertemuan dan diskusi langsung mereka dengan "Koko". Tapi siapakah dari "orang-orang lain" itu -- ya, memang kita para pembaca biasa -- bisa terlepas dari keprihatinan dan perhatian Soedjatmoko yang demikian luas dan keras? Tanpa kekikukan intelektual dan akademis ia membahas berbagai hal, mulai dari masalah perguruan tinggi, perang dan damai, sampai masalah agama. Buku yang diberi judul tambahan "Karya Visioner Soedjatmoko" ini adalah kumpulan tulisan Soedjatmoko yang keempat dalam bahasa Indonesia. Sebelumnya telah terbit buku- buku yang berjudul Etika Pembebasan, Pembangunan dan Kebebasan, dan Dimensi Manusia dari Pembangunan. Entah disengaja entah bukan, judul-judul ini merumuskan perhatian utama Soedjatmoko -- kemanusiaan, kebebasan, dan visi masa depan. Tiga tema utama inilah yang menjadikannya seorang intelektual yang selalu terlibat dengan permasalahan bangsa, betapapun berbagai dilema tak terelakkan, dan yang menyebabkannya salah seorang tokoh kosmopolit yang sangat disegani dan dihargai. Dihadapkan pada berbagai permasalahan yang aktual seperti pembangunan, kekerasan, pengaturan hubungan internasional, agama, atau malah juga dunia perguruan tinggi (seperti yang antara lain dibahas buku ini), ketiga tema itu bukan saja menghasilkan suatu corak wahana yang mengasyikkan, tapi juga dapat membuka cakrawala baru dalam wawasan dan pemikiran. Kedua hal ini terasa semakin memukau karena Soedjatmoko jarang, andaipun pernah, memberikan kata putus dan jawab akhir terhadap masalah yang dipersoalkannya dan yang diingatkannya. Jika tidak karena hal-hal lain, hasrat dialog yang dipantulkan dengan keras oleh kumpulan tulisan ini telah menyebabkannya sebuah karya yang berharga. Hal ini semakin dirasakan pentingnya, pada saat usaha untuk mengatasi kekeringan pemikiran masih terbentur oleh berbagai pohon ideologis yang sensitif dalam belantara pemikiran yang hegemonik dan teknokratis. MENJELAJAH CAKRAWALA: KUMPULAN KARYA VISIONER SOEDJATMOKO Penyunting Kathleen Newland dan Kemala Chandrakirana Soedjatmoko Pengantar: Clifford Geertz dan Umar Kayam Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, 358 halaman. Taufik Abdullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini