Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran tunggal Goenawan Mohamad berlangsung di Lawangwangi Creative Space, Bandung.
Sebanyak 123 karya Goenawan Mohamad bertarikh 2016-2014 dipajang.
Selain lukisan, jenis karya yang dipamerkan berupa sketsa gambar dan seni grafis.
WAJAHNYA tampak berduka. Sambil duduk bersila, dia memeluk sesosok tubuh yang kepalanya lunglai dengan mata terpejam. Gambar hitam-putih yang dibingkai dengan sudut melengkung itu berlatar suasana tempat yang kacau dan kelam lewat sapuan cat minyak berwarna cokelat kehitaman. Tulisan “GAZA, Oktober 2023” yang senada asap putih melayang dengan kontras. Goenawan Mohamad alias GM, 83 tahun, membuatnya pada kanvas berukuran 100 x 150 sentimeter dengan judul Gaza-Kollewitz pada 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya itu, menurut kurator Wahyudin, merupakan hasil perombakan gambar sebelumnya yang dinilai GM seperti poster propaganda. Memadukan lukisan dengan gambar (drawing), kata dia, GM lantas meminjam atau melakukan apropriasi karya grafis seniman Jerman, Käthe Kollwitz, yang berjudul Woman with Dead Child buatan 1903. “Itu eksperimentasi drawing dan painting terutama ekspresionisme di Jerman pada masa Perang Dunia,” ujar Wahyudin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Corak sapuan kuas yang kasar dilatari situasi serta kondisi sosial-politik di zaman perang, dan dianggap lukisan yang buruk oleh rezim Hitler. Gaya itu menjadi kecenderungan pada tiga lukisan terbaru GM yang lain, seperti Memedi, Spartakus, dan Imagining Frida. Pengunjung bisa membandingkannya dengan seri karya potret buatan GM pada 2020 yang menampilkan sosok sastrawan, seniman, dan aktor teater, seperti Sitor Situmorang, Melati Suryodarmo, Sapardi Djoko Damono, Jim Adhi Limas, Ayu Utami, dan Avianti Armand.
Imagining Frida
Sebanyak 123 karya Goenawan Mohamad bertarikh 2016-2014 kini tengah dipajang dalam pameran tunggal yang digelar oleh ArtSociates di galeri Lawangwangi Creative Space, Bandung. Berlangsung sejak 2 Februari hingga 2 Maret 2024, ekshibisi berjudul “Sejauh Ini...” tersebut dirancang sebagai pameran retrospektif. “Pameran kali ini agak beda dengan yang sebelumnya karena paling lengkap dari sisi medianya,” ucap Wahyudin, Selasa, 6 Februari 2024.
Selain lukisan, jenis karya Goenawan berupa sketsa gambar dan seni grafis yang ditekuninya dalam tiga tahun terakhir. GM sebagai sastrawan dan pendiri majalah Tempo akrab dengan dunia seni rupa sejak awal 1960-an, saat tinggal bersama para perupa Sanggar Bambu. Dia pun belajar melukis kepada Danarto, Syahwil, dan Mulyadi W. serta dekat dengan Nashar dan Zaini. Pameran resminya dimulai dari karya sketsa berjudul “PE.TIK.AN” di Plataran Djoko Pekik, Yogyakarta, pada 2016.
Menurut Direktur ArtSociates, Andonowati, pihaknya tertarik menggelar pameran karya GM karena ketokohannya dalam dunia jurnalistik dan sosial-politik ikut tecermin dalam karya seni visualnya. “Meskipun GM selalu membantah bahwa dia sekadar menggambar,” ujarnya, Rabu, 7 Februari 2024.
Pembagian karya GM di ruang galeri, menurut kurator, dimulai dari karya sketsa dan gambar yang dikelompokkan pada tembok panjang. Penandanya sekaligus jeda deretan karya berbahan kertas itu adalah lukisan akrilik dan cat minyak serta kolase berjudul Pemburu Babi Hutan pada kanvas berukuran 100 x 120 sentimeter buatan 2019. Lukisan itu, kata dia, gubahan kisah tentang orang keturunan Cina di kampung yang terpinggirkan oleh peristiwa politik. Mereka bertahan hidup dengan cara berburu babi hutan.
Sejak berkiprah sebagai perupa delapan tahun silam, GM telah membuat 500-an karya kertas, 100-an lukisan di kanvas, 200-an karya kolaborasi, dan 150-an judul karya cetak grafis. Karyanya antara lain dipamerkan secara tunggal sebanyak 16 kali di berbagai kota, seperti Jakarta, Magelang, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, dan Bali, dan mengikuti sembilan pameran grup antara lain di Jepang. Pergelaran duet bersama perupa Hanafi pun dilakoni dua kali di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, dan Komaneka Fine Art Gallery, Bali.
Ratusan karya Goenawan Mohamad bergambar potret manusia, binatang, wayang, hantu, dan sosok imajinasi. Ketertarikan dia pada gambar binatang, misalnya, dilatari kenangan masa kecil yang akrab dengan cerita fabel, juga penyesalannya karena pernah menembak mati seekor burung lantaran iseng. Selain karena hewan tidak memprotes kalau tidak mirip bila digambar, perilaku satwa membuatnya takjub. Dari bulu, gerak, sampai hidupnya dinilai ajaib, pun arah pergerakannya tidak terduga. “Saya mengamati binatang karena itu saya percaya kepada Tuhan,” tutur Goenawan saat acara bincang seniman menjelang pembukaan pameran, Jumat, 2 Februari 2024.
Dari hewan, dia mengartikan keindahan sebagai sesuatu yang tidak terduga. Aspek itu juga yang membuatnya kepincut pada seni grafis ketika berkenalan dengan tekniknya di Devfto Printmaking Institute, Ubud, Bali. Melihat gambar grafis di sana, GM jadi teringat pernah menghilangkan kamus Webster tahun 1939 yang bergambar seni grafis milik ayahnya hingga dianggap sebagai dosa besar. Di sisi lain, ia bernostalgia dengan masa lalu yang akrab dengan buku bergambar. “Saya seolah-olah menemukan dunia masa kecil yang bahagia,” ujarnya.
Dari studio milik Devy Ferdianto itu, muncul karya-karya grafis yang antara lain dikumpulkan dalam Kitab Hewan, Kitab Kurawa, juga Kitab Hantu dengan muatan humor GM. Tekniknya dirasakan agak rumit apalagi ketika memakai jarum yang ditorehkan ke pelat cetak berbahan tembaga. Setelah diproses oleh tim dan Devy sebagai master printer, hasilnya tidak terduga, tapi tidak membosankan. “Yang terakhir ini saya sangat excited dengan gambar-gambar gumoil print,” katanya. Cetakannya yang menggunakan kertas katun, menurut Wahyudin, jarang dibuat seniman karena medianya langka dan membutuhkan upaya yang lebih dari teknik lain.
Karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Tempo/Prima Mulia
Sebanyak 45 karya yang ditampilkan dalam pameran itu berupa seni grafis. Menurut Devy, sejak 2021 Goenawan Mohamad berulang kali datang ke studionya untuk belajar dan membuat karya grafis. Dia memadankan karya yang kira-kira cocok dengan sastrawan itu. Hasilnya kemudian berbuah Kitab Kurawa dengan teknik screen printing hingga dua kali penerbitan. Kemudian muncul ide-ide lain, seperti Kitab Hewan dibuat dalam dua varian warna dan Kitab Hantu dengan teknik serupa memakai kertas daluang. “Total ada 150 pelat lebih atau lebih dari 450 cetakan,” tutur Devy.
Tekniknya menggunakan etsa, litografi, dan gumoil yang mutakhir. Dia menilai Goenawan telah ikut mempopulerkan cetak grafis yang kini masih perlu dukungan untuk terkenal. Menurut dia, seni grafis menggunakan teknik produksi ulang, tapi salinan cetakannya multi-orisinal. “Karena setiap kali mencetak tidak akan pernah sama antaredisi dan muncul ketidakterdugaan,” ujar lulusan Institut Teknologi Bandung yang juga pendiri dan pemimpin big band Salamander itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jalan Seni Rupa Goenawan"