Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran tunggal Tintin Wulia di Baik Art Gallery yang mengartikulasikan tragedi 1965.
Elaborasi dari penelitiannya di sekitar peristiwa G30S.
SEBUAH “tirai” tergantung, disorot lampu. Tampak aus dari kejauhan. Benang-benangnya mulai tercerabut dari tenunannya. Ketika obyek tersebut didekati, barulah jelas terlihat “tenunan” tirai itu tersusun dari potongan kertas seperti kertas berisi dokumen lawas. Lembaran benang merah dan biru menjuntai dari tenunan kertas yang kusut, tercerabut di serat poliester sepanjang 350 sentimeter tersebut. Karya itu berjudul Absence in Substantia: Frequency, yang dibuat pada 2023 oleh Tintin Wulia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Absence in Substantia dikembangkan melalui analisis data yang disebut arsip Protokol Pembunuhan (The Protocols of Killings). Tintin mendapati arsip ini dideklasifikasi pada 2018. Arsip Protokol Pembunuhan berisi berita kawat yang dirahasiakan melewati Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta pada 1964-1968. Ini adalah catatan komunikasi yang luas selama masa kritis, seputar pembantaian massal 1965-1966. “Saya menemukan 798 dokumen berjudul ‘Pemberitahuan Penarikan’, ini adalah tempat dokumen yang ditarik kembali selama evaluasi resmi sebelum deklasifikasi,” demikian kata Tintin dalam katalognya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari sana, ia berfokus pada arsip itu. “Dari Pemberitahuan Penarikan ini, saya mengambil tanggal yang mengacu pada dokumen asli untuk menampilkan grafik frekuensi dan kepadatan pencabutan.” Tintin mengamati lini masa yang mengerucut pada tanggal pembunuhan, 1 Oktober 1965. Dari arsip ini kemudian ia menghubungkannya dengan kematian dan hilangnya sang kakek. Sebuah kehilangan atau kekosongan yang tak tergantikan, juga dari perasaan yang sama dari keluarga mereka. Karena itu, ia kemudian memberi judul karyanya demikian. Tentang makna ketidakhadiran itu.
Tintin Wulia memamerkan beberapa karya baru dan karya lamanya dalam sebuah pameran tunggal di Baik Art Gallery di kawasan Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Pameran yang diberi judul “Disclosure” ini berlangsung pada 11 Januari-24 Februari 2024. Pameran memperlihatkan bahasa, intervensi, dan keterikatannya untuk mengartikulasikan kisah yang tak tersampaikan dan memecah kebisuan dari trauma panjang ihwal isu seputar tragedi kemanusiaan 1965.
Karya lain yang juga memperkuat “ketidakhadiran” dan kehilangan adalah karya 65 lukisan akrilik di kanvas berwarna merah. Tintin memberinya judul Context-After Kawara’s Title, 1965, yang memenuhi dua bidang dinding di sudut ruangan. Sebanyak 30 kanvas berukuran sama di bidang dinding sisi kiri dan sisanya di sisi kanan. Karya-karya tersebut menyerupai gaya dan format karya seniman asal Jepang, On Kawara.
Context-After Kawara’s Title, 1965, karya Tintin Wulia dalam pameran bertajuk Disclosure di Baik Art, Pondok Pinang, Jakarta, 7 Februari 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Di sudut atas sebuah kanvas ada tulisan bertarikh “Oct. 1, 1965”. Di kanvas-kanvas lain tersemat sejumlah tanggal, di antaranya “Sept. 1, 1965”, “Aug. 17, 1965”, “Apr. 6, 1965”, “Aug. 19, 1965”, “Dec. 16, 1965”, “Apr. 6, 1965”, “Jan. 11, 1968”, dan “Aug. 6, 1968”. Di antara deretan kanvas, sebuah kotak hilang, melompong, menyisakan dua batang paku di dinding. Bayangan kanvas merah memantul menjadi imaji yang estetik dan penuh makna. Karya ini merupakan kelanjutan karya sebelumnya yang berjudul Kawara’s Title, 1965 (2019) dan tiga kanvas berjudul 65.
Karya ini juga merupakan bagian residensi Tintin bersama Baik Art di David College dan Beasiswa Penelitian Seniman Smithsonian di Washington, DC, Amerika Serikat. Ia meneliti karya-karya Kawara, termasuk sebuah teks yang dikatakan disensor sendiri berjudul Red China. Dengan pendanaan penelitian dari Dewan Penelitian Swedia, ia meneliti lebih dari 30 ribu arsip yang dideklasifikasi Kedutaan Besar Amerika itu. Tanggal 1 Oktober 1965 ditengarai sebagai awal pembunuhan beruntun masa itu hingga 1968.
Di samping karya tenunan ini, ada sebuah video yang diproyeksikan ke dinding memperlihatkan peluncuran pesawat ulang-alik, sebuah narasi yang memperlihatkan penerbangan luar angkasa menuju Mars akan segera dilakukan. Di luar angkasa, perangkat pesawat penjelajah mulai bergerak. Di sela-sela penjelajahan ruang angkasa itu, muncul monolog dari beberapa tokohnya. Ada anak muda dan sebagian besar orang tua. Anak muda itu bercerita, ketika menonton sebuah video lain tentang ayahnya, dia menangis tanpa sebab. Lalu seorang perempuan tua berkisah tentang penculikan temannya, diiringi sebuah lagu sebagai perpisahan yang liris. Nama tokoh-tokoh itu tak disebutkan. Mereka diidentifikasi sebagai warga yang diculik dan dibawa ke Mars. Video berdurasi 38 menit tersebut berjudul A Thousand and One Martian Nights (2017).
“Tapi kini mereka telah dikembalikan lagi ke bumi,” ujar salah satu tokoh dalam video. Meski demikian, bagi yang mengikuti perjalanan tragedi kemanusiaan 1965, beberapa tokoh dalam video itu sudah dikenal. Mereka adalah penyintas tragedi 1965, antara lain Tedjo Bayu, Ita F. Nadia, dan beberapa anggota Paduan Suara Dialita. Planet Mars dalam video itu adalah Pulau Buru, Plantungan, dan penjara-penjara yang menjadi tempat pengasingan mereka.
Karya proyeksi lain yang lebih besar memenuhi sebuah ruangan paling belakang. Selain frame kayu menempel di salah satu sudut ruangan, proyeksi dari tiga saluran yang disinkronkan dengan enam saluran audio menyuguhkan proyeksi sepanjang delapan menit yang memenuhi seluruh ruangan. Sebuah bidang awalnya berangsur menjadi merah dari proyeksi video dan memenuhi sekujur ruangan. Deretan angka dan arsip silih berganti memenuhi dinding ruangan dengan suara laporan berbahasa Inggris.
Dari karya berjudul Desember (2021) itu diceritakan tiga bagian karya yang mengisahkan penghilangan paksa kakek Tintin pada 18 Desember 1968. Ia menjadi bagian pembantaian massal yang dimulai pada 1 Oktober 1965. Hilangnya sang kakek menjadi rahasia yang tersimpan rapat. Desember juga karya pertama Tintin dalam proyek The Protocols of Killing.
Di sebuah ruangan, dari kejauhan tampak dindingnya penuh gambar monokrom. Sebanyak 115 gambar dari arang dan grafit berbagai ukuran memenuhi empat bidang dinding ruangan putih itu. Selembar kertas bertulisan “a new world comes into being” dan selembar gambar perempuan seperti tengah menggambar sebentuk garis elips dalam posisi tegak hadir. Di bawah gambar itu tertulis “from here to here is one minute”.
Kepiawaian Tintin menarasikan obyek secara visual dalam warna monokrom dan teks terlihat dalam Memory is Frail (and Truth Brittle). Ini karya ilustrasi artikel yang ia tulis dalam judul yang sama. Artikel ini dipublikasikan di jurnal Protocollum pada 2018. Karya dalam kertas berukuran A5 dan A4 ini merepresentasikan ruang (secara geografis) dan waktu (secara sejarah) dalam lorong naratif. Ratusan gambar ini disusun dari lima subjudul, yakni Memory is Frail (and Truth Brittle), My Father the Contortionist, Unfamiliar Worlds, All Trees are Listeners, dan Solitary Truth as an Act of Violence. Masing-masing mewakili kisah kelam perjalanan sejarah gelap 1965.
Pengunjung melihat karya seni berjudul A Thousand And One Martian Nights, karya Seniman Tintin Wulia saat dipamerkan di Baik Art, Jakarta, 7 Februari 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Tintin merangkainya dan mengatur bagian demi bagian, gambar dan narasi dalam teks. Terlihat beberapa sosok yang dikenal, seperti Presiden Sukarno dan D.N. Aidit; gambar tanda; pesawat; seorang bocah; dan mata-mata sipit.
Dua binatang juga hadir dalam karya Tintin: sebuah imaji metamorfosis larva seekor nyamuk pada sebuah kain panjang menggantung di dinding tangga. Dia memberi judul karya ini Liminal Death: Assemblage (2024). Liminal death adalah proses kematian sementara, waktu kritis ketika proses metamorfosis berlangsung. Larva berubah menjadi nyamuk di dunia yang berbeda, air dan udara. Tintin mengasosiasikan kematian kakeknya seperti yang terjadi pada metamorfosis larva ini. Jasad kakeknya tak pernah ditemukan. Keluarga dalam ketakutan penuh harapan.
Satu lagi, seniman yang mewakili Indonesia di Biennale Venesia pada 2017 ini menampilkan seekor kupu-kupu hitam dalam bulatan bola cermin akrilik. Karya baru ini berjudul Some Memory Unfurls (2024). Pengunjung bisa melihat keindahan kupu-kupu dalam dimensi yang berbeda dari bola cermin ini.
Tintin juga tak meninggalkan jejak karya khasnya, replika buku paspor dari berbagai negara. Karya lamanya berjudul Lure (2009). Sejak dari pintu masuk, ia mengatur rapi replika ini dari lantai, dinding, dinding plafon, hingga kemudian mendekati kotak kaca hitam. Kotak itu seperti kotak kaca permainan boneka yang diambil dengan penjepit. Kali ini ratusan replika paspor siap diambil dengan penjepit. Seperti sebuah permainan, tentang keberuntungan dan kewarganegaraan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tirai 1965 Tintin"