Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
THE CASE FOR GOD
Penulis: Karen Armstrong
Tebal: 405 halaman
Penerbit: Alfred A. Knopf and Alfred A. Knopf Canada, 2009
BERBINCANG sebentar dengan pendeta tua yang hidup mengasingkan diri di lereng gunung, Zarathustra melanjutkan perjalanannya turun gunung. Sepanjang jalan ia bergumam: Tidak tahukah dia bahwa Tuhan sudah mati. Siapa yang membunuhnya? Bertanya dan menjawab, ia berkata: Kita, dengan tangan ini kita yang telah membunuh-Nya.
Demikianlah Zarathustra dalam sebuah paragraf terkenal dalam buku Friedrich Nietzsche (1844-1900) Thus Spoke Zarathustra. Tapi jika kita lalu menyimak apa yang dikatakan Karen Armstrong dalam bukunya yang terbit akhir tahun lalu, The Case of God, tampaklah ”kematian” yang kerap dikutip kaum ateis itu merupakan kasus yang belum selesai. Armstrong, calon biarawati yang kemudian menjadi sejarawan itu, niscaya akan balik bertanya: yakinkah Anda bahwa dia—yang dibunuh demi pembebasan manusia—itu Tuhan?
Armstrong dikenal sebagai penulis yang banyak menggunakan data sejarah ketika menyusun argumentasinya. Dalam History of God, The Battle of God, Holy War, biografi Muhammad, Buddha, dan banyak lagi yang menyangkut masalah religiositas manusia, ia menunjukkan kecakapannya sebagai seorang penulis yang tajam, kendati tidak pernah simplistis. Dan dalam The Case of God, ia berargumentasi dengan cukup meyakinkan.
Tuhan di mata Armstrong bukanlah sosok raja diraja, ”orang kuat” atau ”orang besar” dengan wilayah kekuasaan yang meliputi segenap peri kehidupan manusia. Ia menggambarkan, Tuhan seperti ini milik orang-orang fundamentalis yang menihilkan segalanya yang berada di luar Injil dan senantiasa menafsirkan kitab suci secara harfiah. Tuhan seperti ini juga milik kaum ateis-humanis yang sejak abad ke-18 memproklamasikan bahwa manusia telah ”membunuh” Tuhan.
Meski yang satu menolak dan yang lain mengukuhkan, ateisme dan fundamentalisme menyimpan gambaran Tuhan yang sama: Tuhan produk orang modern. Sadar atau tidak, keduanya mengikuti pandangan Sir Isaac Newton (1672-1727), fisikawan Inggris yang melukiskan Tuhan sebagai arsitek dan mekanis agung yang telah menciptakan jagat raya, sebuah produk yang didasari perhitungan desain yang gemilang. Newton sendiri orang yang religius dan ia beranggapan segenap teorinya merupakan bukti yang otentik yang menunjukkan keberadaan Tuhan.
Namun sains tentu saja tidak berhenti pada Newton seorang. Armstrong menunjukkan, pada abad ke-19 ada Charles Darwin (1809-1882), yang menafikan penciptaan selama enam hari, sekaligus menyatakan bahwa semua ini tercipta akibat ledakan besar, dan melalui evolusi yang panjang terbentuklah keadaan seperti sekarang. Armstrong mencela penggambaran Tuhan sebagai ”orang kuat” atau ”orang besar” di atas, juga model pendekatan yang membuahkan teologi ilmiah. Pendekatan yang merupakan refleksi rasa tak percaya diri para teolog ketika berhadap-hadapan dengan perkembangan menakjubkan di dunia ilmiah abad ke-18, dan ini membuat umat kehilangan pegangan atau keterampilan (seni) menjalankan agama.
Mengajukan alternatif, Armstrong mengajak pembacanya mengamati keterbatasan bahasa manakala ia mencoba menangkap-memahami sosok Tuhan. Tuhan berada di luar jangkauan bahasa, dan untuk itu Armstrong menyitir pendapat seorang sarjana Kristen abad ke-2, Bishop Basil dari Caesarea—18 abad sebelum Wittgenstein dan Derrida membahas hal itu. ”Pikiran manusia tidak sanggup menapak tilas lebih jauh dari titik awal (penciptaan),” katanya. Basil berpandangan, Tuhan sudah eksis jauh sebelum jagat raya ini muncul, dan karena itu Tuhan tidak mungkin dapat dipahami secara utuh oleh manusia kecuali melalui intuisi belaka. Sampai di sini kita pun jelas menangkap pesan Armstrong pada buku ini: kembalilah ke pokok-pokok pikiran masa pramodern.
Tuhan Karen Armstrong memang bukan Tuhan antropomorfis yang bertakhta di kerajaan langit, tapi memiliki sifat duniawi manusia, termasuk pendengki, egois, pendendam, dan seterusnya. Yaitu Tuhan yang sangat gampang dijadikan instrumen politik dalam kehidupan kontemporer ini. Ia hanya bisa ditangkap dengan bahasa simbol, dan Armstrong menunjukkan bahwa simbolisme ini bukan cuma milik agama Kristen seorang. Mengambil contoh dari Islam, ia mengatakan bahwa kata ayah atau ayat dalam Quran, katanya, sama dengan parabel atau perumpamaan.
Ya, dialah Tuhan yang sesungguhnya jauh melampaui kata Tuhan itu sendiri. Tidak terjangkau oleh rasio—ada contoh dalam tradisi pemikiran Islam yang mengukuhkan pandangan ini: berspekulasi tentang zat Allah disebut zannah, atau tebak-tebakan penuh khayal—tapi sangat mudah didekati, dirasakan, dan dialami dengan hati. Mistis? Yang terang, Armstrong menjawabnya melalui pernyataan seorang teolog Jerman. ”Yesus sendiri tidak memandang Tuhan sebagai obyek spekulasi pikiran, tapi melihatnya sebagai pendekatan eksistensial,” katanya. Pengalaman dengan Tuhan adalah pengalaman eksistensial, dan ini akan tecermin dalam kehidupan praktis sehari-hari: dalam ritual sembahyang atau aksi-aksi religius-etis lain.
Alkisah, demikian Armstrong dalam The Case for God, di sebuah ruangan terdapat sejumlah orang Yahudi yang telah melalui pengalaman sangat menyakitkan dan kini sangat kecewa pada Tuhan, sosok yang dinilainya telah membiarkan Holocaust terjadi. Kehilangan imannya, mereka memutuskan mengadili Tuhan. Melalui berbagai pertimbangan, seorang rabbi yang berperan sebagai hakim lantas menjatuhkan vonis berat: hukuman mati. Ia menyatakan proses pengadilan telah berakhir, dan sekarang sudah waktunya menjalankan sembahyang malam. Suka atau tidak, Tuhan tidak pernah mati.
The Case for God bukanlah buku yang berargumentasi tentang teologi yang paling mendekati kebenaran. Buku bersampul hijau muda, tebal 405 halaman ini tampaknya hendak menyampaikan pesan tunggal: jangan lupakan tradisi luhur awal agama-agama besar. Meski argumentasi yang dibawakannya sanggup meruntuhkan sejumlah pendapat kaum ateis yang dengan gagah menyatakan bahwa Tuhan telah mati.
Idrus F. Shahab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo